Pernyataan Bupati Kolaka Timur Tony Herbiansyah yang juga merupakan Ketua DPW Partai Nasdem Sultra yang menyatakan dirinya belum memastikan akan maju diperhelatan kontestasi Pilkada Koltim 2020, sebagaimana dilansir media online zonasultra.com (3/6/19), sungguh sangat mengejutkan, ada apa dengan Tony?, apalagi kalau dikaitkan dengan perolehan 8 kursi partai Nasdem di DPRD Koltim yang seharusnya bisa menjadi jalan tol pencalonannya kembali sebagai Bupati koltim untuk periode ke-2. Menimbulkan pelbagai tanda tanya besar, mungkinkah ini bentuk jiwa besar seorang pemimpin yang mengisyaratkan akan istirahat setelah meletakkan pondasi pembangunan yang akan diteruskan oleh pemimpin berikutnya?, ataukah hanya sekedar basa-basi dan politik malu-malu kucing untuk menyatakan ambisi yang sesungguhnya?.
Apabilah diartikan secara harfiah, maka dalam konteks strategi komunikasi politik, pernyataan yang disampaikan sangat tidak mengutungkan secara politis, karena ini bisa menunjukkan adanya keraguan dan ketidakpercayaan diri, padahal sejatinya dia adalah pemegang sabuk juara yang seharusnya siap menghadapi setiap penantang dalam kondisi dan situasi apapun.
Jadi sebenarnya, pernyataan Tony memang tidak bisa diartikan secara letterleg, sebuah pernyataan yang mengandung makna ambiguitas yang susah ditebak kemana arahnya, bisa jadi ini adalah strategi untuk melihat sejauh mana masyarakat masih menginginkan kepemimpinannya di Bumi Latamoro, atau bisa jadi ia ingin menunjukkan dirinya sebagai orang yang tidak terlalu ambisius guna mendapatkan simpati masyarakat, tapi juga bisa sebagai bentuk keterpurukan mental yang oleh Harsubeno Arif dikenal dengan istilah emotional breakdown.
Kalau dimaksudkan sebagai strategi untuk mengukur sejauh mana masyarakat masih menginginkan kepemimpinannya, ini bukanlah strategi yang paling tepat, sebab parameternya sangat absurd yang hanya akan bisa diketahui melalui survey opini public. Kalaupun dimaksudkan untuk menarik simpati, inipun tidak terlalu tepat, sebab sebagai penguasa tertinggi di Koltim, simpati akan lebih mudah diperoleh melalui program- program pembangunan yang bersentuhan lansung dengan kebutuhan masyarakat. Analisis yang ketiga mungkin lebih tepat, emotional breakdown, menyerah sebelum pertandingan dimulai.
Secara psikologis emotional breakdown dikategorikan sebagai situasi penuh stress yang membuat seseorang tak mampu berfungsi secara normal. Biasanya disebabkan oleh stress dan rasa cemas saat seseorang merasa kewalahan ketika menghadapi sebuah situasi yang tidak bisa dia kendalikan.
Mari kita mencoba merunut kembali dari belakang, diawali setelah memenangkan pertarungan di Pilkada Koltim 2015 dengan kemengan gilang gemilang, mengalahkan tiga pesaing yang cukup tangguh saat itu. Tony mengawali kepemimpinan dengan dukungan penuh dari masyarakat Koltim. Harapan besar digantungkan dipundaknya, mimpi indah untuk membawa Koltim sebagai salah satu daerah maju dan berdaya saing disegala bidang, melalui visi mewujudkan Kolaka Timur sebagai daerah yang unggul dan berdaya saing dalam bidang agrobisnis.
Dalam perjalanannya kemudian apa yang menjadi harapan masyarakat ternyata jauh panggang dari api, harapan tinggal harapan, mimpi tinggal mimpi. Pengelolaan birokrasi dan pemerintahan yang cenderung otoriter jauh dari prinsip-prinsip good governance, memunculkan banyak ketidak puasan. Belum lagi bagi-bagi kue yang dirasa tidak adil, kawan yang dulunya pernah berjuang bersama dan berdarah-darah dilapangan ditinggalkan, bahkan disingkirkan, yang tau diri mencoba mundur secara perlahan, yang masih bertahan siap sedia makan hati. “Air susu dibalas air tuba”, begitu ungkapan curahan hati salah seorang teman mantan camat di Kolaka Timur.
Episode drama politik diawali dengan bersih-bersih ditubuh birokrasi, pejabat yang sebelumnya tidak mendukung saat pilkada disingkirkan. Mantan Pj.Bubati yang sekaligus Sekda Kolaka Timur Anwar Sanusi adalah salah satu korban yang harus merelakan melepas jabatannya.
Drama selanjutnya berlanjut dengan adanya kasus laporan dugaan penipuan oleh Ishak Ismail yang merasa kecewa karena telah memberikan dana politik yang begitu besar, tapi kemudian tidak mendapat apa-apa. Walupun kasus ini kemudian tidak terbukti melalui SP3 yang dikeluarkan Kepolisian, tapi paling tidak menjadi preseden buruk diawal pemerintahan Tony Herbiansyah.
Episode demi episode terus berlanjut, Ketua Tim Pemenangan saat pilkada menarik diri secara perlahan, terjadi pecah kongsi dengan wakil bupati, dan memuncak saat Pj. Sekda kala itu dicopot dari jabatan saat menunaikan ibadah haji ditanah suci. Ada apa?, sakit hati, kecewa, ataukah memang sengaja disingkirkan?.
Ketidak puasan atas berbagai kebijakan pemerintahan Tony Herbiansyah semakin memuncak, suara-suara perlawanan mulai bermunculan, berbagai aksi demonstrasi dilakukan sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan dan kinerja bupati, terlebih memasuki tahun politik jelang pilkada Kolaka Timur 2020, teriakan ganti bupati koltim saban hari menghiasi wajah media social.
Tekanan yang bertubi-tubi, perlawanan yang tidak lagi sembunyi-sembunyi. Konfrontasi frontal, mungkin itu istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan situasi yang ada. Inilah penyebab kondisi yang saya maksud, emotional break down. Mungkinkah Tony mengalaminya?
Pilihannya kemudian, akan tetap memaksakan diri terus maju untuk mempertahankan gengsi sebegai pemegang sabuk juara, yang apabilah kalah membawa resiko meninggalkan nama yang kurang baik dimata masyarakat. Ataukah legowo menjadi pandita, lengser keprabon, menunjukkan jiwa besar seorang pemimpin dan akan selalu dikenang sebagai Bupati Pertama yang melatakkan dasar-dasar pembangunan di Kolaka Timur.
PENULIS : TAUFIK SUNGKONO
Komentar