Radikalisme Menggurita, Umat Islam Terus Menderita

Radikalisme Menggurita, Umat Islam Terus Menderita
Risnawati (Penulis Buku Jurus Jitu Marketing Dakwah)

Isu radikalisme kembali menjadi perbincangan hangat saat ini. Pemerintah Indonesia juga tak kalah dalam memerangi paham radikalisme. Sebelumnya, telah dilakukan  pertemuan rektor yang diadakan di seluruh Indonesia untuk memberantas paham radikalisme di kampus. Aksi kebangsaan yang dilaksanakan bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda juga digelar di berbagai Universitas di Indonesia. Semua agenda dilakukan untuk menangkal radikalisme dan Intoleransi yang disebut sebagai masalah besar yang ada di Indonesia. Dan saat ini, Kemeristekdikti juga menyatakan akan memerangi paham radikalisme dan intolerasni di kampus.

Dilansir dari Republika.Co.Id, Jakarta — Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan mendata nomor telepon dan media sosial milik mahasiswa, dosen dan pegawai pada awal tahun kalender akademik 2019/2020.  Pendataan itu dilakukan untuk menjaga  perguruan tinggi dari paparan radikalisme dan intoleransi.   Menanggapi hal itu, Ketua Muhammadiyah, Anwar Abbas mengatakan, sikap Kemenristekdikti tersebut berlebihan karena akan membuat dosen dan mahasiswa merasa ketakutan.

Iklan Pemkot Baubau

“Pernyataan dan sikap menteri ini ada benarnya tapi pernyataan menteri ini  oleh sebagian pihak dirasakan terlalu berlebihan dan bisa-bisa membuat kehidupan dosen, mahasiswa dan karyawan di kampus akan diliputi oleh ketakutan yang tidak jelas dan tidak menentu,” ujar Anwar kepada Republika.co.id melalui pesan What’App, Sabtu (27/7).

Menurut dia, kebijakan Kemenristekdikti tersebut tentu juga akan mengganggu kemerdekaan dan kebebasan berbicara yang menjadi ciri dan watak dari insan-insan akademis. Karena itu, menurut dia, pihak Kemenristekdikti harus bisa memperjelas organisasi mana saja yang tidak boleh dihubungi oleh para dosen,  mahasiswa dan karyawan berikut dengan alasan-alasannya. Selain itu, lanjut dia, Kemenristekdikti juga harus bisa menjelaskan apa yang dimaksud dengan radikalisme dan intoleransi tersebut secara terang dan terukur. Menurut dia, masalah ini harus bisa didudukkan dengan baik karena hal ini akan bisa menjadi malapetaka bagi kehidupan bangsa.

“Bila hal ini salah dalam menerapkannya akan bisa memasung kreatifitas dan kritisisme dari para dosen dan mahasiswa,” ucap Sekjen MUI ini.

Anwar meminta kepada Kemenrestikti agar tidak membuat kebijakan yang bisa merenggut kebebasan akademik dari para dosen dan mahasiswa. Menurut dia, Menristekdikti perlu menjelaskan peraturan itu dengan sejelas-jelasnya. “Jelaskanlah peraturan ini dengan sejelas-jelasnya dan terukur sehingga kita bisa menindak para dosen dan mahasiswa yang telah menyalahinya,” kata Anwar.

Radikalisme, Membidik Umat Islam

Radikalisme menjadi sesuatu fenomena yang semakin ekstrim dikalangan politik kebangsaan kita. Istilah radikal sendiri tidak menghasilkan makna yang baik atau buruk dari sesuatu. Namun istilah ini telah diberi definisi baru oleh Amerika Serikat dan Eropa. Mereka membuat terorisme dan radikalisme identik menodai citra mereka yang ingin menghidupkan kembali tata dunia kapitalistik. Akidah Islam sebagai pengganti kapitalisme yang rusak adalah sasarannya. Siapapun yang telah dicap sebagai radikal dengan cara yang sama seperti mereka dicap sebagai teroris. Ini bukan hal baru, karena berbagai fitnah lainnya secara historis telah digunakan. Upaya ambisius yang destruktif dilakukan rezim kapitalis untuk ‘mereformasi Islam’. Ya, memang isu radikalisme itulah yang membidik Umat Islam saat ini setelah isu terrorisme gagal mematikan geliat umat Islam. Semenjak negara adidaya (Amerika) yang memimpin dunia memiliki presiden baru (Donald Trump), semenjak itulah Global war of Radicalism dimulai. Donald Trump sudah tidak lagi menutupi permusuhannya terhadap Islam. Tidak seperti presiden sebelum-sebelumnya, mereka masih menggunakan isu Global war of Terrorism sebagai alat untuk membidik Umat Muslim. Namun, cara tersebut dirasa kurang efektif dalam membidik Umat Islam secara luas. Maka digunakanlah isu baru: Global war of Radicalism. Agenda Amerika ini diawali dari melangsungkan Arab Islamic America Summit atau KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Arab Islam Amerika yang dilaksanakan di Riyadh, Arab Saudi pada bulan Mei 2017 yang lalu.

Agenda tersebut diikuti oleh 55 pemimpin negeri Muslim dan Amerika yang membahas mengenai pemberantasan terorisme dan radikalisme. Melalui agenda tersebut, para pemimpin negeri Muslim diminta untuk bekerjasama dalam memberantas terorisme dan radikalisme.Agenda tersebut berdampak besar bagi kelangsungan Umat Muslim di dunia. Dengan keloyalannya terhadap Amerika, Arab Saudi bahkan memecat ribuan Imam Masjid yang terindikasi memiliki pemahaman radikal. Mereka menunjukkan bahwa seolah-olah kata radikal memiliki makna negatif yang hanya bisa ditujukan kepada kaum Muslim.

Padahal, menurut KBBI kata radikal merupakan segala sesuatu yang sifatnya mendasar sampai ke akarnya atau sampai pada prinsipnya. Berdasarkan definisi tersebut, muslim radikal berarti orang Islam yang melasanakan ajaran Islam kaffah (menyeluruh). Sebutan Islam radikal hanya ditujukan kepada Umat Muslim yang taat terhadap syari’at Islam. Tidak ada yang salah dengan istilah ini, sejatinya.

Lalu pertanyaannya mengapa jika kata radikalisme disandingkan dengan Islam malah memiliki konotasi negatif?

Apakah ini adalah propaganda untuk menciptakan phobia terhadap islam ditengah-tengah masyarakat yang terus gencar dilakukan dengan menggodok isu-isu sensitif seputar terorisme, fundamentalisme, ekstremisme sampai radikalisme. Hingga akhirnya muncullah rangkaian narasi bahwasannya radikalisme adalah cikal bakal dari terorisme demi penegakan syari’at menyeluruh dalam bingkai negara. Isu-isu itu terus dilontarkan dalam ajang perang pemikiran. Termasuk sebagai upaya memporak-porandakan pemikiran masyarakat dan membenci sebagian ajaran agamanya sendiri. Maka, jelaslah isu radikalisme terhadap Umat Islam yang sekarang digalakkan kepada masyarakat sesungguhnya adalah propaganda melawan Islam. Jika propaganda tersebut berhasil, sungguh itu musibah besar. Sungguh, ini merupakan sikap permusuhan terhadap Islam.

Kembali kepada Islam

Allah SWT berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu siapa saja yeng mengingkari thâghût dan mengimani Allah, sungguh ia telah berpegang pada tali yang amat kuat, yang tidak akan putus.  Allah Maha Mendengar lagi Mahaahu (TQS al-Baqarah [2]: 256).

Isu radikalisme dan intoleransi yang dituduhkan pada kampus sebagai tempat penyebarannya. Isu ini memancing banyak tokoh untuk berkomentar, baik tokoh di jajaran pemerintahan ataupun intelektual di kampus. Sungguh ironi, kampus yang merupakan wadah pencetak ilmuwan malah dicurigai dan dituduh sebagai sarang radikalisme. Sehingga cara yang diambil pemerintah dalam menangkal radikalisme dengan target utama melalui kampus akan berpengaruh besar bagi bangsa Indonesia. Pemikiran yang di dapat melalui proses pendidikan akan mempengaruhi tingkah laku manusia. Sedangkan Mahasiswa merupakan tonggak bangsa untuk melanjutkan kehidupan bernegara di masa depan. Dua hal tersebut diperkirakan sukses untuk menjadi agen dalam rangka memberantas radikalisme dan intoleransi yang ada, yang dimotori oleh Amerika.

Hal ini menjadi bukti bahwa orang-orang kafir inilah yang sebenarnya tidak menghendaki Islam hadir sebagai rahmat bagi kehidupan manusia dan alam semesta, yang akan terus memusuhi Islam apapun caranya, termasuk melalui pemimpin-pemimpin Muslim yang sepakat menjadi agen untuk membungkam Umat Muslim sendiri. Mereka senang jika Umat Muslim jauh dari agamanya. Hal tersebut telah diberitakan oleh Allah dalam beberapa firmannya, salah satunya melalui Firman Allah dalam QS. As-Shaff ayat 8: “Mereka (orang-orang kafir) bermaksud memadamkan cahaya agama Allah dengan perkataan-perkataan mereka, tapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya (agama)-Nya walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukainya..”

Karena itu, jalan satu-satunya untuk menghentikan berbagai tindak kekerasan dinegeri ini terutama terhadap umat Islam serta menyelesaikan berbagai problem yang ada hanyalah dengan kembali pada petunjuk dan aturan Sang Pencipta. Dengan demikian, seharusnya yang perlu dilakukan adalah mencabut akar masalahnya yaitu dengan mengganti sistem yang rusak (kapitalisme) untuk menuntaskan persoalan di negeri ini dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh. Meskipun sulit, namun ini adalah hal yang tak mustahil dilakukan karena telah terbukti kegemilangannya.

Alhasil, semua isu radikalisme dan intoleransi ini semata-mata hanya akan menjauhkan Umat Islam dari agamanya sendiri, sehingga kita akan takut menjalankan Syari’at sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diperintahkan oleh Allah SWT. Padahal, bangkitnya umat Islam justru akan membawa rahmat bagi seluruh alam. Tidak hanya umat Islam, non Muslim dan alam semesta pun akan merasakan kebaikan saat Syari’at Allah yang sempurna ini diterapkan secara mengakar, menyeluruh tanpa terkecuali. Inilah perubahan radikal yang akan menyelamatkan negeri ini, dunia dan akhirat. Jadi, isu radikalisme dan intoleransi yang kembali mencuat ini, lagi-lagi umat Islam yang menjadi korban dan terus menderita. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

Risnawati (Penulis Buku Jurus Jitu Marketing Dakwah)

Komentar