Dunia pendidikan kembali mendapat sorotan setelah wacana merekrut rektor asing yang disampaikan oleh Menristekdikti beberapa hari yang lalu. Seperti dilansir dari Jakarta – Kemenristekdikti berencana merekrut rektor asing untuk memimpin perguruan tinggi negeri (PTN) yang siap. Menristekdikti Mohamad Nasir menyatakan wacana ini bertujuan agar PTN RI bisa menembus 100 besar peringkat dunia.
“(Kita nanti tantang calon rektor luar negerinya) kamu bisa tidak tingkatkan ranking perguruan tinggi ini menjadi 200 besar dunia. Setelah itu tercapai, berikutnya 150 besar dunia. Setelah ini 100 besar dunia. Harus seperti itu. Kita tidak bisa targetnya item per item,” kata M Nasir, sebagaimana dikutip dari situs Setkab, Rabu (31/7/2019).
Terkait siapa rektor luar negeri yang akan dipilih, M Nasir, mengemukakan tim Kemristekdikti saat ini sedang membahas kriteria yang diperlukan dari pemerintah agar PTN yang dipimpin rektor tersebut mampu mencapai 100 besar dunia. Wacana ini sendiri sudah dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Saya sudah laporkan kepada Bapak Presiden dalam hal ini wacana untuk merekrut rektor asing ini, yang punya reputasi. Kalau yang tidak punya reputasi, jangan. Tidak mesti orang asing itu baik, belum tentu. Nanti kita cari,” ungkap Menteri Nasir.
M Nasir menyampaikan praktik rektor asing memimpin perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi publik di suatu negara lumrah dilakukan, terutama di negara-negara Eropa. Bahkan, menurut dia, Singapura melakukan hal yang sama. Dengan rektor luar negeri dan dosen luar negeri meningkatkan ranking perguruan tinggi Indonesia, M Nasir menyebut rakyat Indonesia akan lebih dekat dengan pendidikan tinggi yang berkualitas dunia.
Dikutip dari Eramuslim.com – Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, tidak setuju dengan rencana Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) merekrut rektor asing untuk memimpin perguruan tinggi di Indonesia. Dia khawatir, ke depannya presiden pun bisa direkrut dari luar.
“Kalau begitu caranya nanti naikin aja ke atas, jangan-jangan kita nggak sanggup jadi presiden juga, nyari orang asing jadi presiden. Nanti kepala desa, nyari orang asing. Nanti wali kota, nyari orang asing,” kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (31/7).
Dia mempertanyakan apakah Menristekdikti, M Nasir, tidak memiliki konsep dalam memodernisasi dan membangun kampus kelas dunia, sehingga harus merekrut rektor asing. Menurut dia, orang yang ditunjuk sebagai menteri karena memiliki konsep yang visioner, dan dianggap mampu bekerja menyelesaikan persoalan di Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri bahwasanya pendidikan di negeri ini masih memiliki persoalan yang belum menemui titik solusi. Kondisi ini sangat gambang terlihat dari minimnya fasilitas pendidikan, ketidakjelasan arah kurikulum, kurangnya jumlah pendidik berkompetensi, rusaknya perilaku keluaran (output) pendidikan dan beragam problem lainnya. Dan kini, publik dibuat geger lagi dengan wacana impor rektor asing. Tak heran jika kebijakan ini pada akhirnya justru menuai kritik dari berbagai kalangan.
Liberalisasi Pendidikan Sumber Masalah
Di era globalisasi saat ini, pendidikan telah menjadi perkara yang sangat penting. Orang-orang mencari kampus yang berkualitas dan terbaik. Seperti Harvard University, Stanford University, UC Berkeley, Universitas Oxford adalah beberapa universitas yang telah dikenal sebagai top 500 universitas dunia berdasarkan Peringkat Akademik Universitas Dunia 2015. Kita sering mendengar nama-nama itu dalam kegiatan penelitian, dan universitas mereka telah menghasilkan banyak orang yang benar-benar memenuhi syarat dalam bidang mereka.
Karena itu bukan rahasia lagi, pada faktanya tidak banyak PT di Indonesia yang mampu bersaing di tingkat internasional, bahkan untuk level nasional saja, sebagian besar belum memenuhi harapan. Banyak faktor penyebabnya sejak dari tradisi universitas yang relatif baru, hanya sejak masa pasca Kemerdekaan Indonesia mulai memiliki universitas, pembiayaan yang minim, kualifikasi sumber daya dosen yang rendah, fasilitas yang tidak memadai, tidak ada atau kurangnya jaringan nasional dan internasional, dan sejumlah faktor lainnya. Tak kurang pentingnya, Pemerintah Indonesia dalam kebijakan politik pendidikannya sejak masa kemerdekaan hampir tidak pernah memprioritaskan pendidikan tinggi. Hal inilah yang membuat berkumandangnya seruan berulang untuk meningkatkan peringkat universitas di Indonesia agar menjadi universitas ‘kelas dunia’.
Berdasarkan hal itu, Indonesia mulai mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”. Tahun 2001, Pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni kesepakatan bersama tentang perdagangan jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dimana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 12 komoditas (barang dagangan).
Dengan demikian para investor bisa menanamkan modalnya disektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi). Pada akhirnya semakin melegitimasi adanya komersialiasi pendidikan tinggi, pelepasan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dan berdampak pada semakin rendahnya akses pendidikan tinggi yang mampu dinikmati oleh rakyat Indonesia. Maka, Indonesiapun telah mengadopsi KBE (Knowledge Based Economy, Ekonomi Berbasis Pengetahuan).
Kapitalisme juga menjadikan lembaga pendidikan atau sekolah sebagai lahan bisnis yang menyebabkan lembaga pendidikan lebih fokus mencari keuntungan berupa materi dari pada mendidik anak-anak menjadi generasi yang berkualitas. Komersialiasi pendidikan menggiring dunia pendidikan pada untung dan rugi atas kontrol asing. Dengan kata lain, pendidikan dalam sistem kapitalis sekular saat ini, hanyalah instrumen imperialisme. Yaitu sekadar alat kapitalisme global untuk mewujudkan kepentingan pasar bagi kelestarian hegemoni Barat atas Dunia Islam
Dengan demikian, para penjajah Barat telah merancang bagi dunia Islam, sistem pendidikan dan tsaqafah atas dasar pandangan hidup ala Barat, yaitu berupa pemisahan materi dari ruh dan pemisahan agama dari negara. Penjajah Barat menjadikan kepribadian mereka sebagai satu-satunya sumber tsaqafah umat Islam. Akibatnya, menjadikan intelektual muslim berpikir dan berbuat berdasarkan standar barat. Terjadilah pergeseran paradigma berpikir mereka, tidak lagi Islam, melainkan ide-ide barat beserta turunannya. Mereka tidak lagi berjalan sebagaimana perintah Rabb-nya, tapi mereka jadi lebih patuh pada perintah tuannya.
Sejak keruntuhan Khilafah 3 Maret 1924, boleh dikatakan hampir seluruh negeri Islam di Dunia Islam, termasuk Indonesia, berada di bawah hegemoni Barat, yaitu terpenjara dalam negara kapitalis sekuler yang memisahkan agama (Islam) dari pengaturan kehidupan bernegara, termasuk pengaturan dalam pendidikan.
Pendidikan memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat, tidak terbatas hanya sebagai penopang perkembangan ilmu pengetahuan, ilmu teknologi, ilmu sejarah, ilmu sosial dan ilmu ekonomi. Tetapi, syarat pembangunan rohaniah yang sehat dan kuat dengan mengembangkan pendidikan kearah perbaikan peradaban. Sebab inilah yang menjadikan Islam melalui tangan negara bertanggungjawab penuh dalam mengatur segala aspek berkenaan dengan sistem pendidikan, bukan hanya persoalan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah.
Pendidikan Islam merupakan instrumen strategis sebagai pembentuk dan pelestari peradaban Islam. Untuk itu, pendidikan Islam mengharuskan adanya institusi negara yang relevan, yaitu negara Khilafah. Hanya dalam Khilafah saja, pendidikan Islam akan berada dalam jalur misinya yang benar, yaitu sebagai pembentuk dan pelestari peradaban Islam.
Pendidikan gratis tetapi berkualitas dapat terwujud karena Khilafah memiki sumber pendapatan yang sangat besar. Kekayaan milik negara dan milik umum dikelola langsung oleh negara yang hasilnya didistribusikan kepada rakyat melalui pembiayaan pendidikan, kesehatan dan layanan publik yang lain. Negara juga membangun infrastruktur pendidikan yang lebih dari memadai, serta mampu memberikan gaji dan penghargaan yang tinggi kepada ulama atas jasa dan karya mereka. Dari pendidikan dasar, menengah hingga atas, yang menjadi kewajiban negara, tidak sepeser pun biaya dipungut dari rakyat. Sebaliknya, semuanya dibiayai oleh negara, baik orang kaya atau miskin, sama-sama bisa mengenyam pendidikan dengan kualitas yang sama. Kewajiban untuk memberikan layanan kelas satu di bidang pendidakan ini benar-benar menjadi tanggung jawab negara. Ini sesuai dengan hadist : “Imam (kepala negara) adalah penggembala, dan dialah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap gembalaan (rakyat)-nya.” (HR. Al Bukhari).
Kejayaan yang dicapai oleh sistem pendidikan Islam pada masa Khilafah melahirkan cendekiawan di bidang agama, filsafat, sains dan teknologi yang karya-karyanya tidak hanya diakui secara internasional, namun juga menjadi dasar pengembangan ilmu dan pengetahuan dunia hingga saat ini. Cendekiawan muslim tersebut seperti Imam Syafi’i, Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Al-Kindi, Ibnu Firnas, dll. Dan yang lebih keren lagi, ilmuwan-ilmuwan tersebut juga memahami ilmu agama dan tergolong polymath (ahli dalam banyak bidang ilmu). Keunggulan-keunggulan lulusan sistem pendidikan Islam tersebut tidak bisa diwujudkan dengan sistem pendidikan Finlandia, Korea Selatan maupun sistem pendidikan lainnya selain Islam. Kehebatan sistem pendidikan Islam tentu tidak terpisahkan dari sistem Islam secara utuh. Sedangkan sistem Islam itu tidak bisa dilepaskan dari institusi yang menerapkannya, yaitu Khilafah.
Alhasil, di dalam sistem Islam telah berhasil membangun sistem pendidikan di masa lalu dengan sangat gemilang. Negara Islam telah membangun tempat-tempat pendidikan yang sangat berkualitas. Di sistem ini lah muncul generasi cemerlang yang dicetak oleh tenaga pendidik yang berkualitas. Di dalam sistem Islam tenaga pendidik guru ataupun dosen dijamin kesejahteraannya sehingga guru dan dosen akan maksimal berkontribusi dalam bidang pendidikan, sains dan teknologi. Wallahu a’lam.
RISNAWATI (PENULIS BUKU KALAH SAMA MUALAF)
Komentar