Keadilan Hukum Dalam Sistem Demokrasi “Palsu”

Keadilan Hukum Dalam Sistem Demokrasi "Palsu"
JUMRIATI FATHIA

Kembali hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Seorang guru honorer SMAN 7 Mataram dilecehkan oleh kepala sekolah yang jadi atasannya. Namun bukan si atasan yang di jerat hukum malah si bawahan yang dipenjara.Sebagaimanana yang dilansir SindoNews.Com, 06 Juli 2019 lalu. Kasus ini bermula ketika Baiq Nuril merekam percakapan telepon dengan kepala sekolah yang jadi atasannya saat menjadi guru. Rekaman itu untuk membuktikan bahwa bosnya melecehkannya secara seksual. Namun Baiq justru di laporkan ke  polisi pada tahun 2015 atas tuduhan pelanggaran UU ITE.

Pada November lalu MA menyatakan bahwa Baiq bersalah karena melanggar kesusilaan berdasarkan hukum informasi dan transaksi elektronik. Pada hari Kamis, PK yang diajukannya ditolak dengan anggapan dia gagal menghadirkan bukti baru.”Peninjauan yudisialnya ditolak karena kejahatannya telah terbukti secara sah dan meyakinkan,” juru bicara pengadilan Abdullah kepada berita AFP. Pengadilan juga menguatkan denda Rp500 juta.(SindoNews.Com)

Iklan Pemkot Baubau

Kasusdiatashanyalahsegelintircerita, masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum  lainnya yang serupa yang sering dan terus terjadi. Tentu belum kita lupa dalam benak tentang seorang nenek yang dituduh mencuri 3 pohon jati , nenek yang mencuri kakao karna lapar, mantri Mirsan yang menolong orang.

Ironi keadilan penegakan hukum dalam demokrasi yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan dan uang pasti akan aman dalam genggaman hukum walaupun melanggar aturan negara dilanggar.Ibarat pisau dengan dua matanya, penegakkan hukum dalam demokrasi masih saja tumpul ketika berhadapan dengan pejabat atau yang punya kuasa dan tajam ketika berhadapan dengan rakyat kecil. Bahkan terkadang hukum hanya menjadi alat bagi pemegang kekuasaan yang mengabdi pada kepentingan, multi tafsir, dan tumpang tindih hukum yang satu dan yang lainnya.

Orang biasa  yang ketahuan melakukan tindakan kecil langsung ditangkap dan langsung dijebloskan ke penjara,  sementara  seorang pejabat negara yang korupsi uang milyaran rupiah prosesnya lama dan bahkan ada yang dapat  berkeliaran dengan bebasnya. Sepertinya  hukuman itu cenderung hanya berlaku bagi si miskin dan tidak berlaku bagi si kaya dengan mudahnya hukum dapat di beli dengan uang.Padahal hukum ada untuk membela yang benar.

Begitulah  keadilan hukum palsu dalam sistem demokrasi hasil dari rekacipta manusia  bukan berasal dari Allah SWT, lahir dari sekularisme yakni pemisahan agama dari kehidupan yang berkonsekuensi pada pemisahan agama dari negara. Aturan Allah hanya di gunakan dalam kehidupan individu saja tidak mengatur untuk publik. Standarnya hukumnya tidak jelas.sering berubah-ubah sesaui pesanan penguasa. Berbeda dengan Syariat Islam yang sumbernya tidak berubah-ubah yaitu Alqur’an dan sunah.

Dalam Islam  Allah memerintahkan kepada para pejabat atau pemimpin untuk melaksanakan amanat dan tanggung jawab mereka dan memutuskan suatu perkara hukum dengan adil. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat.” (QS An Nisa:58).

Menyampaikan ‘amanat’ yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah melaksanakan jabatan yang dipercayakan kepada para pemimpin sebaik-baiknya. Allah memerintahkan untuk melaksanakan jabatan itu bagi kepentingan rakyat, dan kepentingan publik. Memperlakukan secara sama terhadap semua penduduk yang dipimpinnya, tidak mengutamakan sebagiannya dan meminggirkan yang lainnya.

Saatnya kita kembali pada syariat islam yang memiliki standar yang jelas. pembuat hukumnya adalah Allah Zat yang maha tahu pemberi keputusan yang terbaik.  Sebagaimana diterangkannya di dalam firman-Nya

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang palik baik” (Qs. Al- An’am : 57)

Islam menegaskan bahwa manusia tidak layak membuat aturan hidup. Allahlah yang berhak membuat aturan hidup dan manusia hanyalah pelaksana. Tidak ada kompromi antara penguasa dan penegak hukum di dalamnya.Rasulullah telah mencontohkan bagaimana ketegasannya menegakkan keadilan walaupun terhadap putrinya sendiri. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim, suatu ketika orang-orang Qurais sangat mengkhawatirkan seorang wanita dari bani Makhzumiyyah yang tertangkap mencuri.

Lalu orang-orang Qurais berembuk, siapakah yang bisa melobi Rasulullah agar kepada wanita tersebut diberikan pengampunan. Lalu dipercayakanlah Usamah bin Zaid yang dianggap dekat dengan Rasulullah SAW dan menyampaikan hal itu kepada beliau. Lalu Rasulullah bersabda, “Apakah kamu mau memintakan syafaat dalam hukum di antara hukum-hukum Allah?”

Kemudian Rasulullah berdiri berkhotbah dan bersabda; “Sesungguhnya yang merusak atau membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka dahulu apabila orang mulia di antara mereka yang mencuri, mereka membiarkannya, tetapi kalau orang lemah di antara mereka yang mencuri, mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.”

Untuk keadilan dalam urusan pemerintahan, Allah memerintahkan kepada para pejabat atau pemimpin untuk melaksanakan amanat dan tanggung jawab mereka dan memutuskan suatu perkara hukum dengan adil. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat.” (QS An Nisa:58).

‘Amanat’ yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah melaksanakan jabatan yang dipercayakan kepada para pemimpin sebaik-baiknya. Allah memerintahkan untuk melaksanakan jabatan itu bagi kepentingan rakyat dan kepentingan publik. Memperlakukan secara sama terhadap semua penduduk yang dipimpinnya, tidak mengutamakan sebagiannya dan meminggirkan yang lainnya. Dalam sistem Islam setiap problematika umat mampu di selesaikan hanya dengan beberapa ayat AlQur’an saja.

Hukum dalam sistem demokrasi sama seperti apa yang dikemukakan Filsuf Plato bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. Mengharapkan keadilan di dalamnya hanyalah khayali semata. Wallahu a’lam bi shawab.

JUMRIATI FATHIA

Komentar