Kebangkitan Perfilman Negeri

Kebangkitan Perfilman Negeri
ERNI YUWANA

Bukan sesuatu yang mengejutkan jika industri perfilman Indonesia melirik fenomena “dua garis biru” pada usia remaja sebagai momen untuk memberikan nilai edukasi seks yang lebih dan sekaligus meraup keuntungan. Terlebih remaja hamil di luar nikah pun jumlahnya sangat besar di Indonesia. Pelajar yang hamil di luar nikah pada akhirnya mengorbankan sekolah sekaligus masa depannya. Pelajar yang hamil di luar nikah harus drop out dari sekolah, serta menjadi sosok ibu dan ayah yang tidak siap serta tidak mumpuni dalam mendidik dan menjalani rumah tangga mereka. Bahkan tidak jarang, aborsi atau menggugurkan janin dianggap sebagai solusi. Padahal aborsi hanyalah menambah masalah baru yang lebih besar karena keselamatan sang ibu dipertaruhkan. Film remaja bertajuk “Dua Garis Biru” pun digagas. Film yang berkisah tentang kehamilan pelajar di luar nikah akibat pergaulan bebas. Namun, alih-alih film “Dua Garis Biru” mengedukasi kaum muda untuk menjauhi seks bebas, malah merangsang penonton dengan adegan-adegan panas yang merangsang naluri seksual.

Petisi untuk film ‘Dua Garis Biru’ pun muncul. Petisi tersebut digagas oleh Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (Garagaraguru) di Change.org. Mereka menilai ada beberapa scene di trailer yang menunjukkan situasi pacaran remaja yang melampaui batas. Menurut mereka, tontonan tersebut dapat memengaruhi masyarakat, khususnya remaja untuk meniru apa yang dilakukan di film. 

“Beberapa scene di trailer menunjukkan proses pacaran sepasang remaja yang melampaui batas, terlebih ketika menunjukkan adegan berduaan di dalam kamar yang menjadi rutinitas mereka. Scene tersebut tentu tidak layak dipertontonkan pada generasi muda, penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa tontonan dapat mempengaruhi manusia untuk meniru dari apa yang telah ditonton,” isi di dalam petisi, dilihat detikHOT, Rabu (1/5/2019).

Jika kita merujuk pada visi misi industri perfilman pada undang-undang, maka sejatinya film memegang peranan penting dalam pembangunan karakter bangsa Indonesia. Artinya content film juga harus diperhatikan. Dengan kata lain, film harus benar-benar mempunyai nilai-nilai edukasi, yaitu mendidik generasi bangsa menjadi karakter pembangun yang tangguh. Namun nilai edukasi pada perfilman Indonesia semakin tidak terasa, seolah hanya kedok maupun slogan kosong semata. Perfilman Indonesia justru penuh dengan kisah kasih kasmaran yang tidak jarang menjurus pada pornoaksi dan pornografi. Tak bisa dipungkiri bahwa tontonan yang menjurus pada adegan panas (dewasa) menjadi aset bisnis yang laris manis dipasaran perfilman Indonesia. Perfilman Indonesia sejauh ini hanya berputar keuntungan semata, sedangkan nilai edukasi hanyalah berupa bungkus tanpa kejelasan isi.

Perfilman Indonesia wajib bangkit, bukan hanya sekedar bisnis meraup keuntungan semata. Perfilman Indonesia wajib bangkit, bukan hanya berbungkus nilai edukasi namun berisi adegan pornoaksi. Perfilman Indonesia wajib bangkit, untuk memberikan pendidikan yang benar bagi generasi penerus bangsa. Syarat bangkitnya perfilman Indonesia yakni ketika film tersebut mempunyai nilai pendidikan dan manfaat yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan khalayak ramai dan  masyarakat, serta yang paling penting adalah mampu dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT dengan tidak melanggar syariat yang telah ditetapkanNya. Wallahu’alam bi showab.

ERNI YUWANA

Komentar