Rekonsiliasi Jenderal dan Ilusi Demokrasi

Rekonsiliasi Jenderal dan Ilusi Demokrasi
NURUL WAHYUNI AGUSTINA

Kontestasi pilpres 2019 yang diwarnai berbagai polemik begitu menguras tenaga publik, mulai dari tataran elit politik hingga rakyat biasa yang terkena imbasnya. Drama yang menyeret hakim agung untuk menimbang adil sengketa hasil pemilu dalam gedung konstitusi ditutup dengan ‘sad ending’ dalam hati rakyat. Perjuangan untuk sebuah perubahan yang diimpikan negeri ini harus ‘dipukul’ menggunakan palu hakim agung. Rakyat dipaksa memberikan legitimasi. Impian rakyat akhirnya babak belur.

Tidak cukup dengan ‘bantuan palu’ hakim agung, rezim yang sementara menyusun skenario untuk drama season 2 ini menggila mengharap rekonsiliasi dari kubu lawan politiknya. Tanggapan dari berbagai kalangan pun mencuat. Pengamat politik, Rocky Gerung menyebut bahwa kubu 01 capres-cawapres terpilih Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin gugup mengenai rekonsiliasi dengan kubu 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Rocky menuturkan bahwa harus ada badai baru untuk bisa menghasilkan rekonsiliasi dua kubu tersebut (3/7). Rakyat pun optimis bahwa rekonsiliasi tidak akan ada dan tidak akan pernah terjadi mengingat sengitnya pertarungan antarkubu.

Iklan Pemkot Baubau

Bagai petir di siang bolong, rakyat yang masih babak belur harus rela ‘hangus’ bersama pahitnya kenyataan. Rekonsiliasi ternyata terlaksana pada Sabtu, 13 Juli 2019 disaksikan oleh Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, Jakarta. Prabowo bertemu Jokowi, berjabat tangan disertai senyum menyungging memberikan ucapan selamat bekerja.

Pertemuan sahabat, benarkah?

Jokowi menyebut bahwa pertemuannya dengan Prabowo adalah pertemuan seorang sahabat, kawan dan saudara. Benarkah demikian?

Tabiat dua sahabat yang berjumpa setelah lama berpisah adalah menuai bahagia, baik bagi mereka sendiri maupun bagi mata yang menyaksikan. Setidaknya ada haru biru yang turut dirasakan oleh orang-orang yang melihat. Namun kaidah ini sepertinya tidak berlaku di alam Demokrasi. Pertemuan yang diklaim Jokowi sebagai pertemuan seorang sahabat nyatanya menuai kecewa yang mendalam di benak rakyat.

Figur yang diberikan kepercayaan untuk memanggul keluh kesah penderitaan rakyat dan membawanya pada suatu titik terang penyelesaian, dengan dalih rekonsiliasi tega menjabat tangan sang petahana. Tentu masih segar dalam ingatan tentang pesta pemilu yang dihiasi keculasan, misteri meninggalnya petugas KPPS, korban kerusuhan aksi 22 Mei hingga sakit hati yang merambah dari gedung konstitusi. Tidak ada pihak yang merasa bertanggung jawab atas rangkaian peristiwa tersebut. Pengkhianatan menjadi berlipat saat rekaman video rekonsiliasi beredar di media massa. Rakyat pun hanya bisa gigit jari, menangis tanpa suara.

Bersama perasaan yang berkecamuk, rakyat akhirnya menunjukkan reaksi. Setelah sebelumnya menaruh harapan, kini mereka berbondong-bondong meng-unfollow akun pribadi sang Jenderal berikut akun partainya sebagai luapan rasa kecewa.

Saatnya Rakyat Bangun dari Mimpi!

Adanya rekonsiliasi ‘dadakan’ tersebut semestinya membuat rakyat bangun dari mimpinya. Demokrasi tidak akan pernah mampu ‘mengabulkan’ perubahan hakiki di tengah amburadulnya problematika negeri. Perubahan hakiki hanyalah ilusi Demokrasi. Demokrasi tidak akan dapat menularkan kebahagiaan secara merata kepada rakyat, sebab jalurnya memang telah didesain hanya mengalir dalam lingkaran elit penguasa dan dayang-dayangnya. Manfaat yang menjadi pondasi hubungan dalam kontestasi politik Demokrasi menjadi wajar melahirkan legitimasi yang mudah terbeli.

Kepentingan politik juga eksistensi diri dalam memegang kendali (eksploitasi) sumber daya alam di negeri ini boleh jadi menjadi ‘badai sebab’ munculnya rekonsiliasi tersebut. Rakyat tentu tidak lupa wajah-wajah tokoh politik yang berpengaruh dalam multi level bisnis tambang batu bara yang pernah disingkap terang-terangan oleh Watchdoc dalam dokumenter bertajuk “Sexy Killer”. Prabowo adalah pemilik perusahaan tambang Nusantara Energy Resources dengan 17 anak perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan, sawit, tambang batu bara hingga kertas. Elit politik dalam pusaran demokrasi yang sarat kepentingan tentu tidak akan rela kehilangan ‘air mengalir’-nya.

Politik Islam Solusi Sakit Hati

Rakyat tetap harus bangkit mengakhiri kezhaliman rezim. Hal yang perlu dilakukan saat ini adalah mengobati sakit hati dan kecewa yang masih menjangkitinya. Obat yang memulihkan itu tentu saja bukan lagi demokrasi. Berharap pada sistem buatan manusia pada ujungnya memangakan selalu menuai rasa kecewa.

Kini tiba saatnya rakyat memfokuskan pandangan kepada sistem Islam yang merupakan risalah dari Allah Al Khaliq. Jalan perubahan menuju kebangkitan yang diidam-idamkan rakyat telah terjawab secara sempurna dalam sistem Islam, yaitu dengan mengikuti metode dakwah Rasulullah SAW.  Beliau SAW adalah sebaik-baik teladan dalam segala hal termasuk metodenya dalam meraih perubahan hakiki.

Metode yang ditempuh oleh Rasulullah SAW meliputi 3 tahapan, yaitu pembinaan umat dengan Islam, interaksi dengan masyarakat untuk menyebarluaskan pemikiran Islam dan penyerahan kekuasaan oleh umat untuk menerapkan aturan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan. Oleh karena Islam merupakan solusiatas semua problematika kehidupan, maka penerapannya jelas akan mengantarkan pada perubahan hakiki untuk rakyat. Jalan perubahan ini dilandasi ketakwaan kepada Allah dan jauhdari kepentingan segelintir pihak.Perubahan yang akan membawa rakyat dari kondisi rusak menuju sebuah peradaban agung sebagaimanapernah tercatat dengan tinta emas sejarah. Hal ini menjadi pilihan bagi rakyat, apakah akan tetap dengan ilusi demokrasi atau memilih Islam sebagai solusi sakit hati. Wallahua’lam bi ash-shawab.

NURUL WAHYUNI AGUSTINA

Komentar