Kasus Novel Tuntas Dengan Sistem Islam yang Handal

Kasus Novel Tuntas Dengan Sistem  Islam yang Handal
RISNAWATI

Titik terang dalam penuntasan kasus penyerangan penyidik KPK Novel Baswedan belum benar-benar terlihat. Kerja yang dilakukan tim gabungan bentukan Polri begitu ditunggu. Hingga hari ini, terhitung sudah 826 hari sudah peristiwa penyerangan dengan air keras itu berlalu. Komnas HAM sempat terungkapnya otak intelektual teror ini ada di tangan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Komnas HAM mendapati sosok orang asing yang ada di sekitar lokasi rumah Novel yang diduga terkait dengan peristiwa penyerangan dengan air keras. Sosok orang asing itu ditemukan selama beberapa hari di sekitar tempat kejadian perkara (TKP).

Iklan Pemkot Baubau

Komnas HAM sudah menyampaikan informasi tersebut kepada tim gabungan. Selain itu, Komnas HAM menemukan CCTV dan alat yang diduga digunakan pelaku penyerangan.

“Sekitar 2-3 bulan lalu kami dapatkan info bahwa sudah ada sesuatu yang berjejak dan signifikan. Tinggal apakah Kapolri mem-follow up itu dengan sangat kuat dan mendalam. Kalau bagi Komnas HAM yang paling penting adalah segera ditemukan siapa aktor di balik penyiraman Novel karena temuan Komnas HAM sendiri itu sesuatu yang memungkinkan sampai level intelektualnya,” kata komisioner Komnas HAM bidang Pengkajian dan Penelitian, Choirul Anam, di kantornya, Jl Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (9/7).

Padahal, Indonesia adalah negara hukum yang senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan dalam seluruh aktivitas negara dan masyarakat. Komitmen Indonesia sebagai negara hukum pun selalu dan hanya dinyatakan secara tertulis dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen. Dimanapun juga, sebuah Negara menginginkan Negaranya memiliki penegak- penegak hukum dan hukum yang adil dan tegas dan bukan tebang pilih. Tidak ada sebuah sabotase, diskriminasi dan pengistimewaan dalam menangani setiap kasus hukum baik pidana maupun perdata.

Telaah Akar Masalahnya

Belajar dari kasus Novel, bahwa penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan. Sejatinya semua bukti terlihat dengan sangat gamblang, betapa saat ini Indonesia sedang berada dalam cengkeraman kapitalisme. Mulai dari tata kelola masyarakatnya, undang-undang yang diterapkan untuk pengaturan urusan dalam negeri hingga landasan hubungan luar negeri, semua berdasarkan arahan dari sistem Kapitalis Sekuler.

Tata aturan masyarakat yang dipakai, banyak menegasikan hukum agama. Dalam pola interaksi antar individunya, mulai dari aspek ekonomi, sosial kemasyarakatan, hukum, politik, pertahanan dan keamanan, semua diatur berdasarkan aturan yang bersumber dari akal manusia semata, tanpa tuntunan agama, di sinilah nampak ciri konsep hidup kapitalis sekuler. Oleh karenanya, sebuah keniscayaan, jika di Indonesia saat ini banyak terjadi kekacauan, kegaduhan dan keresahan di masyarakat. Tindak pidana korupsi yang tak terkendali, pergaulan bebas, narkoba, penjarahan, kasus HAM, kesenjangan sosial yang semakin meruncing, hingga hilangnya rasa aman.

Tampaknya cengkeraman kapitalis sekuler sungguh sangat teramat kuat, sehingga berbagai kasus yang menjerat negeri ini seakan sulit untuk dipecahkan, mulai dari hutang negara yang semakin menumpuk dan sulit untuk dilunasi, bencana alam yang susul menyusul, perampasan hak individu yang direstui negara, hingga Kasus novel baswedan yang tak kunjung menemui titik terang atas kasusnya.

Sungguh, cengkeraman kapitalis sekuler akan melahirkan individu-individu yang hipokrit, kegaduhan dan keresahan di masyarakat, juga menyebabkan banyak penjarahan sumber daya alam yang sebenarnya akan menjadi salah satu sumber kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu harus ada reformasi hukum yang dilakukan secara komprehensif mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaharuan sikap, dan cara berfikir agar sistem hukum dapat adil bagi siapapun. Yang terpenting harus berpedoman kepada syariat Allah dan selalu berpedoman dengan “siapa yang salah, dan siapa yang benar” bukan berpedoman pada “siapa yang bayar dia yang menang”. Namun hal itu sangatlah mustahil mampu dilakukan di dalam sistem hukum kapitalis demokrasi yang berlandaskan akan asas hawa napsu dan materi belaka. Saatnya kita kembali kepada sistem hukum Islam yang bersumber dari Allah semata. Dengan menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan tanpa terkecuali.

Kembali Kepada Islam

Islam adalah agama yang sempurna dan agama bagi seluruh alam. Islam pun bukan hanya sebagai agama ritual belaka, namun Islam mempunyai seperangkat aturan kehidupan manusia, termaksud dalam masalah hukum. Hukum dalam sistem Islam jelaslah akan adil bagi siapapun karena dalam sistem hukum Islam selalu berpedoman kepada yang haq dan batil sesuai tuntunan hukum syara yang datangnya dari Allah. Sistem Islam yang terangkum dalam syariat Islam kaffah lahir dari ideologi Islam, hukum-hukum yang dilahirkan berasal dari Sang Pembuat Hukum, yakni Allah SWT dan pasti sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal serta menentramkan jiwa. Karena itu Islam mewajibkan negara untuk terus-menerus mengokohkan keimanan dan membina ketakwaan seluruh rakyatnya. Islam menetapkan ini sebagai salah satu kewajiban utama negara. Jika negara (penguasa) abai terhadap hal ini, hal itu akan membuat penguasa tidak bisa merasakan kenikmatan surga. Rasul saw. bersabda: “Siapa saja yang dipercaya mengurus rakyat, sementara dia tidak menjaga mereka dengan nasihat, dia tidak akan mencium aroma surga, padahal aroma surga bisa dicium dari perjalanan seratus tahun” (HR Ahmad, Ibn Abi Syaibah dan ath-Thabrani).

Adapun Sistem Sanksi dalam Islam dibagi menjadi empat, diantaranya: Pertama, Hudûd adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan sanksinya telah ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus hudûd tidak diterima adanya pengampunan atau abolisi. Sebab, hudûd adalah hak Allah Swt. Jika kasus hudûd telah disampaikan di majelis pengadilan, kasus itu tidak bisa dibatalkan karena adanya pengampunan atau kompromi. Hudûd dibagi menjadi enam: zina dan liwâth (homoseksual dan lesbian); al-qadzaf (menuduh zina orang lain); minum khamr; pencurian; murtad; hirâbah atau bughât.

Kedua, Jinâyât adalah penyerangan terhadap manusia. Jinâyât dibagi dua:  penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan); penyerangan terhadap organ tubuh. Kasus jinâyât terhadap jiwa (pembunuhan), sanksinya ada tiga macam: qishash, diyat, atau kafarah. Pembunuhan sendiri diklasifikasi menjadi empat jenis; pembunuhan sengaja; mirip disengaja; tidak sengaja; karena ketidaksengajaan.

Ketiga, Ta‘zîr adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya, sanksi ta‘zîr ditetapkan berdasarkan pendapat seorang qâdhi dengan mempertimbangkan kasus, pelaku, politik, dan sebagainya. Di dalam buku ini, Dr. Abdurrahman al-Maliki mengelompokkan kasus ta‘zîr menjadi tujuh: pelanggaran terhadap kehormatan; penyerangan terhadap nama baik; tindak yang bisa merusak akal; penyerangan terhadap harta milik orang lain; ganggungan terhadap keamanan atau privacy; mengancam keamanan Negara; kasus-kasus yang berkenaan dengan agama; kasus-kasus ta‘zîr lainnya.

Keempat, Mukhâlafât. Dr. Abdurrahman al-Maliki memisahkan kasus mukhâlafât dari ta‘zîr. Pemisahan ini tentunya berbeda dengan sebagian besar fukaha yang memasukkan mukhâlafah dalam bab ta‘zîr. Menurut beliau, fakta mukhâlafât berbeda dengan ta’zir. Oleh karena itu, mukhâlafât berdiri sendiri dan terpisah dari ta‘zîr. Menurut beliau, mukhâlafât adalah tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan oleh Negara, baik yang berwujud larangan maupun perintah.

Inilah gambaran umum yang bisa kita sarikan dari kitab Nizhâm al-’Uqûbât fî al-Islâm karya ‘Allamah Dr. ‘Abdurahman al-Maliki. Sehingga terciptanya keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat serta terbangunnya Negara yang kuat amat ditentukan oleh ketangguhan sistem peradilannya. Ketangguhan sistem peradilan suatu negara ditentukan oleh ketangguhan sistem sanksinya. Untuk itu, memahami sistem persanksian di dalam Islam merupakan perkara urgen yang telah menjadi sebuah keniscayaan.

Alhasil, sudah saatnya menghilangkan cengkeraman kapitalis di negeri ini, dengan penerapan syariat Islam kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Karena itu, saatnyalah sekarang umat Islam segera berjuang penuh kesungguhan untuk mewujudkan semua itu. Dengan itu maka kerahmatan dan segala kebaikan akan bisa dirasakan oleh umat. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

RISNAWATI

Komentar