Indonesia diserbu sampah impor. Kasus sampah impor pertama kali ditemukan oleh lembaga nirlaba lingkungan, Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON), bersama The Party Department pada awal Mei 2019. Rinciannya, 11 kontainer berisi sampah plastik impor dikirim ke Surabaya, Jawa Timur, dan sisanya ke Batam, Kepulauan Riau. Di Surabaya, sampah plastik tersebut diketahui diselundupkan melalui impor scrap kertas. Adapun di Batam, sampah plastik itu diselundupkan melalui impor scrap plastik. Ditjen Bea dan Cukai juga menaruh curiga pada belasan kontainer tersebut. Mereka lalu mengarahkan belasan kontainer itu ke jalur merah untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dari pemeriksaan, diketahui bahwa isi kontainer tersebut mengandung impuritas atau limbah sampah.(katadata.co.id, 18/6/19).
Menanggapi hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengekspor balik lima kontainer sampah tersebut ke negara asalnya, yakni Amerika Serikat. Sementara itu, 11 kontainer sampah lainnya masih menunggu proses untuk dikembalikan ke negara asalnya. Namun, dikembalikannya kontainer sampah ini tidak menyurutkan berbagai analisis dampak lingkungan mengenai dampak impor sampah bagi Indonesia.
Seperti dilansir dalam tirto.co.id pada 26 Juni 2019, Ecoton menemukan, ada volume impor kertas bekas 739 ribu ton per tahun 2018 dibandingkan jumlah impor 546 ribu pada 2017 untuk bahan baku pabrik kertas di Jawa Timur. Dari 12 pabrik kertas yang dipantau Ecoton, sebagian besar menambah lahan penampungan sampah untuk mengantisipasi bahan baku impor kertas bekas.
Memang benar bahwa sejumlah industri seperti pabrik kertas membutuhkan sejumlah besar sampah kertas sebagai bahan bakunya. Di Jawa Timur misalnya, terdapat 22 industi pabrik kertas yang 80% di antaranya menggunakan bahan baku berasal dari sampah kertas bekas impor.
Namun, fakta lain menyeruak berkaitan dengan impor sampah untuk kebutuhan industri ini. Sebab, ternyata ketika negara luar mengimpor sampah, bukan hanya sampah kertas yang diimpor, turut pula sampah plastik yang tidak dapat di daur ulang. Melihat pada dampak sampah palstik yang sangat merusak lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mendesak pemerintah untuk segera menghentikan impor sampah. Sebab, tidak semua sampah plastik yang diimpor dari luar negeri bisa di daur ulang. Malah, lebih banyak yang tidak bisa didaur ulang. “Ketika tidak bisa didaur ulang, residunya itu enggak bisa diapa-apakan. Kemudian dibuang aja ke pinggir-pinggir sungai, tanah kosong, mengalirlah ke laut. Jadi sampah di laut, di sungai. Kemudian ada juga yang dibakar,” kata Manager Pengkampanye Perkotaan dan Energi Walhi Dwi Sawung saat diwawancarai Katadata.co.id, Senin (17/6).
Sampah Menjadi Penopang Industri ?
Kekhawatiran akan dampak kerusakan lingkungan cukup berdasar, sebab bisa saja sampah tersebut mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3) yang juga bisa memicu kanker dan segala macam penyakit lainnya. Di sisi lain, kemampuan manajemen pengelolaan sampah di Indonesia masih buruk. Berdasarkan catatan Walhi, hanya sekitar 40% daerah di Indonesia yang memiliki sistem pengankutan sampah. Karena itu, alasan impor sampah untuk industri tidak dapat dibenarkan, apalagi jika menyangkut sampah plastik.
Upaya pengendalian sampah impor pernah dilakukan. Pada 10 Mei lalu, 187 perwakilan negara berkumpul di Basel, Swiss. Konvensi Basel ini mencoba mengantisipasi kebijakan Cina yang menyetop keran sampah impor jenis plastik tahun lalu. Dampaknya, nega pengekspor sampah memiliki pilihan yang lebih sempit.
Dalam The Chines import ban and it’s impact global plastic waste trade, selama 1988 – 2016, Cina menyerap 45,1% sampah plastik dunia. Namun, dengan berhentinya Cina menyerap sampah plastik, beban impor sampah terbagi ke negara lain, termasuk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan UN Comtrade, volume impor sampah Indonesia mencapai titik tertingginya hingga 283 ribu ton pada tahun lalu. Jumlah ini dua kali lipat dari angka impor 124 ribu ton pada 2013. Data BPS menggambarkan peningkatan impor 141 persen. Pada saat bersamaan, angka ekspor justru menurun 48 persen (sekitar 98.500 ton). Itu menandakan ada sekitar 184.700 ton sampah plastik di Indonesia, yang tidak diketahui nasibnya, di luar beban timbunan sampah plastik domestik sekitar 9 juta ton.
Dugaan adanya mafia sampah pun menguat. Sampah-sampah plastik tersebut diduga diselundupkan dengan kode green Light. Artinya, kontainer yang memuat sampah impor bebas masuk ke tanah air tanpa melewati pemeriksaan bea cukai. Meskipun dibantah oleh beberapa perusahaan, namun, Bali Fokus (lembaga nirlaba peduli lingkungan, memiliki temuan menarik. Salah satunya adalah perbedaan angka jual beli yang dicatat negara eksportir dan importir.
Selama 2014-2018, jumlah sampah impor yang dilaporkan negara eksportir lebih tinggu daripada yang dilaporkan oleh perusahaan importir. Pada 2014, angkanya mencapai 145.593 ton pada catatan pengekspor, sementara pada pengimpor tercatat hanya 107.423 ton. Jadi terdapat banyak selisih yang menunjukkan adanya kelebihan sampah yang diimpor.
Masalah sampah impor ini sangat pelik, karena juga melibatkan korporasi industri skala cukup besar. Bali Fokus memutuskan menyelidiki sejumlah perusahaan besar yakni PT Pindo Deli 3 di Karawang; PT. Fajar Dwisesa di Bekasi; dan PT. Harvestindo di Tangerang. Hasil yang paling kasat mata adalah memang ada sisa limbah di luar kebutuhan industri tersebut. Sisa limbah tersebut kemudian di jual ke warga sekitar yang telah berubah menjadi penadah. Sehingga, alur sampah impor semakin panjang yang tentunya dikhawatirkan dampaknya akan lebih luas.
Impor sampah yang ditujukan ke Indoensia mencerminkan rendahnya posisi tawar (bargaining position) Indonesia di mata negara importir sampah. Tingginya biaya pengelolaan sampah yang harus dikeluarkan di oleh negara luar menjadikan mereka mengimpor sampahnya ke Indonesia. Padahal, membuang sampah beserta limbahnya yang mungkin saja berbahaya adalah tindakan yang tidak benar.Islam sendiri memiliki sistem pengelolaan sampah yang sistematik. Dalam Islam, pengelolaan sampah dibingkai dalam 3 (tiga) kerangka besar. Pertama, individual. Dalam kerangka individual, Islam mendorong kesadaran individu terhadap kebersihan hingga pada level yang prinsipil yakni keimanan terhadap surga dan neraka. Sebagaimana yang tertung dalam hadis Rasulullah SAW: ‘Islam itu bersih, maka jadilah kalian orang yang bersih. Sesungguhnya tidak masuk surga kecuali orang-orang yang bersih.” (HR. Baihaqi).
Pemahaman tentang kebersihan ini mengarhkan individu untuk tidak terjebak pada pola hidup yang konsumtif, pemilahan sampah, dan pengelolaan sampah rumah tangga secara mandiri. Upaya minimalisir juga tertancap dalam gaya hidup islami karena setiap kepemilikan akan ditanyai Tashoruf-nya (pemanfaatannya).
Kedua, komunal. Pada kondisi tertentu, individu memiliki keterbatasan untuk mengendalikan sampah. Karena itu, peran masyarakat secara komunal diperlukan. Seperti yang dikatakan oleh Bagida Rasulullah SAW; “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (dan) menyukai kebaikan, bersih (dan) menyukai kebersihan, mulia (dan) menyukai kebagusan. Oleh sebab itu, bersihkanlah lingkunganmu”. (HR. Tirmidzi). Dengan adanya hadis ini, digunakan prinsip ta’awun (tolong menolong) dalam pengelolaan sampah secara komunal.
Ketiga, Pemerintah. Sejarah Kekhilafahan Islam telah mencatat pengelolaan sampah sejak abad 9 – 10 M. Pada masa Bani Umyyah, jalan-jalan di Kota Cordoba bersih dari sampah karena ada mekanisme menyingkirkan sampah di perkotaan yang idenya dibangun oleh Qusta ibn Luqa, ar-Raszi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi. Tokok-tokoh ini telah mengubah sistem pengelolaan sampah yang awalnya diserahkan kepada masing-masing orang, karean di perotaan padat penduduk telah berpotensi menciptakan kota yang kumuh (Lutfi Sarif hidayat, 2011).
Sebagai perbandingan, kota-kota lain di Eropa pada saat itu belum memiliki sistem pengelolaan sampah. Sampah-sampah dapur dibuang penduduk di depan-depan rumah mereka hingga jalan-jalan kotor dan berbau busuk (Mustofa As-Sibo’i, 2011).
Di sisi lain, kedaulatan dan kemandirian Indoensia dalam menopang industri tanah air harus ditampakkan. Pengelolaan harta milik negara dan milik umum tidak sewajarnya diserahkan kepada asing, agar hasil pengelolaan tersebut bisa dimanfaatkan untuk menopang industri skala kecil, menengah ataupun industri besar. Kebijakan fiskal pada Baytul Maal juga dikelola dengan manajemen yang baik sehingga dapat menopang keuangan negara. Impor sampah tidak lagi menjadi pilihan.
Alhasil, dengan dua perbandingan di atas, telah nampak bahwa Islam mengehendaki kehidupan yang terurus dengan baik oleh individu, masyarakat dan terutama pemerintah. Kebijakan impor sampah yang ditengarai merusak lingkungan, merusak kesehatan dan menjadi bukti lemahnya negara di mata negara luar dan korporasi, harus dihentikan. Jika kembali pada bagaimana pengaturan Islam dalam kehidupan, maka akan kita temui banyak kebaikan dan keberkahan. Wallahu a’lam Bishawwab.
WULAN AMALIA PUTRI
Komentar