Memimpikan Tarif Murah Penerbangan

Memimpikan Tarif Murah Penerbangan
NURHAYATI

Masyarakat Indonesia kembali dipusingkan dengan kenaikan hargatiket pesawat. Belum lama ini, tepatnya bulan April 2019, harga tiket naik hingga 11%.  Seperti dilansir dari Detik.Com (2/5/2019) Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan harga tiket pesawat di April 2019 sebesar 11% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018 (year on year/yoy). Tarif harga penerbangan untuk rute domestik di Indonesia yang sangat mahal dan tak kunjung turun menjadi keluhan masyarakat. Disamping itu,  mahalnya tiket pesawat telah membuat jumlah penumpang domestik angkutan udara dari Januari hingga Maret 2019 (kumulatif) mengalami penurunan 17,66%. Jumlah penumpang pesawat di Maret 2019 yang berjumlah 6,03 juta orang masih lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2018 sebanyak 7,73 juta orang, dan tahun 2017 sebanyak 6,93 juta orang. Hal yang sama juga terjadi pada pelaku industri seperti pariwisata dan perhotelan turut terkena imbasnya karena pengunjung menyusut. Begitu pula pengelola jasa bandara udara yang kehilangan potensi pemasukan akibat minimnya jumlah penumpang karena harga tiket yang mahal (OkeZone, 15/6/2019).

Akibat banyaknya keluhan masyarakat, pemerintah didesak untuk segera memberi solusi agar harga tiket pesawat bisa turun. Dilansir dari CNN Indonesia (6/5/2019) Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengaku diberi waktu satu minggu untuk dapat memangkas harga tiket pesawat yang dikeluhkan mahal oleh masyarakat. Setelah diberi waktu, Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan ( Kemenhub) memberlakukan tarif batas atas dan tarif batas bawah untuk mengendalikan harga tiket pesawat. Kebijakan ini juga dibuat menjelang mudik Idul Fitri. Namun solusi tersebut belum membuahkan hasil, sehingga mahalnya tiket pesawat menjadi masalah yang berlarut-larut. Hingga akhirnya Presiden Joko Widodo mengatakan akan membuka pintu bagi maskapai asing  yang ingin membuka rute penerbangan di Tanah Air. Hal itu guna memperkaya persaingan untuk menurunkan harga tiket pesawat maskapai domestik.

Iklan Pemkot Baubau

Bila kita analisis, akar masalah dari transportasi di Indonesia dimulai dari paradigma dasar bersama perangkat aturan yang dihasilkan dari paradigma dasar tersebut. Paradigma dasar tersebut adalah neolib kapitalistik dimana paham ekonomi yang menfokuskan pada pasar  bebas dan perdagangan bebas merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah negara dan modernisasi melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi. Paradigma salah tersebut bersumber dari paham sekularisme yang mengesampingkan aturan agama. Sekularisme yang melahirkan sistem kehidupan kapitalisme telah memandang dunia transportasi sebagai sebuah industri. Dan kaitannya dalam hal ini, paradigma ini yang menjadi biang kerok buruknya pengelolaan layanan publik dikarenakan menempatkan negara hanya sebagai regulator bahkan bertindak sebagai perusahaan yang menjadikan sektor transportasi sebagai industri atau bisnis. Dalam kapitalis, layanan transportasi dikelola swasta atau pemerintah dalam kaca mata komersil, akibatnya harga tiket transportasi publik mahal namun tidak disertai layanan yang memadai.

Untuk menjawab solusi dari mahalnya tarif harga penerbangan, dibutuhkan pembangunan intrastruktur transportasi yang strategis. Dalam perspektif Islam diurai menjadi 3 prinsip : Pertama, pembangunan infrastruktur adalah tanggungjawab negara, tidak boleh diserahkan ke investor swasta.  Sebab Allah subhanahu wa ta’ala melarang umat Islam memberi jalan orang kafir untuk bisa menguasainya. Perdagangan antar negara era kini bukan hanya transaksi biasa. Tapi telah menjadi alat untuk menguasai negara lain. Rencana mengundang maskapai asing adalah rencana bunuh diri. Faktanya hari ini tidak ada satupun negara yang membiarkan lalu lintas udaranya dikuasai berbagai negara. Wajib bagi umat Islam menjelaskan bahayanya rencana ini ke masyarakat luas.

Kedua, perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Ketika Baghdad sebagai ibukota dibangun sebagai ibukota kekhilafahahan, setiap bagian kota diproyeksikan hanya untuk jumlah penduduk tertentu. Di kota itu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Tidak ketinggalan. Pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah. Warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan, menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar. Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.

Pada abad ke-19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji. Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul, Ibukota Khilafah, hingga Makkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah.

Umat semestinya semakin cerdas secara politik, bahwa urusan mereka tidak akan pernah bisa diselesaikan dengan baik jika umat membiarkan penguasanya mencampakkan Syariat Islam. Maka persoalan ini, sekali lagi, menjadi peringatan Allah subhanahu wa ta’ala bagi kita semua umat Islam: _”Apakah hukum jahiliah yang kalian kehendaki, maka hukum siapakah yang lebih baik (daripada) hukum Allah bagi orang-orang yang yakin”.(TQS Al Maidah 50). Waallahu A’lam Bisshowab.

NURHAYATI

Komentar