Banjir, Antara Duka Alam dan Tangisan Kemanusiaan

Banjir, Antara Duka Alam dan Tangisan Kemanusiaan
MARIANA

Banjir selama sepekan mengepung Kabupaten Konawe di Sulawesi Tenggara (Sultra). Bila di Konawe Utara terdapat 6 kecamatan yang dilanda banjir, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di Konawe ada 4 kecamatan yang tergenang. Masing-masing adalah kecamatan Sampara, Bondoala, Batu Gong, dan Morosi. Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Konawe, Rabu (12/6/2019), saat ini sudah 4.095 jiwa mengungsi akibat banjir. Bencana banjir muncul setelah hujan tiada henti turun sejak tanggal 2 hingga 10 Juni 2019. BPBD Sultra mengatakan dua di antara penyebab banjir adalah saluran pembuangan irigasi jaringan primer dan sekunder, serta perambahan hutan sehingga terjadi pendangkalan di badan sungai. Sementara Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sultra menyebut banjir di Konawe dan Konawe Utara lebih banyak disebabkan oleh kerusakan lingkungan. Direktur Eksekutif WALHI Sultra, Saharuddin, mengatakan Konawe dan Konawe Utara merupakan daerah dengan izin usaha pertambangan terbanyak di Sultra. (Beritagar.id, Kamis, 13 Juni 2019).

Lagi, bencana alam melanda negeri tercinta ini, empati yang tinggi tentu layak di berikan pada penduduk negeri yang terkena dampak bencana, sebab tangisan dan duka dari mereka yang telah kehilangan rumah dan barang berharga yang dikumpulkannya selama  puluhan tahun harus musnah karena musibah banjir. Bantuan material dan imaterial juga sudah selayaknya mereka terima dan tugas terpenting itu ada pada Negara yakni penguasa negeri ini. Sebab Penguasalah yang paling bertanggungjawab dalam memelihara urusan rakyatnya. Dimana penguasa adalah perisai sekaligus pelindung bagi eksistensi dan kenyamanan rakyat.

Meski duka itu masih sangat melekat dan tangisan itu masih sangat terdengar nyaring tapi kita harusnya membenahi diri dan terus melakukan introspeksi  terhadap musibah yang menimpa negeri ini. Betul, bahwa kita harus bersabar terhadap musibah, tapi alangkah baiknya juga menjadi perenungan betapa alam telah menunujukkan sinyal ketidaksukaan dan dukanya pada manusia. Harusnya empati itu bukan hanya ditujukan untuk manusia tapi juga untuk alam. Sebab bisa jadi karena ulah manusialah pada akhirnya bencana itu terjadi. Alam berduka dimana habitat hidupnya diporak-poranda oleh tangan manusia, kawasan hutan dan pepohonan telah tercerabut hak hidupnya disebabkan karena aktivitas manusia demi keuntungan materi tanpa memikirkan efek ekologi dan duka mendalam yang dialami oleh  hutan dan komponen yang ada didalamnya. Hutan lindung yang akhirnya menjadi hutan produksi untuk aktivitas pertambangan telah menajdi cela bagi hilangnya daerah resapan air, sehingga berefek signifikan dan jangka panjang bagi komunitas hidup yang ada disekitar daerah tersebut dan paling mirisnya ketika  banyak manusia yang bermukim didaerah itu. Ketika musim penghujan tiba maka dipastikan bahwa daerah ini akan sangat rawan berdampak pada bencana alam baik banjir maupun longsor .

Ini bukanlah masalah hujan yang terus menerus turun, sebab hujan adalah rahmat bagi alam semesta. Hanya saja, manusia yang bermasalah dalam mengatur alam yang dianugrahkan padanya, yang seharusnya dijaga malah dIporak-poranda dan dirampok kehormatannya, dijual dan digadaikan pada korporasi untuk kepentingan materi atau bahkan untuk melanjutkan kekuasaan sehingga tidak sadar bahwa tirani itu bukan hanya berlaku pada manusia tapi juga pada alam. Alam telah di intimidasi, dirusak dan dibunuh hak hidupnya atas nama peraturan buatan manusia yang melegalkan perambahan dan usaha pertambangan tanpa memperhatikan dan mengawasi apa yang dilakukan pengelolanya. mereka telah merusak alam dan menganggap perbuatannya benar sebab di lindungi undang-undang.  Apa yang terjadi keserakahan atas nama kekuasaan menjadi tampak sangat terlihat nyata. Alam butuh penolong dari tirani dan kekuasaan rakus manusia yang bertopengkan kekuasaan, alam butuh sistem yang mampu mengaturnya sehingga sinergi dengan kebutuhan manusia, alam butuh pemimpin yang melindunginya dari jahatnya para korporasi rakus bin serakah yang mengotori dan menodai alam dengan tangan-tangan jahatnya menggunakan mesin-mesin canggih.

Karena itu, cukuplah alam menceritakan dukanya dan cukuplah tangisan kemanusiaan terdengar. Para penguasa harus berani mengangkat kepala dan tidak tunduk lagi pada para kapital pemilik modal, meski setumpuk receh mungkin akan didapatkan dan kekuasaan akan terus langgeng. Tapi apakah semua itu berarti, jika yang diperoleh justru membawa duka bagi alam dan tangisan kemanusiaan. Rakyat telah banyak menanggung penderitaan akibat kolaborasi penguasa dan pemilik modal yang melakukan eksploitasi alam secara serakah tanpa memikirkan dampak ekologi dan kemanusiaan. Lebih parah lagi, bahwa sistem kehidupan berpijak pada Kapitalisme Sekuler yaitu paham yang menjunjung tinggi modal sebagai nilai tertinggi dalam hidup dan mengabaikan peran agama dalam mengatur kehidupan, konsekuensi yang terjadi siapapun yang memiliki modal maka dialah pemenangnya. Aspek alam dan kemanusiaan mana mungkin dipikirkan sedangkan agama pun disingkirkan.

Maka telak sudah negeri ini jatuh pada tangan pemilik modal sebab merekalah yang berkuasa dan mengeluarkan regulasi sesuai dengan arah kepentingannya dan semakin leluasa ketika diperhadapkan dengan kekuatan kekuasaan yang butuh uang untuk menyokong eksistensinya. Sekularisme yang menjauhkan manusia dari agama makin memperparah konsep hidup dan konsep berfikir sehingga seseorang akan berbuat sesuai dengan nilai manfaat pragmatis yang akan di perolehnya. Nilai kasih sayang, kemanusiaan dan perlindungan terhadap alam akan sangat sulit dilakukan kecuali hanya untuk menarik simpati rakyat agar tidak melawan maka dilakukan pemanis, buka tambang sejahterakan rakyat lokal, musibah datang kirimkan bantuan. Tapi perusakan alam tetap berjalan, merebut lahan rakyat juga tetap hidup. Regulasi pro asing dan aseng serta pemilik modal juga tetap alot. Disadari atau tidak kita tengah berada dalam lingkaran gurita korporasi pemilik modal yang siap mencengkeram. Ketika kekayaan alam telah habis terjual maka bisa jadi rakyat negeri inipun akan tergadai.

Regulasi Mengenai Banjir

Dalam Islam terjadinya kerusakan di darat dan di laut ini dijelaskan dalam surat Ar-Rum: 41 : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Untuk mengatasi banjir dan genangan, Khilafah Islamiyyah tentu saja memiliki kebijakan canggih dan efisien. Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika, dan pasca banjir. Kebijakan untuk mencegah terjadinya banjir dapat disarikan sebagai berikut: Pertama, pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletsyer, rob, dan sebagainya, maka Khilafah akan menempuh upaya-upaya sebagai berikut : 1) Membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan sebagainya. 2) Khilafah akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim, dan lain-lain). 3) Khilafah membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase, atau apa namanya untuk mengurangi dan memecah penumpukan volume air; atau untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman.  4) Membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu. Sumur-sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan untuk tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama jika musim kemarau atau paceklik air.

Kedua, dalam aspek undang-undang dan kebijakan, Khilafah akan menggariskan beberapa hal penting berikut ini: 1. Khilafah membuat kebijakan tentang master plan, di mana dalam kebijakan tersebut ditetapkan sebuah kebijakan sebagai berikut; (1) pembukaan pemukiman, atau kawasan baru, harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya.    2. Khilafah akan mengeluarkan syarat-syarat tentang izin pembangunan bangunan. 3. Khilafah akan membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan,  dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana.  4. Khilafah menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi.  5. Khilafah terus menerus menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan

Ketiga, dalam menangani korban-korban bencana alam, Khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana.  Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu, Khalifah akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah swt. Inilah kebijakan Khilafah Islamiyyah mengatasi banjir. Wallahu A’lam bish shawab (***)

MARIANA

Komentar