Ceramah Ustaz Felix Siauw yang tetap diadakan di masjid Balai Kota DKI Jakarta memunculkan reaksi. GP Ansor mendatangi Balai Kota hingga menyampaikan aspirasi.
Agenda kajian Felix Siauw di Masjid Fatahillah Balai Kota DKI awalnya dipublikasikan pada Selasa (25/6/2019). Posternya dipasang di papan informasi masjid dan diunggah di akun Instagram. Tapi saat dicek pada pukul 15.55 WIB, poster di papan informasi itu sudah dicopot. Poster yang sama sudah dihapus dari Instagram masjid Balai Kota.
Kepala Sekretariat Dewan Pengurus Korpri Provinsi DKI Jakarta Amiruddin menyatakan kajian itu dibatalkan. Hal yang sama diungkapkan oleh Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta Chaidir.
Meski demikian, Felix kemudian tetap hadir dan memberikan ceramah di Balai Kota DKI pada Rabu (26/6/2019).
Felix masih berada di mimbar, menyampaikan ceramah seusai salat Zuhur. Felix mengungkapkan sejumlah hal dalam ceramahnya. Salah satunya mengenai perjuangan Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam dan tantangan yang dihadapinya. Felix dalam salah satu poin ceramahnya juga memaparkan soal perilaku curang yang tidak diperbolehkan dalam Islam.
Mengetahui hal itu, GP Ansor bergerak ke Balai Kota DKI. Mereka protes terhadap kehadiran Felix Siauw di masjid Balai Kota DKI.
“Kita menolak kehadiran Ustaz Felix Siauw untuk mengisi kajian. Kenapa, karena kita tahu beliau adakah tokoh HTI dan tidak terbantahkan. Tulisan-tulisannya, videonya, dan sebagainya memang mengajak atau mengkampanyekan pro-khilafah,” kata Ketua PC GP Ansor Jaksel Sulton Mu’minah di gedung GP Ansor, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (26/6/2019).
Persekusi dalam Perspektif Islam
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali( agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dulu (masa jahiliyyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (TQS. Ali Imran: 103).
Seharusnya persekusi ini tidak perlu terjadi lagi. Harus dibedakan yang mana amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran) atau muhasabah lil hukam (koreksi terhadap penguasa) yang justru diwajibkan oleh Islam dan ujaran kebencian. Keduanya jelas dua hal yang jauh berbeda.
Dalam Islam ketika ummat Islam memiliki Majelis Ummat dalam institusi Khilafah Islam sebagai wadah aspirasi dan sebagai representasi ummat, menyampaikan pendapat tanpa keberatan apa pun menjadi hak dan muhasabah lil hukam menjadi kewajiban. Penguasa tidak akan sewenang-wenang mengeluarkan kebijakan yang jelas-jelas menyempitkan rakyat.
Persekusi terhadap kelompok Islam dan para ulama digencarkan dengan alasan radikal dan teroris yang tidak masuk akal dan tak terbukti sama sekali. Ditambah lagi dengan sistem saat ini yang seolah mendukung terjadinya diskriminasi terhadap Islam dan ulama.
Kalau dikaitkan ke peran pemerintah, kendali utama ada pada negara. Indonesia dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia seharusnya mampu melindungi dan menjaga penduduknya dari diskriminasi dan islamphobia. Jika ada sedikit saja geliat islamphobia, negara cepat melakukan antisipasi. Negara juga harus mampu mengcover islampobhia agar tidak semakin menyebar. Dan negara harus bertindak tegas terhadap pelaku islamphobia agar mereka jera.
Namun yang ditunggu ternyata tak jua datang. Sampai saat ini belum ada tindakan nyata dari pemerintah maupun aparat atas persekusi-persekusi yang terjadi. Terlihat sekali pemerintah seperti disetir oleh kekuatan yang besar yang memaksa mereka memilih bungkam. Khawatir salah kata dan membuat marah majikan. Pun halnya dengan presiden, tak sepatah katapun keluar yang kiranya akan menyejukkan hati umat. Padahal geliat kebangkitan ini tak akan bisa dibendung. Umat butuh sikap yang pasti dari pemimpin negara, tak sekedar menunggu tanpa kepastian. Dan jika terlalu lama umat menunggu, akan ada gelombang keuatan yang lebih besar lagi yang akan membuat para pembenci Islam diam dan tak mampu melakukan perlawanan sedikitpun.
Upaya tekanan dari sekelompok ormas membuktikan bahwa pihak aparat keamanan atau kepolisian tidak berdaya dalam menghadapi ormas tersebut. Aparat seolah-olah tidak mau ambil resiko bahkan cenderung memihak pada ormas tersebut. Ini dilihat dari upaya polisi menghentikan acara pengajian daripada mengamankan acara dan mengusir pihak ormas yang berusaha ingin membubarkan pengajian. Hanya karena tuduhan anti pancasila, intoleransi dan mengajarkan Islam radikal yang dilontarkan oleh ormas tersebut polisi langsung membubarkan dan meminta para pembicara untuk pergi meninggalkan acara. Padahal jika mau di teliti semua tuduhan tersebut tidaklah terbukti.
Sadar atau tidak, munculnya banyak persekusi (perburuan) dan pembubaran pengajian oleh ormas yang mengklaim penjaga Pancasila, NKRI dan kebhinekaan sudah mengarah pada perpecahan di kalangan umat Islam. Inilah hasil nyata dari upaya adu-domba dari para pihak yang anti Islam. Anehnya, Pemerintah seolah mendiamkan saja persoalan ini.
Upaya memecah belah kaum muslimin sebenarnya tidak lepas dari strategi global dalam menghancurkan Islam. Dalam Dokumen RAND Corporation yang merupakan lembaga think-thank (gudang pemikiran) neo–conservative AS yang berjudul “Building Moderate Muslim Networks”, juga dalam dokumen RC berjudul “Civil Democratic Islam–Partners, Resources and Strategies,” yang diterbitkan tahun 2007 ini, langkah pertama upaya pecah-belah adalah dengan melakukan pengelompokan umat Islam menjadi empat: kelompok fundamentalis (radikal), kelompok tradisionalis, kelompok modernis (moderat) dan kelompok sekular.
Persatuan Umat Islam saat memang menjadi mimpi buruk bagi barat. Ketakutan barat dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah yang menakutkan ketika mereka harus menghadapi negara superpower Khilafah Islam. Umat Islam yang bersatu dibawah Khilafah Islam berhasil menguasai 2/3 dunia.
Setelah khilafah Islam berhasil diruntuhkan tahun 1924 saat itulah umat Islam terpecah, kalah, terjajah dan tertindas hingga saat ini. Barat memahami betul persatuan adalah inti dari kekuatan umat Islam. Khilafah Islam pada masa kegemilangan telah menunjukkan posisinya sebagai negara superpower abad pertengahan. Barat senantiasa berusaha untuk mencerai beraikan persatuan umat. Dulu ketika khilafah berada di Turki mereka memunculkan pan Turkisme dan pan Arabisme. Hingga akhirnya berhasil dipecah lagi menjadi 50 negara bangsa. Perbedaan kelompok saat ini menjadi cara jitu untuk memecah belah. Hingga tuduhan radikalis, fundamentalis, dan anti pancasila juga digunakan untuk memecah persatuan umat. Umat Islam mudah sekali disulut padahal definisi radikal Anti Pancasila saja belum clear.
Dalam Islam perbedaan adalah rahmat. Menjaga persatuan umat adalah wajib. Kewajiban menjaga ukhuwah Islamiyah didasarkan pada nash Alquran, Allah Swt berfirman: “Sungguh orang-orang Mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian dirahmati. (TQS al-Hujurat [49]: 10).
Alhasil, persatuan kaum Muslim harus didasarkan pada asas Islam. Belajar dari proses tasqif Rasulullah Saw menegakkan Ukhuwah Islamiyah harus: Pertama, dimulai dari meluruskan keyakinan dan memurnikan pemikiran dari berbagai unsur perusak misalnya menjadikan ikatan-ikatan selain ikatan akidah Islam sebagai dasar persatuan. Kedua, asas yang jernih dan mengakar ini haruslah senantiasa dipupuk dengan ilmu dan amal, mengikuti pembinaan Islam dan riyadhah berdakwah untuk menumbuhkan kepedulian. Berdakwah untuk menyeru mereka untuk kembali kepada keimanan Islam, kembali bersatu menjalin keterikatan kalbu dengan akidah dan pemikiran Islam hingga bersatu dalam satu kepemimpinan Islam. Ketiga, mewujudkan persatuan kaum Muslim dibawah satu panji kepemimpinan Islam, berpegang teguh di atas tali agama Allah yang kokoh dengan menerapkan Islam kaffah dalam kehidupan, membentuk masyarakat Islam Islam yang memiliki satu pemikiran, satu perasaan, dan satu sistem hukum yakni Islam. Yang pasti, jika persekusi sudah menjadi budaya. Ini bahaya! Wallahu ‘alam bish-shawab.
RISNAWATI
Komentar