Resah, begitulah yang terasa pada dada-dada rakyat kecil. Para pedagang makanan yang notabene bukan perusahaan beromset besar, kini harus menanggung beban pajak. Bahkan pedagang nasi bungkus pun harus menanggung pajak sebesar sepuluh persen.
Usai menerapkan pajak untuk nasi bungkus pada beberapa rumah makan yang sudah dipasangi e-tax, kini Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang mengawasi warung-warung pempek. Tiap pembelian paket pempek, baik makan ditempat maupun bungkus dikenakan pajak 10 persen. (Geloranews.co, 07/07/2019)
Tak hanya nasi bungkus dan pempek, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengusulkan perubahan tarif bea materai menjadi satu tarif sebesar Rp 10.000. Tarif ini mengalami kenaikan dari tarif bea materai saat ini yang maksimal Rp 6.000. (CNBC Indonesia, 05/07/2019)
Tak luput pula kantong kresek terkena imbas pajak. Pemerintah mengusulkan tarif cukai plastik sebesar Rp30.000 per kilogram dan Rp200 per lembar. Setelah dikenakan cukai maka nantinya harga jual kantong plastik menjadi Rp450-Rp500 per lembar. (CNBC Indonesia, 02/07/2019)
Sangat memprihatikan, negara Indonesia yang begitu besar dan kaya akan sumber daya alam ini harus memaksa rakyat kecil untuk mendanai pengeluaran negara ini. Benar, kucuran keringat rakyat kecil lah yang menjadi sumber penghasilan utama dan terbesar negara, yakni dalam bentuk pajak.
Penerapan sistem perpajakan yang dibebankan kepada masyarakat secara umum adalah bentuk kedzaliman yang nyata dan merata di tanah air kita. Alasan pemerintah bahwa harta pajak tersebut dikembalikan untuk kemaslahatan dan kebutuhan bersama tidak ubahnya slogan manis namun mempunyai maksud premanis.
Dalam paradigma Islam, diperbolehkan memungut pajak dari kaum muslimin, namun ada beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama: Negara komitmen dalam penerapan syariat Islam.
Kedua: Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh musuh.
Ketiga: Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara.
Keempat: Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat.
Kelima: Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari orang kaya saja. Tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu.
Keenam: Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
Ketujuh: Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.
Kedelapan: Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah pajak hari ini sudah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan para ulama di atas? maka jawabannya adalah tidak sesuai, hal itu dikarenakan pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil. Padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing, yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.
Pajak hari ini juga diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas. Hasil pajak juga dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, dll. Pajak yang dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil.
Dari keterangan di atas, menjadi jelas, bahwa pajak yang diterapkan hari ini di negeri ini merupakan perbuatan zhalim yang merugikan rakyat kecil, apalagi hasilnya sebagian besar dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat dan bahkan terbukti sebagiannya telah dikorupsi. Hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Maka sudah selayaknya kita membuang paradigma yang diusung kapitalisme yang mengharuskan pajak sebagai penghasilan utama dan terbesar negeri. Sudah saatnya hanya mengharap dan bergantung pada sistem Al Khaliq, pencipta dan pengatur alam semesta, Allah SWT, agar tercipta negeri yang berkah dan jauh dari kesempitan hidup. Wallahu A’lam bish-Showab.
ERNI YUWANA
Komentar