Aneka Pajak Makin Bergejolak

Aneka Pajak Makin Bergejolak
FITRI SURYANI

Negeri tercinta ini, tentu tiada yang tak kenal dengan istilah gemah ripah loh jinawi. Mulai dari Sabang sampai Merauke kaya dengan sumber daya alam yang melimpah.Namun sayangnya pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang begitu diandalkan.

Sebagimana belum lama ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengusulkan rencanaan pengenaan cukai plastik kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Ia pun optimis penerapan cukai kantong plastik bisa dilakukan tahun ini. Pun Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi mengatakan, payung hukum penerapan cukai plastik ini akan dirilis dalam bentuk Peraturan Pemerintah, sedangkan tata cara pemungutannya dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Iklan Pemkot Baubau

Sebagai informasi, Pemerintah mengusulkan tarif cukai plastik sebesar Rp30.000 per kilogram dan Rp200 per lembar. Setelah dikenakan cukai maka nantinya harga jual kantong plastik menjadi Rp450-Rp500 per lembar (Cnbcindonesia.com, 02/07/2019).

Selain itu pula, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan perubahan tarif bea materai menjadi satu tarif sebesar Rp 10.000. Tarif ini mengalami kenaikan dari tarif bea materai saat ini yang maksimal Rp 6.000.Sri Mulyani menjelaskan, usulan peningkatakan dan perubahan tarif bea materai ini dengan beberapa pertimbangan (Cnbcindonesia.com, 05/07/2019).

Tak ketinggalan juga, Kota Palembang usai menerapkan pajak untuk nasi bungkus pada beberapa rumah makan yang sudah dipasangi e-tax, kini Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang mengawasi warung-warung pempek. Tiap pembelian paket pempek, baik makan ditempat maupun bungkus dikenakan pajak 10 persen.

Diketahui pula, saat ini Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang terus memasang alat pemantau pajak online (e-tax ) di rumah makan di Palembang dan bagi restoran dan rumah makan yang menolak pemasangan e-tax maka pihaknya akan mencabut izin atau menyegel tempat tersebut (Gelora.co, 07/07/2019).

Menilik Kebijakan Pajak

Jika menilik berbagai kebijakan pajak tentu tak sedikit yang pro dan kontra terhadap hal itu. Apalagi sebagai warga negara tak banyak yang bisa dilakukan atas kebijakan yang digulirkan oleh pihak berwenang. Sehingga mereka tetap menerima, walaupun dengan berat hati.

Adapun apabila menilikarti pajak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya.  Jadi jelas bagaimana posisi pajak di negara yang mengemban sistem Kapitalisme. Sehingga pajak merupakan pengeluaran wajib yang dikeluarkan oleh rakyat.

Di samping itu, Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani menuturkan tiga pembiayaan negara terbesar, yaitu dari penerimaan perpajakan Rp 1.498 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp 250 triliun, dan hibah Rp 1,4 triliun. Dia pun mengatakan bahwa pembangunan di Indonesia dari APBN sebesar 75 persennya ditopang dari pajak (Tribunnews.com, 12/08/2017). Jadi tak perlu kaget, jika aneka pajak makin bergejolak, apalagi sudah menjadi rahasia umum negeri ini memiliki beban utang luar negeri yang jumlahnya fantastis. Jadi,mungkinkah hal itu dilakukan untuk kejar setoran?

Tak dapat dipungkiri pula, pajak nyaris merambah pada semua bidang. Sehingga sulit sekali didapati sesuatu hal yang terlepas dari beban pajak. Padahal negeri tercinta ini kaya dengan sumber daya alamnya. Dunia pun tak dapat mengelak bahwa negara Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Dari kekayaan laut hingga darat. Sayang hasilnya hanya sedikit yang bisa dinikmati oleh rakyat. Karena pengelolaannya tak sepenuhnya lagi dijalankan oleh negara.

Sasaran pajak pun tak pandang bulu. Mulai dari rakyat kelas menengah ke bawah hingga kelas menengah ke atas. Semua tak luput dari beban pajak. Bahkan bagi mereka yang tak membayar pajak ataupun telat dapat dikenai sanksi. Jadi dalam sistem kapitalisme pajak merupakan hal yang mesti dikeluarkan oleh warga negara tanpa terkecuali. Karena pajak merupakan sumber pendapatan negara terbesar.

Olehnya itu, ibarat vampir, pajak adalah darah bagi sistem ekonomi neoliberal. Apapun akan dikenai pajak. Karena paradigma sistem ekonomi neoliberal menjadikan pajak sebagai penopang pendapatan negara, sehingga sulit untuk dihilangkan.

Pajak Dalam Kacamata Islam

Berbeda dengan hal di atas, dalam sistem pemerintahan Islam sebenarnya dikenal juga istilah  pajak, hanya saja kondisinya sangat jauh berbeda dengan yang ada pada sistem saat ini. Karena pajak dalam sistem Islam tidaklah dijadikan sebagai sumber pemasukan utama negara dan tidak semua warganya dikenai pajak. Pajak pun diberlakukan jika kondisi kas keuangan negara mengalami kekosongan, namun setelah membaik maka pajak secara otomatis akan dihentikan.

Dalam APBN sebuah Institusi Islam pun, sumber pemasukan tetap negara yang menjadi hak warga negara dan masuk ke Baitul Mal yaitu: Pertama, Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]. Kedua, jizya. Ketiga, kharaj. Keempat, ‘usyur. Kelima, harta milik umum yang dilindungi Negara. Keenam, harta haram pejabat dan pegawai negara. Ketujuh, khumus rikaz dan tambang. Kedelapan, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris. Kesembilan, harta orang murtad. Hal tersebut tetap menjadi pemasukan negara, ada atau tidaknya kebutuhan.

Pemasukan pajak pun tidak bersifat tetap, pemasukan ini bersifat instrumental karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena hal itu menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Selain itu juga pemasukan tersebut bersifat insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung pada keperluan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.

Walaupun beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajakpun diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang sesuai dengan proporsi, sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Pajak juga diambil tidak lain untuk membiayai keperluan yang ditetapkan oleh syara’. Institusi Islam juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan berbagai jenis pajak lainnya.

Dengan demikian, pendapatan terbesar negara  yang diambil dari pajak dalam sistem ini tentu akan sangat membebani masyarakat. Oleh karena itu, jalan keluar yang nyata untuk menanggulangi kekurangan APBN/APBD tidak lain yaitu dengan mengembalikan seluruh SDA kepada rakyat sebagai pemilik yang sebenarnya. Kemudian dikelola oleh negara sesuai dengan tuntunan syariah. Hasil dari sumber daya alam itu akan dinikmati sepenuhnya oleh rakyat, dengan begitu negara tidak akan terus-menerus membebani rakyatnya dengan berbagai jenis pajak. Tentunya semua itu hanya dapat terealisasi dengan diterapkanaturan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga Islam rahmatan lil ‘alamin dapat dirasakan oleh semua umat manusia. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

FITRI SURYANI

Komentar