Kasus korupsi selalu saja menjadi permasalahan yang tidak ada habisnya. Bak jamur yang tumbuh subur di musim penghujan. Hingga telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seluruh tubuh dengan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun serta modus yang makin beragam.
Sebagaimana yang baru-baru ini terjadi, yaitu kasus proyek PLTU Riau-1 yang melibatkan direktur nonaktif PT PLN Sofyan Basir. Hal ini diperkuat dengan ungkapan Juru Bicara KPK Febri Diansyah bahwa Ali diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Direktur Human Capital Management (HCM) PT PLN. Ali rencananya diperiksa sebagai saksi untuk Sofyan Basir yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan tipikor proyek PLTU Riau-1 (Cnnindonesia.com, 27/05/2019).
Kasus korupsi pun seakan telah menjadi kabar yang tiada habis dalam pemberitaan. Apalagi tak jarang hal itu dilakukuan saat mereka memegang sebuah jabatan. Seperti yang disampaikan Erika Revida dalam bukunya yang berjudul Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003, halaman 1, korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga, teman, atau kelompoknya.
Adapun korupsi adalah suatu penyakit berbahaya yang menggerogoti suatu negeri. Bahkan kini tidak lagi bersifat individual, tapi malah dilakukan secara sistemik dan berkelompok/berjamaah. Hal tersebut juga telah merasuk ke setiap instansi pemerintah, parlemen/wakil rakyat, peradilan, dan juga swasta.
Selain itu, faktor penyebab terjadinya korupsi di antaranya: Pertama, faktor ideologis yang diterapkan dalam nilai-nilai yang dianut masyarakat di mana menjadikan peradaban barat sebagai contoh. Seperti nilai kebebasan dan hedonisme. Dimana dalam demokrasi-kapitalis telah mengajarkan empat kebebasan, yaitu kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat dan kebebasan berperilaku. Kebebasan inilah yang tumbuh subur dalam sistem ini yang terbukti telah menghasilkan berbagai kerusakan. Salah satunya adalah korupsi yang lahir akibat paham kebebasan kepemilikan.
Kedua, faktor lemahnya karakter individu karena minimnya ketakwaan dalam diri, ditambah lagi kondisi sistem yang memungkinkan hal itu terjadi. Karena dalam sistem ini sulit bagi seseorang untuk terlepas dalam jerat korupsi. Terlebih hal itu seakan hampir menjadi budaya.
Ketiga, faktor penegakan hukum yang lemah, salah satunya karena adanya sikap tebang pilih dalam pemberian sanksi bagi pelaku korupsi. Apalagi kini hukum seolah tumpul ke atas, namun begitu tajam ke bawah. Sehingga bukan hal aneh jika budaya kurupsi sulit dihilangkan.
Berbeda dengan hal di atas, dalam Islam untuk mencegah korupsi sebagaimana pada masa khalifah Umar bin Khatthab, beliau pernah membuat suatu kebijakan agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Apabila terjadi penambahan atau pengurangan harta setelah dikurangi gaji selama memegang jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk merampasnya. Tidak hanya itu, bahkan beliau juga mengangkat pengawas khusus, yaitu Muhammad bin Maslamah yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat.
Sebagai contoh, Umar membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubenur Bahrain), Amru bin Ash (Gubenur Mesir), Nu’man bin Adi (Gubenur Mesan), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubenur Makkah), dan lain-lain. Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan.
Dengan demikian, sulit menghilangkan budaya korupsi di negeri ini, jika minim akan adanya ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan sanksi yang tegas yang dapat membuat efek jera bagi pelaku dan orang lain yang memiliki keinginan untuk berlaku serupa. Olehnya itu, tiada yang lebih baik selain kembali kepada aturan yang maha baik dalam menyelesaikan permasalahan korupsi di tengah-tengah masyarakat yang tidak ada akhirnya, yakni penerapan aturan-Nya dalam seluruh kehidupan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
SUSIYANTI
Komentar