Dilansir (Sumber), Tokoh Ikhwanul Muslimin Mursi meninggal dunia, Senin (17/6). Ia meninggal setelah sebelumnya sempat pingsan di persidangan.
Mursi merupakan presiden pertama Mesir yang dipilih secara demokratis pasca-Musim Semi Arab pada 2011 lalu. Ia menggantikan Husni Mubarak yang digulingkan setelah beberapa dekade memimpin.
Namun kepemimpinan Mursi pada 2012 hanya seumur jagung. Pergolakan yang tak henti-henti membuat militer kembali masuk ke pemerintahan. Mursi pun akhirnya digulingkan oleh Abdul Fattah al-Sisi yang kini menjabat sebagai presiden.
Pasca penggulingan, Mursi dijebloskan ke penjara dan menghadapi beragam tuntutan. Persidangan yang dihadirinya kemarin sebelum meninggal adalah satu dari sekian banyaknya persidangan yang ia harus jalani. Tak tanggung-tanggung, Mursi menghadapi tuntutan hukuman mati.
Berbeda dengan Mubarak, Mursi menjalani hukuman dalam kondisi memprihatinkan. Ia pernah diprediksi akan menghadapi kematian dini karena penyakit yang dideritanya.
Pemimpin Ikhawanul Muslim yang tinggal di London, Mohammed Sudan mengatakan, kematian mantan Presiden Mesir Mohammed Mursi sebagai ‘pembunuhan berencana’. Menurutnya, Mursi tidak mendapatkan perawatan medis yang seharusnya ia terima.
Ia juga tidak diizinkan untuk dikunjungi siapa pun dan sangat sedikit informasi tentang kondisi kesehatannya.
“Dia ditempatkan di balik kurungan kaca (selama persidangan), tidak ada satu pun yang mendengarnya atau tahu apa yang terjadi padanya, ia tidak menerima kunjungan selama berbulan-bulan atau hampir satu tahun, sebelumnya ia mengeluh ia tidak mendapatkan perawatan medis. Ini pembunuhan berencana, ini kematian pelan-pelan,” kata Sudan seperti dilansir dari CBS News, Selasa (18/6).
Demokrasi, Bukan Perubahan Hakiki
Sebagian kaum Muslim masih meyakini dan memilih demokrasi sebagai sebuah jalan perubahan. Ini karena mereka memahami demokrasi hanya sebagai sebuah alat untuk mewujudkan suatu perubahan. Namun faktanya, demokrasi tidak bisa dijadikan jalan untuk perubahan. Sebaliknya, para penikmat demokrasi menjadi korban dari demokrasi itu sendiri. Hal ini bisa kita lihat dari apa yang menimpa beberapa gerakan dakwah seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, HAMAS di Palestina dan FIS di Aljazair.
Di Mesir, melalui jalan demokrasi, Muhammad Mursi memenangkan Pilpres pada tahun 2012. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mesir menyatakan bahwa Muhammad Mursi dari kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) terpilih sebagai presiden baru negara itu. Mursi dinyatakan menang dengan perolehan suara 51,7 persen atau 13,4 juta suara. Adapun penantang Mursi, Ahmed Shafiq, hanya kebagian 12,3 juta suara. Namun setahun kemudian, Mursi ditumbangkan oleh junta militer Mesir yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Abdul Fattah al-Sisi menteri pertahanan dan produksi kemiliteran pada Rabu sore tanggal 3 Juli 2013. Padahal Mursi adalah penguasa yang legal karena terpilih melalui proses demokrasi. Para pemimpin Ikhwanul Muslimin pun ditangkap dan dipenjara.
Demokrasi pun memakan korbannya di Aljazair. Melalui jalan demokrasi, pada Pemilu 1991 FIS meraih 54% suara dan mendapat 188 kursi di parlemen atau menguasai 81% kursi. Pada Pemilu putaran kedua, FIS pun dinyatakan menang telak. Kemenangan FIS ini disambut gembira oleh rakyat Aljazair. Namun, Mohammed Boudiaf, mewakili militer yang loyal pada Barat, segera menunjukkan kebohongan demokrasi. Mereka menggulingkan FIS, Ribuan anggota dan pendukung FIS ditangkap dan dijebloskan ke penjara, bahkan sampai dibunuh. Pemimpin FIS, Abassi Madani dan Ali Belhadj, dipenjarakan.
Benar, sebagai sebuah jalan, demokrasi bisa saja menghantarkan seseorang atau sebuah gerakan pada tampuk kekuasaan. Namun, Barat, dalam hal ini Amerika dan sekutunya, tidak akan membiarkan Islam sampai pada kekuasaan melalui jalan demokrasi. Seharusnya semua ini menjadi pelajaran berharga bahwa demokrasi bukanlah cara yang tepat untuk mewujudkan perubahan.
Mereka yang memilih jalan demokrasi sebagai jalan untuk menuju perubahan meyakini bahwa jika menang dalam proses demokrasi, yakni seperti Pemilu legislatif atau Pilpres, mereka akan bisa melakukan perubahan secara mudah, termasuk untuk menerapkan syariah Islam. Alasannya, karena mereka menang dengan suara terbanyak sehingga pemerintahan mereka didukung oleh rakyat secara mayoritas.
Ini jelas konsep berpikir yang keliru. Pasalnya, masyarakat yang memilih mereka bukan karena kesadaran politik mereka terhadap syariah Islam. Keinginan parpol Islam untuk mengubah sistem sekular itu menjadi sistem Islam akan mendapat tantangan dari rakyat sendiri yang belum sadar. Bisa-bisa mereka menganggap wakil rakyat itu telah berkhianat kepada mereka sebab telah menyalahgunakan suara yang mereka berikan untuk perkara lain.
Bercermin juga dari sejarah AS. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) menyatakan bahwa demokrasi bermakna “from the people, by the people and for the people” ( dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Sebelas tahun kemudian, Presiden AS Rutherford B. Hayes menyatakan bahwa kondisi AS kala itu “from company, by company and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).
Hal ini menunjukkan bahwa sejak kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi bukanlah di tangan rakyat. Atau bisa jadi segelintir rakyat tapi mereka adalah pemilik modal.
Dalam demokrasi, rakyat diberi hak untuk memilih tanpa punya kekuasaan untuk merealisasikan kehendak dan keinginannya. Alih-alih jadi pembawa perubahan, demokrasi sejatinya hanyalah alat mengambil hak Allah untuk menentukan halal-haram berdasarkan suara terbanyak. Tapi begitu berhadapan dengan kepentingan penguasa dan pemilik modal yang dilayaninya, suara terbanyak hanya tinggal impian semata. Lihatlah kasus Presiden Mursi di Mesir yang meraih jabatan melalui pemilu. Ia secara keji dikudeta oleh pihak militer dengan dukungan barat. Tak hanya mengkudeta Mursi, militer Mesir juga membubarkan Ikhwanul Muslimin setelah membantai ribuan pendukung Mursi.
Lantas masih layakkah kita percaya bahwa demokrasi akan membawa perubahan hakiki bagi negeri? Realitas menunjukkan dengan jelas adanya hipokrisi demokrasi, dimana standar ganda dan bermuka dua tak kan pernah sirna. Bahkan kisruh pemilu 2019 hanyalah satu dari sekian peristiwa yang menjadi konsekuensi dimana pun demokrasi diamini. Bila demikian, masihkah kita percaya dan menaruh harap pada demokrasi?
Belajar dari Mursi, kita bisa memformulasikan persiapan-persiapan untuk menciptakan Perubahan hakiki yang mampu mengantarkan umat meraih kebangkitan hakiki.
Adapun persiapan-persiapan tersebut harus dimulai dengan memahami hakekat perubahan menurut pandangan Islam, metode perjuangan, dan persiapan untuk mewujudkan perubahan hakiki tersebut; yakni perubahan yang memiliki kapasitas untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah ‘Ala Minhaj al-Nubuwwah.
Tentu saja, mengembalikan Khilafah ke pangkuan umat memang bukan hal mudah. Perjuangan umat mengembalikan Khilafah hari ini hanya bertumpu pada kelompok-kelompok dakwah saja. Namun kelompok ini diisi oleh individu-individu ikhlas yang memiliki semangat juang tinggi dan kekuatan keyakinan serta harapan besar akan pertolongan Allah SWT. Modal inilah yang justru akan menghantarkan mereka pada keberhasilan meraih dukungan umat. Hingga suatu saat mereka akan mampu memimpin umat melakukan perubahan ke arah yang hakiki yakni dengan tegaknya hukum Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah sebagaimana yang dijanjikan. Dan saat itulah umat akan kembali meraih kemuliaan hakiki, dan menjadi umat terbaik yang akan menebar rahmat bagi semesta alam. Sebagaimana firman Allah SWT : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al khair (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung“. (QS. Ali Imran : 104)
Banyaknya berbagai kemaksiatan, keburukan, dan bencana yang terjadi, tentunya kita berharap bisa segera teratasi dan tidak terulang kembali di tahun ini. Tahun 2019 dikenal sebagai tahun politik di mana sebagian masyarakat menggantungkan harapannya di tahun ini karena Pilpres dan Pilleg dinilai bisa mengubah keadaan yang lebih baik. Namun dari sejarah panjang negeri ini nampak jelas bahwa jika perubahan yang terjadi hanya pada wajah pemimpin dan tidak disertai dengan perubahan tatanan hukum dan aturan, maka akan tetap sama saja. Karena itu perubahan mesti dimulai dengan mengubah Ideologi dan tatanan aturan yang dihasilkannya. Perubahan harus dilakukan pada sistem, kemudian aturan ini akan menetapkan siapa sosok pemimpin yang harus dipilih rakyat. Jadi ketika kita mengharap perubahan dengan hanya mengganti rezim, tanpa mengganti sistem itu sama dengan mengulang kesalahan kembali. Tidak cukup kah bagi kita fakta kegagalan rezim, bencana yang menimpa dan berbagai musibah sebagaimana pelajaran, betapa bahayanya keberadaan sistem kehidupan yang bersumber dari selain Allah.
Umat Islam tidak boleh lupa dan menutup mata, bahwa sesungguhnya Ideologi Islam telah menghantarkan umatnya hidup dengan pearadaban yang tinggi, bangkit dan maju memimpin dunia. Lihatlah sejarah kejayaan kepemimpinan Islam tampil memimpin dunia dengan menguasai hampir 2/3 dunia. Produktivitas gemilang, kesejahteraan. Dan komentar positif dari non muslim tetapi menjadi warga Negara Khilafah Islam. Ini semua terjadi karena negara mengadopsi Syariah Islam dan menerapkannya di bawah naungan kesatuan pemikiran, perasaan dan aturan. Keamanan pun terjaga, keadilan hukum terwujud, kesejahteraan merata, sebab aturan yang dianutnya menghendaki penguasa untuk menetapkan kebijakan yang tidak dzalim.
Alhasil, penyadaran dan pengorganisasian umat untuk penegakkan Khilafah Islamiyyah, tidak mungkin dilakukan seorang diri. Di tengah-tengah umat harus ada gerakan Islam yang tidak pernah lelah mendidik, mengembalikan kesadaran, mengorganisir, dan memimpin mereka untuk mendirikan Khilafah Islamiyyah.
Gerakan inilah yang akan mengorganisir, memimpin, dan mengantarkan umat menuju perubahan hakiki. Karena itu, marilah kita rapatkan barisan, kokohkan keyakinan, memperjuangkan islam tanpa ada sedikit pun keraguan agar kemuliaan hidup didunia dan akhirat senantiasa kita dapatkan. Wallahu a’lam.
RISNAWATI, STP
Komentar