Keadilan Untuk Sang Guru

Keadilan Untuk Sang Guru
ROSMIATI

Apa kabar Baiq Nuril?, seorang guru yang beberapa bulan lalu sempat menghebohkan publik kini perkara yang dihadapinya ternyata belum menemukan ujungnya. Ya, beberapa waktu lalu, Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Buntut dari perkara ini, guru asal bumi Nusa Tenggara Barat itu, terancam kurungan penjara enam bulan dan denda Rp 500 juta (Sindonews.com, 6/07/2019).

Sebelumnya,  Baiq Nuril salah satu tenaga pengajar di SMAN 7 Mataram, mendapatkan sebuah sambungan telp dari rekan kerjanya.  Dalam percakapan singkat itu, aroma asusila tecium di dalamnya. Sang Guru pun tidak menunggu  lama, segera membawa perkara ini kepada pihak berwajib. Sayang, ibarat pepata,  Baiq Nuril hanya masuk dalam perangkap yang ia buat sendiri. Ya, wanita berusia 37 tahun itu malah dijerat balik dengan tuduhan telah melanggar Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), karena telah menyebarluaskan rekaman percakapan yang berisi konten pelecehan terhadap dirinya tersebut (Sindonews.com, 6/07/2019).

Iklan Pemkot Baubau

Aneh memang, UU ITE seakan menjadi tameng untuk pelaku kasus pelecehan seksual. Baiq Nuril merasa ini tidak adil baginya. Ia pun menempuh jalan menuju pengadilan tertinggi negara. Niat hati ingin meminta belas kasih Mahkama Agung. Namun lagi dan lagi,  MA menolak pengajuan yudisialnya. Pada November lalu, MA telah lebih dahulu menyatakan sikapnya, bahwa pihak Baiq Nuril memang bersalah karena melangar kesusilaan berdasarkan hukum informasi dan transaksi elektronik. Dan pada kamis lalu, peninjauan yudisialnya ditolak dengan anggapan tidak ada bukti baru yang dihadirkan (Sindonews.com, 6/07/2019).

Keadilan Terciderai

Tertolaknya gugatan Baiq Nuril di Mahkama Agung tidak hanya menghebohkan jagat tanah air. Media internasional pun memberitakan hal ini. Sindonews edisi, 6/07/2019, melaporkan bahwa media internasional yang berbasis di Amerika Serikat, seperti Reuters, Washington Post hingga New York Post, menuliskan kalimat yang berbunyi, “Pengadilan tertinggi di Indonesia penjarakan wanita yang melaporkan pelecehan seksual di tempat kerja.”

Begitu pula dengan media ternama di negeri Elisabeth, Inggris. BBC mengangkat tajuk.”Wanita Indonesia dipenjarakan karena berbagi panggilan ‘pelecehan’ atasan.”

Selain media di negeri Paman Sam dan Ratu Elisabeth, media di negara-negara teluk juga turut memberitakannya. Al Jazeera juga mengungkapkan hal serupa bahwa pengadilan tertinggi di Indonesia telah memenjarakan seorang wanita korban pelecehan seksual.

Media-media tersebut, memang tidak secara langsung mengatakan bahwa keadilan di negeri ini telah tiada. Namun, dari konteks kalimatnya mengandung makna, bahwa yang menjadi korban pelecehan, justru dialah yang meringkuh dibalik jeruji besi.

Berangkat dari hal ini, maka dengan mudahnya, pembaca menarik sebuah kesimpulan, bahwa memang keadilan sudah tidak ada lagi di negeri ini. Ya, sebab seseorang yang sejatinya bertindak sebagai korban malah dia yang dipenjarakan. Sedangkan sang Pelaku, bisa bebas melenggang dengan penuh kepuasan.

Fenomena ini juga seakan menjadi tambahan luka di jantung keadilan negeri. Ruang keadilan di negeri ini nyaris tidak dijumpai lagi,  bagi mereka yang tiada berpunya. Sementara mereka para penguasa yang mempunyai setumpuk kuasa,  dengan mudah diringankan hukumannya, padahal ia telah terbukti memakan uang rakyat juga negara, demi kepuasaan pribadi dan keluarganya sedangkan ratusan anak negeri melarat karenanya. Hal ini terlihat jelas oleh kita semua, sebagaimana para koruptor yang masih bisa meminta pengurangan dari lama waktu penahanannya.

Ya, bukan rahasia umum lagi, bahwa di negeri ini begitu mudahnya hukum itu dibeli sehingga pada akhirnya terbelokan oleh  mereka yang berpunya. Semua karena berpangkal pada paham yang bercokol dalam sistem hari ini, bahwa kebijakan  akan berpihak pada mereka yang berduit banyak, mempunyai pengaruh juga kuasa. Transaksi dalam hal hukum pun, dengan mudahnya terjadi. Yang ber-budget banyak bisa membeli dan memesan hukum yang ada.

Islam Menjaga Kemuliaan Wanita

Putusan pilu yang dijatuhkan pada Baiq Nuril tidak akan dijumpai ketika Islam diambil sebagai pandangan hidup. Melihat kasus pelecehan yang dialaminya, seakan mengingatkan kita, pada kisah seorang wanita muslimah Arab yang dilecehkan oleh seorang pemuda Yahudi Bani Qainuqa yang menyingkapkan jilbab sang Wanita hingga nampaklah auratnya.  

Tentu kita pun sama-sama mengetahui, bahwa dari peristiwa itu, Rasulullah Saw langsung mengirimkan pasukan untuk membela kehormatan sang Muslimah yang dilecehkan tersebut. Perang pun meletus tak terelakan dalam beberapa hari. Kalau saja Penduduk Yahudi Bani Qainuda tidak meminta ampun, perang tidak akan dihentikan oleh sang Nabi.

Semua itu dilakukan oleh Rasulullah Saw, sebagai bukti bahwa sungguh betapa Islam sangat menjaga kehormatan seorang wanita. Jika hanya disingkapkan auratnya saja ratusan kompi pasukan dikerahkan, lalu bagaimana jika sampai pada perkara pelecehan seksual?. Sungguh tidak terbayangkan, betapa marah dan murkanya Nabi Saw.

Oleh karena itu,  harapan keadilan untuk sang Guru (baca : Baiq Nuril) hanya akan dijumpai di dalam Islam. Sebab Islam dengan setumpuk paradigma dalam memandang wanita,, membuat kaum perempuan akan tetap duduk di atas singgasana kemuliaan tanpa kurang satu apapun.  Rasulullah Saw pun turut memerintahkan untuk menjaga kehormatan setiap insan sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh hadis at-Tirmidzi yang berbunyi, “ Siapa saja yang membela kehormatan saudaranya tanpa sepengetahuannya, Allah akan menjaga dirinya dari api neraka pada hari kiamat. “ Begitu pula, dengan hukum di dalam Islam, yang tidak akan mudah memihak kepada siapapun. Pihak yang bersalah akan di hukum, asal terpenuhi bukti keterlibatannya. Wallahu’alam

ROSMIATI

Komentar