Sampah Menggunung, Plastik Pun Dirundung

Sampah Menggunung, Plastik Pun Dirundung
drg Endartini Kusumastuti

Plastik akhir-akhir ini sedang naik daun. Mencuat kabar, akan dikenakan cukai plastik dikarenakan sampah yang makin menggunung. Indonesia sudah terkenal sebagai jawara sampah plastik – disebut sebagai produsen sampah di laut terbesar kedua setelah Cina. Laporan sintesis yang dikeluarkan Bank Dunia tahun lalu menemukan bahwa komposisi sampah kantung plastik di sungai Jakarta tergolong besar, yaitu 21.6% – kedua terbesar setelah kategori sampah organik lainnya sebesar 52,1%. Persentase yang cukup besar ini tidak mengejutkan karena kebanyakan orang biasa membuang sampah dengan kantung plastik, sebut laporan itu. (www.cnnindonesia.com, 7/07/2019)

Sejumlah produsen plastik mengatakan masalah sampah plastik tidak semata-mata terkait dengan besarnya konsumsi, tetapi juga pengolahan. Inilah yang menjadi alasan produsen plastik keberatan dengan larangan penggunaan kresek. Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Aromatika, Olefin, dan Plastik (Inaplas) Budi Susanto Sadiman masalah terkait plastik berakar dari pengelolaan sampah yang belum tepat. Pihaknya mengaku sudah menyarankan pihak pemerintah untuk mengelola sampah dengan cara Manajemen Sampah Zero (Masaro). Dengan Masaro, sampah plastik, termasuk kresek, dikumpulkan di tiap kelurahan dan kecamatan untuk diolah menjadi produk-produk yang memiliki nilai tambah. Dengan sistem ini, katanya, warga diminta untuk memilah sampah plastik untuk kemudian dijual ke pengusaha daur ulang plastik. Limbah plastik, ujarnya, bisa digunakan sebagai bahan bakar motor, minyak tanah dan campuran aspal. (www.finance.detik.com, 9/07/2019)

Iklan Pemkot Baubau

Cukai Sampah Plastik, Efektifkah?

Dari konsumsi, dinas lingkungan hidup dan Gerakan Diet Kantung Plastik memperkirakan warga rata-rata menggunakan 5,2 hingga 6,5 ton kantong per hari. Angka ini hanya menghitung pemakaian kresek di segmen retail dan pasar saja, belum termasuk grosir, kemasan, bungkus antar makanan, apotek, toko khusus, dan lainnya, sehingga angka total diperkirakan lebih besar. Tapi jika dibandingkan dengan sampah plastik yang dihasilkan Jakarta, konsumsi kantung plastik ini jumlahnya hanya 1% dari total sampah plastik – yang diperkirakan bisa mencapai sebesar 978 ton per hari. Sejumlah pertanyaan kemudian muncul: seberapa besar ‘perang’ terhadap kantung plastik bisa mengatasi masalah keseluruhan? Apakah fokus pemerintah dan masyarakat pada kantung plastik salah sasaran?

Menilik dari hal di atas, maka pengelolaan sampah plastik seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Potensi besar negeri ini dengan sektor pariwisatanya dan kekayaan alam bawah laut, tentu akan menarik para investor untuk semakin menjamah bumi pertiwi ini. Oleh karenanya, agar sektor ini tidak terancam gegara sampah plastik, maka Indonesia harus mengupayakan agar sampah plastik tidak semakin menumpuk. Jalan yang ditempuh pun adalah dengan menarik cukai dari plastik dengan tujuan untuk mengurangi pasokan sampah.

Apakah hal tersebut akan menimbulkan perubahan yang sigifikan? Tentu tidak. Karena masih banyak industri yang menggunakan plastik sebagai kemasan. Belum lagi jika dikenakan cukai pada plastik akan memicu produk impor. Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono mengatakan, keberadaan cukai plastik yang memberatkan industri dalam negeri bakal memicu pertumbuhan impor plastik di Indonesia. Sebab ini berbarengan dengan peraturan post border impor, dengan post tarif tersebut tentu produk impor gampang masuk. Harga impor yang cenderung murah, kemungkinan bakal menggerus industri dalam negeri. Industri dalam negeri bisa merosot, padahal permintaan sedang tinggi-tingginya, maka permintaan tersebut berpeluang diisi oleh produk impor. Dia menyebutkan, jika permintaan diisi oleh produk impor maka daya beli dapat menurun dan inflasi bakal muncul. (www.ekonomi.kompas.com,10/04/2018)

Strategi tambal sulam inilah yang akhirnya memicu masalah lain di sektor yang lain. Dan lagi-lagi rakyatlah yang akan menerima imbasnya. Negara tidak lagi bertindak sebagai pelindung dan pengayom. Cukai sampah plastik hanya satu dari sekian solusi praktis yang akan menimbulkan efek domino di masyarakat. Alih-alih mengurangi sampah, justru akan memberikan beban kepada masyarakat khususnya industri kecil. Usulan kebijakan itu tentu menuai respons dari pelaku usaha. Pelaku industri produsen dan pengguna plastik yang tergabung dalam Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPPP) memandang kebijakan itu tidak tepat sasaran karena akan merugiakan masyarakat (konsumen). Pelarangan itu juga bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara.

Dalam sistem kapitalis sekuler saat ini, telah membuang peran negara sebagai pelayan rakyat, terkhusus dalam upaya penanganan sampah plastik. Negara hanya bertindak sebagai regulator dan wasit yang menjadi penengah bagi investor. Orientasi bisnis akan selalu menjadi cara pandangnya dalam mengatasi segala persoalan. Jika sampah plastik ini bernilai rupiah maka jalan utamanya adalah menarik cukai. Dampak terbesarpun akan ditanggung oleh rakyat sebagai objek penerima aturan.

Islam : Sampah Tanggung Jawab Semua!

Dalam Islam, tentu berbeda penanganan tentang persoalan sampah. Orientasi pemberian layanan bagi umat dan bertujuan untuk kesejahteraan, maka bagaimana upaya negara untuk mengatasi segala problematika kehidupan. Tentunya mencakup 3 pilar besar dalam sebuah negara, yakni ketakwaan dan kesadaran individu, peran masyarakat (komunal) dan peran negara.

1. Individual

Islam mendorong kesadaran individu terhadap kebersihan hingga level asasi dan prinsipil yaitu keimanan terhadap surga dan neraka.

اَلْاِسْلَامُ نَطِـيْفٌ فَتَـنَطَفُوْا فَاِنَـهُ لايَدْخُلُ الْجَنَـةَ اِلانَطِيْفٌ

Artinya: Islam itu bersih, maka jadilah kalian orang yang bersih. Sesungguhnya tidak masuk surga kecuali orang-orang yang bersih (H.R. Baihaqi).

Pemahaman tentang kebersihan yang mendasar ini menumbuhkan kesadaran individual untuk pemilahan sampah, pengelolaan sampah rumah tangga secara mandiri, serta mengurangi konsumsi.

Pengurangan sampah secara individual dapat dilakukan dengan mengonsumsi sesuatu secukupnya. Makanan misalnya. Cukup ambil sekiranya dapat menghilangkan lapar. Jangan sampai berlebihan dalam mengambil makanan lalu kita kekenyangan sementara masih tersisa di piring kita. Upaya minimalisir juga tertancap dalam gaya hidup Islami karena setiap kepemilikan akan ditanya tashoruf-nya (pemanfaatannya). Bernilai pahala atau berbuah dosa.

2. Komunal

Pada kondisi-kondisi tertentu, upaya individual menjadi sangat terbatas dalam pengelolaan sampah. Contohnya, pada rumah tangga yang tinggal di lingkungan padat, acapkali tidak memiliki pengelolaan sampah mandiri, sehingga hanya mampu mengurangi dan memilah sampah untuk dikumpulkan lalu dipindahkan ke tempat pembuangan berikutnya. Karena itulah upaya pengolahan sampah komunal diperlukan.

اِنَّ اللهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيْفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ كَرِيْمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ جَوَادٌيُحِبُّ الْجَوَاد فَنَظِّفُوْااَفْنَيْتَكُمْ

Artinya : ”Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (dan) menyukai kebaikan, bersih (dan) menyukai kebersihan, mulia (dan) menyukai kemuliaan, bagus (dan) menyukai kebagusan. Oleh sebab itu, bersihkanlah lingkunganmu”. (HR. At- Turmudzi).

Pengelolaan sampah komunal dilakukan dengan prinsip taawun, bekerja sama dalam kebaikan. Bahkan bisa jadi di antara masyarakat terdapat aghniyaa’ (orang kaya) yang bersedia mewakafkan tanahnya untuk mengelola sampah komunal. Masyarakat dapat dibebani kewajiban membakar, memilah, atau mengelola secara bergantian.

3. Peran Pemerintah

Sejarah Kekhilafahan Islam telah mencatat pengelolaan sampah sejak abad 9-10 M. Pada masa Bani Umayah, jalan-jalan di Kota Cordoba telah bersih dari sampah-sampah karena ada mekanisme menyingkirkan sampah di perkotaan yang idenya dibangun oleh Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi. Tokoh-tokoh muslim ini telah mengubah konsep sistem pengelolaan sampah yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, karena di perkotaan padat penduduk telah berpotensi menciptakan kota yang kumuh (Lutfi Sarif Hidayat, 2011).

Kebersihan membutuhkan biaya dan sistem yang baik, namun lebih dari itu perlu paradigma mendasar yang menjadi modal keseriusan pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah bukan jasa yang dikomersialisasi hingga didapatkan uang kompensasi dalam penyediannya. Bukan pula sebuah beban yang harus ditanggung pemerintah hingga terlalu berat mengeluarkan dana membiayai benda yang tak berharga. Pengelolaan sampah merupakan upaya preventif dalam menjaga kesehatan. Kesehatan sendiri merupakan kebutuhan sosial primer yang dijamin dalam Islam selain pendidikan dan keamanan.Pengelolaan sampah masyarakat tak boleh bertumpu pada kesadaran dan kebiasaan masyarakat, karena selain kedua hal itu tetap dibutuhkan infrastruktur pengelolaan sampah. Kondisi permukiman masyarakat yang heterogen, adanya pelaku industri yang menghasilkan sampah dalam jumlah banyak, dan macam-macam sampah yang berbeda penanganannya, meniscayakan peran pemerintah bertanggung jawab atas pengelolaan sampah masyarakat.

Edukasi masyarakat dapat dilakukan pemerintah dengan menyampaikan pengelolaan sampah yang baik merupakan amal shalih yang dicintai Sang Pencipta. Secara masif disampaikan kepada masyarakat bahwa sebagai khalifah fil’ardh, manusia memiliki tanggung jawab dalam menjaga kebersihan lingkungan sebagai perlindungan terhadap makhluq Allah selain dirinya. Tertancapnya pemahaman ini akan meruntuhkan penyakit individualisme dalam memandang persoalan sampah.

Pemerintah sebagai pelayan masyarakat memastikan keberadaan sistem dan instalasi pengelolaan sampah di lingkungan komunal di permukiman yang tidak dapat mengelola sampah secara individual, di apartemen, rumah susun dan permukiman padat misalnya. Pemerintah harus mencurahkan segala sumber daya agar sampah terkelola dengan baik. Dana dicurahkan untuk mengadakan instalasi pengelolaan sampah. Pemerintah mendorong ilmuwan menciptakan teknologi-teknologi pengelola sampah ramah lingkungan, mengadopsinya untuk diterapkan.

drg Endartini Kusumastuti 

Komentar