Banjir Bandang Menimpa Kala Manusia Makin Serakah

Banjir Bandang Menimpa Kala Manusia Makin Serakah
EVASATRIYANI

Momen kegembiraan di hari raya baru saja dimulai, saat ribuan warga di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, terpaksa harus mengungsi. Intensitas hujan yang tinggi mengguyur Konut, sejak Sabtu (1/6) hingga Minggu (9/6) membuat pemukiman warga tergenangi air banjir dengan ketinggian hingga mencapai bumbungan 4 meter.

Akhirnya, pada 2 Juni Konut dilanda banjir bandang  yang menyisahkan cerita kelam nan pilu. Banjir yang terjadi kali ini merupakan banjir terparah dari tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, lebarannan bahagia bersama dengan keluarga tak dirasakan oleh warga Konut yang terdampak bencana.

Banjir bandang mengisahkan ratusan rumah terendam dan puluhan rumah lainnya hanyut terbawa arus banjir. Ribuan warga terpaksa mengungsi. Tak cukup sampai di situ, beberapa akses fasilitas umum juga mengalami kerusakan. Seperti jalan dan jembatan terputus, bendungan jebol akibat debit air melewati ambang batas dan padamnya listrik tak terhindarkan. Sebagaimana data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Konut menyebutkan bahwa ada 13 desa terdampak banjir, 4.089 warga mengungsi, 855 rumah terendam dan 56 unit rumah hanyut. (KendariPos, 10/6/2019).

Banjir kerap kali datang menghampiri, kala intensitas hujan tinggi. Tapi, apakah turunnya hujan selalu berakhir dengan banjir dasyat? Inilah kemudian yang harus dicari akar persoalannya.

Menelisik Akar Persoalan Banjir

Hujan merupakan salah satu rahmat Allah. Jelas diturunkan untuk kesejahteraan hidup makhlukNya yang ada di bumi. Baik untuk manusia, tumbuhan dan hewan. Menghidupkan tanah yang tandus, menumbuhkan beragam tanaman, hingga menjadicadangan air yang diserap tersimpan di dalam tanah. Semua itu untuk kemaslahatan makhluk yang hidup di bumi.

Oleh karenanya, sangat tidak masuk akal jika hujan turun lalu menyebabkan banjir dengan serta merta. Sebab, hujan selalu ada untuk menurunkan air dari langit bukan banjir. Jadi, sejatinya banjir bandang yang dasyat itu pasti memilki penyebab, tidak terjadi secara tiba-tiba.

Banjir merupakan bencana alam yang disebabkan oleh banyak faktor. Diantaranya, kerusakan daerah aliran sungai, lahan kritis, kerusakan hutan, kerusakan lingkungan, dan perubahan penggunaan lahan. Kerusakan yang terjadi tersebut, tidak lain jelas disumbangkan oleh tangan-tangan manusia.Sebagaimana Allah telah mengingatkan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (TQS. Ar-Ruum: 41)

Jadi, jelas bencana banjir yang menimpa disebabkan ulah perbuatan manuasia yang tak bertanggung jawab. Mengambil keuntungandari apa yang tersedia di alam tanpa mempertimbangkan dampak negatif yang akan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.Alhasil, bencana yang datang menyapu bersih siapa saja manusia yang ada diwilayah yang terkena bencana. Tanpa memilih dan memilah lagi, siapa tangan-tangan serakah itu. Sekiranya semua pihak mampu mengambil pembelajaran dari bencana demi bencana yang terjadi.

Tangan-Tangan Neolib Kapitalis Biangnya

Aktivitas puluhan perusahaan tambang nikel maupun perkebunan kelapa sawit menjadi pemicu terjadinya banjir bandang di Konawe Utara. Berdasarkan data Dinas Energi Sumber Daya Mineral (DESDM) Sultra, ada puluhan perusahaan tambang beroperasi di wilayah tersebut. Tanah yang digarap juga cukup luas, bisa sampai puluhan ribu hektar. (KendariPos, 10/06/2019).

Saharuddin, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra mengatakan, sejak 2001 sampai 2017 tercatat Konawe kehilangan 45.600 hektar tutupan pohon. Tak hanya itu, Konawe juga memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berstatus krisis. “Dari dua faktor, pertambangan dan perkebunan, muncul beragam masalah turunan. Secara umum di Sultra harusnya lebih dari 80 izin pertambangan harus dicabut,” katanya. Untuk alih fungsi perkebunan sendiri catatan Walhi Sultra mengungkap, setidaknya ada sekitar 20.000 hektar kebun sawit baru yang 90 persen diantaranya diambil dari pembukaan hutan. (Liputan6.com, 11/6/2019).

Keberadaan puluhan perusahaan dan daerah garapannya serta area perkebunan kelapa sawit, sudah jelas menjadi bukti betapa bumi Konawe Utara itu dieksploitasi alamnya secara besar-besaran.Dengan penuh keserakahan demi terpenuhinya segala dahaga kepentingan mereka. Kerja sama yang menguntungkan telah berlangsung antara pengusaha dan penguasa. Terjadi dil-dil yang sangat menguntungkan bagi kedua pihak dan menyisakan bencana bagi segenap warga setempat.

Kondisi ini jelas didukung pula dengan sistem politik ekonomi neolib kapitalis yang hanya melihat manfaat semata. Tanpa memikirkan bagaimana kesudahan dan kerusakan alam yang ditimbulkannya.

Penguasa dengan kebijakannya menjadi corong besar dalam pemberian izin perusahaan untuk beroperasi. Sementara itu, para pengusaha melakukan berbagai cara untuk mengeruk hasil bumi Konut. Hutan sebagai daerah serapan air dan lingkungan hidup yang tidak dikelola dengan baik tersulap sempurna menjadi banjir bandang. Alhasil, pengusaha dengan perusahaannya mendulang tambang dan hasil perkebunan, sementara warga setempat mendulang bencana banjir bandang.

SolusiIslam Tuntaskan Banjir

Bencana banjir yang melanda ini bukan untuk pertama kalinya. Sejatinya sudah cukup membuka mata, hati, dan pikiran kita untuk menempuh solusi yang dapat menuntaskan hingga ke akar persoalan. Baik itu terkait penanganan sebelum, ketika, dan setelah banjir terjadi.

Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam memiliki solusi efektif untuk mengatasi banjir. Melalui institusi negara, Islam mengatasi banjir dengan berbagai kebijakan. Pertama, pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletsyer, rob, dan lain sebagainya, maka negara akan menempuh upaya-upaya berikut. (1) Membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. (2) Negara akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air, selanjutnya membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah tersebut. (3) Negara membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase, atau apa namanya untuk mengurangi dan memecah penumpukan volume air; atau untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman. (4) Membangun sumur-sumur resapan di kawasan tertentu.  Sumur-sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan untuk tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama jika musim kemarau atau paceklik air.

Kedua, dalam aspek undang-undang dan kebijakan, negara akan menggariskan beberapa hal penting berikut. (1) Kebijakan tentang master plan. (2) Mengeluarkan syarat-syarat tentang izin pembangunan bangunan (3) Membentuk badan khusus yang menangani bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan berat, evakuasi, pengobatan,  dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. (4) Menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi. (5) Menetapkan kawasan hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. (6) Terus menerus menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan.

Ketiga, dalam menangani para korban bencana alam, negara akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Negara menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Juga mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah swt.

Demikianlah solusi Islam dalam menuntaskan persoalan banjir. Maka sudah saatnya kita campakan sistem neolib kapitalis yang menjadi akar masalah atas amburadulnya pengelolaan dan pemanfaatan hutan milik umat. Marilah kita mengambil syariat Islam secara kaffah dalam mengatur, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan alam. Alhasil, berkah alam kaya raya untuk seluruh umat. Wallahu A’lam bi Showab.

EVASATRIYANI

Komentar