Negeri Agraris Doyan Impor

Negeri Agraris Doyan Impor
DEWI SARTIKA

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan kenaikan harga bahan pokok yang terjadi di awal bulan Ramadan ini dipicu oleh kenaikan permintaan dari konsumen. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag Tjahya Widayanti menjelaskan kenaikan permintaan ini dimanfaatkan oleh beberapa pedagang untuk mengerek harga bahan pokok.

“Awal puasa dianggap permintaan naik dan pedagang menaikkan yang sebetulnya tidak ada alasan,” katanya, Jumat (10/5). Di sisi lain, kenaikan harga bahan pokok juga disebabkan oleh kelangkaan pasokan bahan pokok di pasar sehingga tidak mampu memenuhi permintaan konsumen. Contoh kelangkaan terjadi pada bawang putih. Kelangkaan tersebut membuat harga bawang putih melonjak tinggi hingga menyentuh Rp80 ribu per Kilogram (Kg) di pasar tradisional.

Iklan Pemkot Baubau

“Memang pasokannya kurang. Bawang putih tergantung dari luar (impor) dan bawang merah kemarin baru panen,” tuturnya. Agar kenaikan harga di Ramadan tak terulang, ia menyatakan sebenarnya Kemendag telah mengantisipasinya dengan melakukan rapat koordinasi (rakor) baik di tingkat pusat maupun daerah. Tahun ini, rakor antisipasi lonjakan harga pangan sudah dimulai sejak Maret 2019. Hasil rapat itu selanjutnya ditindaklanjuti dengan penerjunan tim ke lapangan untuk memantau harga dan pasokan bahan pokok di pasar. Upaya tersebut disebutnya telah membuahkan hasil dimana dalam dua tahun terakhir harga bahan pokok terpantau stabil jelang Ramadan. (www.cnnindonesia.com)

Kapitalisme Akar Masalah Ketidakstabilan Pangan

Krisis pangan telah menjadi momok dunia, tak terkecuali di negeri kita. Padahal, Indonesia dikenal sebagai Negara agraris dengan luasnya lahan pertanian. Meski kondisi ini selalu berulang, pemerintah selalu saja terlambat dalam mengantisipasinya. Solusi yang diambil pemerintah pun instan dan klasik, yaitu operasi pasar, pasar murah, dan membuka lebih lebar keran impor.

Adapun sebab kenaikan harga diantaranya: Pertama, faktor kelangkaan alami yang terjadi karena gagal produksi, kemarau berkepanjangan dll, sehingga ketika barang berkurang sementara yang membutuhkan barang tersebut banyak, maka otomatis harga akan naik. Kedua, karena penyimpangan ekonomi, terjadinya penimbunan, permainan harga, hingga liberalisasi yang menghantarkan kepada ‘penjajahan’ ekonomi.

Sistem kufur kapitalisme yang diterapkan saat ini telah menjadikan komoditas pangan sebagai barang spekulasi yang membuat harga tidak lagi berdasarkan permintaan dan penawaran di sektor riil. Penguasa dalam sistem kapitalisme tidak bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat sandang, pangan dan papan, negara hanya berupaya agar pendapatan perkapita rakyat secara agregat mengalami peningkatan tanpa melihat apakah masing-masing individu rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan menjadi tanggungjawab rakyatnya sendiri. Pangan tetap dipandang sebagai komoditas yang memliki harga yang harus dibayar oleh siapapun yang ingin mengkonsumsinya.

Penguasa biasanya melakukan intervensi dengan subsidi pangan, di Indonesia subsisdi tersebut dalam bentuk beras untuk orang miskin. Tapi, subsidi ini bersifat terbatas dan seringkali salah sasaran. Belum lagi harga tersebut masih belum terjangkau bagi penduduk miskin sehingga kebijakan yang didesain yang katanya untuk menjamin kebutuhan pangan belum dapat dinikmati sebgaaimana mestinya. Dapat dengan mudah kita temukan banyak penduduk terserang penyakit karena kekurangan pangan.

Kebijakan pemerintah pun justru mematikan sektor pertanian. Kerjasama perdagangan China-Asean Free Trade Agreement dan Asean-Australia-New ZealandFree Trade Agreementtelah membuat harga pangan impor menjadi lebih murah. Bukan saja karena bea masuk produk-produk impor tersebut dihilangkan namun juga biaya produksi komoditas tersebut lebih rendah karena kuatnya kebijakan negara eksportir dalam mendukung sektor pertanian mereka. Sementara di Indonesia subsidi untuk sektor pertanian terus dikurangi. Murahnya harga produk impor dan mahalnya input pertanian membuat instentif untuk bertani semakin rendah. Akhirnya banyak lahan pertanian yang dikonvesimenjadi lahan perumahan dan industri.

Padahal kebijakan ini sangat beresiko jika terus dilakukan dalam jangka panjang. Hal ini mematikan para petani dan ketergantungan terhadap produk impor. Jika Negara mengalami penurunan produksi akibat bencana alam dan melemahnya nilai tukar maka tentu harga akan meningkat, lebih dari itu jika negara eksportir memberlakukan boikot ekspor maka hal itu tentu sangat membahayakan negara importir.

Islam Menuntaskan Masalah Pangan

Berbeda dengan Islam, harga pangan naik karena negara yang menentukan maka hal ini tidak dibenarkanl. Sebab jika sistem Islam membiarkan mereka dalam hal ini, masyarakat akan mengikuti mekanisme pasar yaitu supplyanddemand.Sebagaimana yang pernah terjadi saat harga barang-barang naik, para sahabat datang kepada Nabi SAW meminta agar harga-harga tersebut dipatok, supaya bisa terjangkau. Tetapi, permintaan tersebut ditolak oleh Nabi, seraya bersabda yang artinya:

“Allah-lah yang Dzat Maha mencipta, menggenggam, melapangkan rezeki, memberi rezeki, dan mematok harga.”(HR Ahmad dari Anas).

Nabi mengikuti supply and demand di pasar, dalam hal ini ketika dikembalikan dalam mekanisme pasar bukan berarti negara tidak ada intervensi. Dalam hal ini intervensi yang dilakukan bukan dengan mematok harga tapi dengan tidak merusak persaingan di pasar.  Kemudian apabila harga melambung tinggi disebabkan karena terjadi secara alami yang mengakibatkan kelangkaan barang. Maka di sini, masyarakat diharuskan untuk bersabar. Tidak hanya itu sistem Islam juga mengharuskan negara untuk menyelesaikan masalah yang terjadi akibat kelangkaan tersebut dengan meminta supply dari wilayah lain.

Tetapi jika wilayah lain juga mengalami kelangkaan maka negara harus menggunakan kebijakan impor, dengan tetap memperhatikan produk dalam negeri sendiri. Berikutnya jika harga pangan naik karena pelanggaran terhadap hokum syara maka sistem Islam dalam hal ini penguasa harus segera mungkin menyelesaikan permasalahan tersebut. Sehingga, hal itu tidak akan terjadi lagi.

Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw. Beliau turun ke pasar untuk inspeksi agar tidak terjadi penipuan harga maupun penipuan dalam alat ukur atau timbangan juga melarang keras penimbunan barang. Khalifah Umar bahkan melarang orang yang tidak mengerti hukum fikih (terkait bisnis) dari melakukan bisnis. Bahkan mereka para pebisnis berkala juga pernah diuji. Untuk mengetahui apakah mereka paham hukum syara’ dalam hal bisnis ataukah tidak. Namun, jika mereka tidak paham, maka mereka dilarang untuk berbisnis. Sebab disetiap kemaksiatan, dalam hal kemaksiatan terhadap ekonomi, itulah yang akan membuat  sendi-sendi kehidupan ekonomi mengalami kelumpuhan dalam negara.

Kesempurnaan Islam dalam menjaga satabilitas harga pangan tentu tidak akan bias direalisasikan selama negeri ini masih berkubang dalam sistem kapitalisme. Karenya beralih kepada sistem Islam adalah solusi terbaik untuk mengatasi rumitnya berbagai persoalan yang terjadi hari ini. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.

DEWI SARTIKA

Komentar