Pemilu telah berlalu, hasil rekapitulasi sudah final, pemimpin baru juga telah ditentukan, bahkan babak rekonsiliasipun telah dilakukan. Drama demokrasi telah membuka topeng kemunafikanya. Benar sekali slogan yang selalu disuarakan ‘Tidak ada lawan dan kawan abadi, yang ada kepentingan abadi’. Hal ini tidaklah terlalu salah.
Kita paham benar sebelum pemungutan suara berlangsung, bagaimana suhu politik negeri ini begitu panas. Perang media massa mengklaim jagoannya yang paling oke, hingga memicu sejumlah aksi kekerasan verbal maupun fisik antar pendukung. Sebutan ‘Kampret’ dan ‘Cebong’ bahkan menjadi begitu populer di media sosial bagi masing-masing kubu. Di beberapa daerah bahkan banyak aksi persekusi saat kampanye berlangsung. Bahkan antar saudara, antar teman bisa bertengkar gara-gara pilihan dukungan.
Babak baru masa depan negeri ini kembali di uji untuk lima tahun ke depan. Sejumlah elit politik partai sudah mulai melakukan banyak pertemuan. Sebelumnya berseberangan mulai merapat. Yang mendukung mulai meminta jatah posisi, apakah di kursi kabinet atau pejabat tinggi negara.
Wajah asli demokrasi telah menampakan diri. Negeri ini akan kembali melihat drama seri terbaru dengan banyak pemain lama maupun baru. Rakyat harus menerima dengan lapang dada perilaku para elit politik. Harapan rakyat akan pemimpin baru yang adil sekali lagi harus terkubur. Mimpi akan adanya pengurusan urusan umat sepertinya hanya akan menjadi sebuah ilusi. Kue kekuasaan jauh lebih manis dan legit ketimbang mesti bersusah payah mengurus kesejahteraan rakyat.
Perilaku ini sesungguhnya telah terjadi sejak lama. Saat demokrasi di terapkan di negeri ini, rakyat terus disuguhi oleh pola perilaku yang terus berulang. Yang beda adalah para pemainnya saja. Namun rakyat juga tidak pernah belajar, tetap saja menggantungkan asa setinggi langit pada demokrasi. Tidak bisa disalahkan sepenuhnya memang. Kampanye tentang demokrasi memang menghipnotis. Orang banyak lupa bahwa sebagai muslim seharusnya percaya bahwa Islam mengatur segala aspek kehidupan, termasuk didalamnya pemilihan pemimpin dan sistem pemerintahan.
Baginda Nabi dan para Khulafaur Rasyidin telah memberi contoh kongkrit tentang pemilihan pemimpin dan bagaimana sebuah negeri harus di urus. Tidakkah sebagai muslim lupa akan bagaimana Rasulullah SAW saat menjadi pemimpin Madinah Dukungan kaum Muhajirin dan anshor secara aklamasi tanpa pamrih sebagai kepala negara Madinah, dijawab Rasul dengan sebuah pengurusan urusan umat dengan baik. Dalam kirim waktu dua tahun Madinah tumbuh menjadi sebuah negara yang cukup diperhitungkan di Jazirah Arab. Stabilisasi dalam negeri Madinah cukup aman. Perjanjian dengan kaum Yahudi dan Nasara dilakukan, berikut dengan suku-suku di sekitar Madinah. Pendidikan dan kesehatan terselenggara dengan baik. Keadilan ditegakkan. Para sahabat dikirim ke wilayah-wilayah pelosok untuk mengajarkan agama dan jangan ditanya tentang pelaksanaan ibadah baik sholat, puasa, perhitungan zakat. Masjid adalah pusat ibadah sekaligus pusat pemerintahan.
Lalu bagaimana dengan urusan luar negeri Rasulullah mengirim banyak surat kepada para pemimpin besar saat itu. Penguasa Romawi dan Persia juga penguasa Mekkah, suku besar Quraisy mendapatkannya sampai merinding di singgasana mereka. Tidakkah itu cukup memberi pelajaran bagi kita bahwa Dien ini telah sempurna sejak Rasul di utus sebagai pembawa kabar gembira dan pemberian peringatan. sayang kaum muslimin, terutama para politisi muslim sendiri telah melupakanya, sehingga lebih percaya demokrasi sebagai upaya dalam meraih kekuasaan dan pemilihan pemimpin. Inilah gambaran tentang politik Islam yang agung, yang mengatur pemerintahan dengan hukum-hukum syariah yang digali dari Nash yang Qoth’i, maka tinggalkan demokrasi sebagai sistem politik usang yang lahir dari peradaban usang Romawi-Yunani berabad-abad silam. Wallahu’alam bi Showab.
DWI AGUSTINA DJATI, SEMARANG
Komentar