Antara Mursi dan Putusan Sidang MK, Masihkah Berharap Pada Demokrasi?

Gajah Mati meninggalkan Gading, manusia mati meninggalkan amal – pepatah

Antara Mursi dan Putusan Sidang MK, Masihkah Berharap Pada Demokrasi
drg Endartini Kusumastuti Praktisi Kesehatan

Pepatah di atas tentu tak asing di telinga kita. Masih lekat diingatan kita tak lama beberapa waktu lalu, Mantan Presiden Mesir Muhammad Mursi (Mohammed Morsi) meninggal dunia pada Senin (17/6/2019) saat menjalani proses persidangan. Mursi adalah presiden Mesir pertama yang dipilih secara demokratis. The Guardian menulis, Mursi adalah tokoh senior Muslim Brotherhood (Persaudaraan Muslim), yang kini dilarang oleh pemerintah Mesir. Ia tengah menjalani persidangan atas tuduhan espionase. Ia pingsan lalu meninggal di tempat. (www.bbc.com/indonesia/dunia-48669121).

Iklan Pemkot Baubau

Lain di belahan Afrika, lain pula di negeri ini. Akhir bulan lalu, Mahkamah Konsitusi (MK) memutuskan untuk menolak seluruh permohonan sengketa Pilpres 2019 yang diajukan pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Beratnya pembuktian dinilai jadi hambatan dalam permohonan ini. Tudingan tanpa bukti kuat dianggap tak cukup untuk meyakinkan sembilan hakim konstitusi MK. Permohonan sengketa Pilpres 2019 yang diajukan kubu 02 ini terdiri dari berkas awal dan berkas perbaikan. Pada Intinya, pemohon meminta MK mendiskualifikasi paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf Amin karena melakukan kecurangan yang terstruktur sistematis dan masif (TSM) dan menetapkan Prabowo-Sandi sebagai presiden-wapres terpilih. (www.cnnindonesia.com, 27/06/2019).

Dan beberapa fakta lainnya yang terjadi di berbagai negara, yang menunjukkan bagaimana upaya rakyat untuk meminta perubahan terhadap pemimpinnya, seolah hanya sekedar menjadi tontonan pelipur lara semata. Makin banyak umat yang mengalami kejumudan dengan kondisi konstelasi perpolitikan global saat ini. Kesejahteraan tak kunjung didapatkan ketika menjalani kehidupan. Harapan terbesar umat adalah bahwa ada perubahan yang terjadi agar terwujud stabilitas sosial masyarakat.

Apakah  Perubahan Ada di Tangan Demokrasi?

Banyak yang menganggap demokrasi sebagai sistem politik terbaik yang bisa dibayangkan. Karena itu tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa demokrasi telah menjadi sebuah agama sekuler. Kepercayaan politik terbesar di bumi. Mengkritik ide demokrasi adalah sesuatu yang berisiko dan Anda bisa dianggap musuh masyarakat beradab karenanya. Namun itulah yang ingin dikemukakan oleh Karel Beckman dan Frank Karsten. Dalam buku yang provokatif dan sangat mudah dibaca ini, mereka menguak tabu politik terkini: gagasan bahwa keselamatan kita ada pada demokrasi.

Setelah keruntuhan komunisme demokrasi dielu-elukan sebagai alternatif yang tepat. Di seluruh dunia orang-orang yang tertindas merindukan kebebasan dan demokrasi, jadi siapa yang berani berbicara menentang hal itu? Saat ini kita dapat melihat krisis yang muncul di banyak negara-negara demokrasi, paling jelas di Amerika Serikat, Yunani, dan Spanyol. Masalah-masalah ini tidak pernah dikaitkan dengan sistem demokrasi itu sendiri, melainkan kepada pasar bebas, kurangnya demokrasi, bankir yang serakah, atau politisi yang curang. Bahkan Indonesia sendiripun mengalami krisis saat ini.

Mengapa demokrasi tidak mengarah pada solidaritas, kemakmuran dan kebebasan tetapi konflik sosial, anggaran belanja negeri yang berlebihan dan pemerintahan yang bersifat menindas. Dengan argumen yang sederhana dan langsung mereka menunjukkan bahwa demokrasi, berbeda dengan kepercayaan yang populer, tidak mengarah pada kebebasan, peradaban, kemakmuran, perdamaian, dan penegakan hukum, tetapi sebaliknya: hilangnya kebebasan, konflik sosial, anggaran belanja negeri yang berlebihan, standar hidup yang lebih rendah dan sabotase hak-hak individu. Banyak orang masih percaya bahwa demokrasi adalah sama dengan kebebasan. Dan banyak orang yang mencintai kebebasan individu masih percaya bahwa jalan yang tepat untuk mencapai lebih banyak kebebasan adalah jalan yang melalui proses demokrasi. Banyak kritikus demokrasi yakin bahwa demokrasi perlu diperbaiki tetapi mereka tidak menemukan masalah fundamental pada prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.

Di dalam demokrasi  tiga slogan yang sering dipakai yakni dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat sejatinya tidak akan bisa diterapkan di dalam masyarakat dengan jumlah populasi yang banyak. Konsep demokrasi yang buruk bukanlah konsep Kedaulatan berada ditangan rakyat melainkan karena manusia yang dijadikan sebagai pembuat hukum. Karena kedaulatan ditangan rakyat tidak akan bisa diterapkan di dalam sistem pemerintahan manapun. Slogan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah pemanis dari konsep demokrasi ini. Rakyat yang digadang-gadang sebagai suara mayoritas tidak akan mampu mengubah bahwasanya manusia lah yang membuat hukum.

Dari sini bisa dipahami bahwasanya demokrasi adalah konsep yang buruk yang hanya memakai rakyat sebagai pemanis belaka ketika rakyat tidak dibutuhkan maka wakil rakyat akan berbuat semena-mena bergantung Siapa yang memiliki modal Karena itulah konsep demokrasi sangat cocok dengan sistem kapitalis di mana sistem kapitalis ini yang memegang peranan adalah pemilik modal. Meskipun mayoritas rakyat ingin menerapkan Islam dan menuntut kesejahteraan tetapi sistem yang dipakai masih demokrasi SI maka akan sangat mustahil penerapan Islam terjadi. Perubahan di dalam parlemen pun akan menjadi mustahil pula meski mayoritas suara parlemen ingin menerapkan Islam tetapi jika kesadaran masyarakat belum ada maka itu tidak akan pernah terjadi juga.  jika parlemen ingin menerapkan Islam kesadaran rakyat pun ada tetapi pemegang kekuasaan yakni militer belum bisa maka penerapan Islam pun juga tidak akan terjadi.

Kudeta Mursi dan sidang MK sengketa pemilu hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi semua, bahwasanya kita tidak akan pernah bisa berharap pada demokrasi untuk mewujudkan adanya perubahan kondisi sosial masyarakat. Perubahan masyarakat tak membutuhkan adanya hukum dan konstitusional.

Islam, Satu-Satunya Sistem yang Membawa Perubahan 

Tentu amatlah berbeda dengan Islam. Jika dalam demokrasi, perubahan memiliki celah yang sempit kecuali dia memiliki modal besar untuk mengendalikan semuanya, maka berbeda jauh dengan Islam. Di dalam Islam, perubahan hanya membutuhkan 2 hal. Terwujudnya Opini umum di tengah-tengah umat dan kesadaran umat akan kebutuhannya terhadap entitas Syariah. Dua kunci utama inilah, yakni Mengubah sistem yang ada kesadaran masyarakat pun berubah dan pengendali kekuatan juga berubah maka penerapan Islam pun akan terjadi. Umat yang sadar dengan didukung kekuatan militer, tentunya akan membawa kepada sebuah perubahan besar bagi masyarakat.  Penerapan Syariah akan menjadi sebuah keniscayaan bagi masyarakat.

Demokrasi hanyalah ilusi bagi sebuah sistem pemerintahan. Di dalamnya akan banyak terjadi deal-deal panjang antara birokrat dengan para pengusaha, dimana tujuan akhirnya hanyalah membuat kesengsaraan bagi rakyat. Korporasi yang dibentuk antara penguasa dengan pengusaha akan selalu ada ketika demokrasi yang sandaran utamanya adalah sekulerisme, dan berorientasi pada keuntungan. Negara bukan lagi bertindak sebagai pelayan, pelindung dan pengayom bagi rakyatnya. Melainkan sebagai wasit penengah antara pengusaha dan rakyat.

Bahwasanya demokrasi tidak dapat dijadikan jalan keluar bagi perubahan masyarakat harusnya memiliki Jalan politik sendiri. Perubahan itu tidak akan terjadi selama masih memegang sistem demokrasi sebagai sistem yang berjalan. Dengan demikian demokrasi harus segera dijauhkan dari negeri ini dan dibuang ke sampah peradaban dan menggantinya dengan Islam, aturan yang sempurna bagi kehidupan.

Sistem Islam, amatlah jauh berbeda. Penguasa bukanlah kaki tangan pengusaha. Penguasa dalam Islam adalah pelayan rakyat yang menjalankan amanah-amanah untuk kesejahteraan rakyatnya. Sistem Islam juga mampu memberikan penjagaan terhadap aqidah umat yang saat ini makin tergerus. Bukan hal yang mustahil, ketika sistem Islam dijalankan, penistaan agama, pelecehan kitab suci dan persekusi terhadap suatu agama bahkan tingkat kriminalitas dapat terminimimalisir.

drg Endartini Kusumastuti Praktisi Kesehatan

Komentar