Korupsi Antara Moralitas dan Gagalnya Sistem

Korupsi Antara Moralitas dan Gagalnya Sistem
MARIANA

Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Epidemi korupsi yag meluas dan subur telah menjangkitkan hampir semua kalangan elite yang berkuasa mulai dari pejabat tingkat bawah sampai yang diatasnya. Seolah korupsi tak memiliki obat yang dapat menyembuhkan pelaku. Korupsi lagi, Korupsi Terus, Korupsi tak pernah mati. Satu yang terciduk, ribuan yang berkasus. SUMBER

Telah banyak pihak yang memberikan solusi pada kasus korupsi tapi sekali lagi ternyata korupsi tetap saja eksis tak tertandingi, korupsi bagaikan selebriti yang terus viral tanpa bisa dilumpuhkan. Menariknya para pejabat pun seolah tak memiliki efek jera terhadap hukuman yang diberikan. Sebab korupsi telah terendus jejaknya dan diketahui tapi memberantas tuntas ke akarnya mungkin membutuhkan waktu, meski korupsi itu telah beranak pinak, berjalan puluhan tahun tapi tak pernah bisa dihentikan. Lalu kalau sudah begini, apakah ini hanya terkait moralitas manusia atau karena gagalnya sistem menerjemahkan dan mengatasi masalah korupsi.

Iklan Pemkot Baubau

Setidaknya untuk masalah korupsi ada tiga aspek yang perlu menjadi sorotan. pertama, moralitas individu, yakni ketakwaan atau keimanan individu pada Rabbnya. Asumsinya, jabatan adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan di dunia maupun akhirat, tapi pada empirisnya ruang kekuasaan dan jabatan telah menjadi cela untuk memperkaya diri pribadi maupun golongan, istilahnya aji mumpung, selagi menjabat maka kesempatan untuk cari dan menambah modal atau kesempatan untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Apalagi untuk naik ketampuk kekuasaan harganya mahal maka keinginan untuk mengembalikan modal menjadi target utama, karena itu, korupsi menjadi jalan pintas yang mempermudah akses terkumpulnya modal.  Belum lagi mahar politik yang tinggi yang harus diserahkan pada para promotor, ditambah keinginan untuk melanjutkan kekuasaan, membutuhkan dana untuk modal pencitraan jadilah suap menyuap atau menyogok, jual aset publik, dan menggelapkan uang rakyat menjadi fenomena yang bahkan mungkin biasa oleh sebagian elite. Karena itu moralitas telah tergeser dengan adanya keinginan untuk cepat kaya dan nafsu mengejar keuntungan materi.

Kedua, Pengawasan yang dilakukan masyarakat. Sesungguhnya kontrol dari masyarakat menjadi hal yang penting bagi sehatnya politik dan pemerintahan sebab jika masyarakat cuek atau abai bahkan terkesan membiarkan maka yang terjadi kejahatan itu akan menjadi kebiasaan,mungkin sebagian akan berfikir wajar sajalah banyak pejabat yang kaya raya, aset dimana-mana, kan pejabat banyak uang tapi sebagian cuek saja tak mau tahu darimana sumber-sumber keuangannya didapatkan dan ketika korupsi marak sebagian masyarakat tak ambil pusing, biar sajalah yang berwenang menghukum mereka, iya kalau hukumnya dapat membuat efek jera. ironisnya ada juga beberapa oknum yang telah nyata melakukan korupsi malah kembali dipercaya sebagian masyarakat untuk naik ketampuk kekuasaan,ini juga yang menjadi cela korupsi itu berjalan tanpa hambatan. Jadi berapakalipun terluka dan dikecewakan masih saja dimaafkan bahkan dipilih kembali, apalagi jika sebagian masyarakat masih membuka peluang bagi solusi pragmatis semisal sembako gratis, uang ribuan,  pakaian gratis atau bahkan masih tergiur dan terpesona dengan janji-janji yang tak kunjung ditepati. 

ketiga, sistem yang diterapkan Negara. Ini yang paling krusial sebab sistem atau aturanlah yang memainkan peranan paling berarti membentuk karakter masyarakat dan prilaku individu.  Suka atau tidak, terpaksa atau tidak, masyarakat dan individu yang ada didalammya akan mengikuti kemana arah sistem atau aturan membawanya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu sama lain. Jadi sistemlah sebenarnya yang membentuk persepsi atau pemahaman sehingga melahirkan tingkah laku dalam masyarakat. Sistem kapitalisme yang berasaskan pada modal telah membuka peluang banyaknya pejabat yang melakukan korupsi sebab siapapun yang memiliki modal dipastikan akan dapat mengikuti kontes menjadi pejabat dan siapa yang tak memiliki modal siap-siap tersingkir. Lalu kenapa banyak yang menginginkan jabatan atau kekuasaan dalam politik ala kapitalisme, sekali lagi jawabannya adalah uang.  Maka banyak individu yang berusaha untuk naik dalam tampuk kekuasaan dan itu butuh modal atau Paling tidak kalaupun kekurangan modal harus ada promotor yang akan mendanai untuk naik dikursi kekuasaan.  Pada akhirnya dana yang dikeluarkan saat akan menjabat akan berusaha untuk dikembalikan, suap menyuap atau menyogok,politik transaksional hingga menggelapkan uang rakyat menjadi solusi ketika menjabat.  Begitupun harga mahar politik yang mahal, untuk membayarnya butuh dana yang besar, korupsi adalah salah satu solusinya. Dan jika ada asing maupun aseng yang bermain maka aset publik pun menjadi kesepakatan untuk dijual melalui pembangunan proyek nyatanya penjualan.

Jadi pemenang dalam sistem kapitalisme adalah uang atau pemilik modal, nyatanya banyak pejabat yang melakukan korupsi karena uang ,butuh modal untuk berkuasa, butuh uang untuk menjadi populer dimasyarakat. Parahnya lagi, sistem ini ditopang oleh asas sekularisme yakni paham yang memisahkan agama dari kehidupan akibatnya keimanan pun menjadi tidak berarti istilahnya jangan bawa-bawa agama dalam berpolitik, tapi apa yang terjadi, karena tidak menggunakan agama moralitas pejabat pun menjadi rusak, menjabat bukan lagi tentang amanah dan mengurusi rakyat tapi lebih pada bagaimana mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya dan memiliki aset dimana-mana. Selagi berkuasa maka manfaatkan kekuasaan itu untuk mencari modal atau uang yang banyak maka jadilah korupsi. Diperparah lagi sebagian masyakat bersifat permisif dan pragmatis, cuek dan tidak banyak yang mau tahu kondisi politik yang ada, membicarakan politik itu ribet, yang penting masih dapat hidup dan senang, diberikan solusi pragmatis bahkan mereka senang tanpa memikirkan efek jangka panjangnya. Karena itu harus solusinya juga memperbaiki ketiga hal diatas.

Hukuman yang seharusnya untuk pelaku korupsi

Korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Tindakan khaa`in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Syariah Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar). Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu. (Lihat Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).

Karena itu, sanksi (uqubat) untuk khaa`in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al Ma`idah : 38, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda : “Laysa ‘ala khaa`in wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.” (Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret).” (HR Abu Dawud).  (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).

Lalu kepada koruptor diterapkan sanksi apa? Sanksinya disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89). Karena itu, korupsi adalah sesuatu yang tidak boleh dikompromikan sebab dia adalah kejahatan, yang pelakunya harus mendapat hukuman sehingga memberi efek jera dan menjadi pembelajaran pada masyarakat untuk tidak melakukan hal serupa, tentu demikan harus ada upaya sistemik untuk dapat memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Wallahu a’lam ( ***)

MARIANA

Komentar