Setelah beberapa industri lokal mengalami gulung tikar, kali ini istilah tersebut menghantui salah satu industri yang terkategori BUMN yakni PT Krakatau Steel Tbk yang bergerak disektor baja. Pasalnya PT Krakatau Steel bermasalah sejak 7 tahun belakangan. Krakatau Steel mengalami kerugian yang sangat besar hingga triliunan rupiah, yang salah satu faktornya disebabkan oleh hutang.
Dikutip dari Nusantara.news, PT Krakatau Steel Tbk, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang konsen di sektor baja ini sedang menghadapi masalah yang besar. Emiten yang memiliki kode KRAS tersebut dikepung oleh persoalan utang dalam jumlah besar, sedangkan perseroan mengalami terus kerugian hingga tujuh tahun.
Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, pemerintahan Jokowi begitu agresif membangun infrastruktur yang tentu membutuhkan besi dan baja skala besar sementara kondisi PT Krakatau Steel sendiri dalam keterpurukan. Ditambah lagi adanya impor besi baja dari China bahkan perusahaan China yang membangun pabrik Baja di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, dengan nilai investasi 2,54 miliar dolar AS menambah list gejala problema yang dihadapi PT Krakatau Steel.
Upaya restrukturisasi pun dilakukan. Diantaranya, rencana Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 1.300 karyawan organiknya. PHK itu akan dilakukan secara bertahap, mulai 2019 hingga 2022. Rencana PHK itu diketahui dari Surat Edaran (SE) No 73/Dir.SDM-KS/2019 perihal Restrukturisasi Organisasi Krkatau Steel. Pada surat per tanggal 29 Maret 2019 itu ditujukan untuk para General Manager (GM) dan manager di lingkungan Krakatau Steel. Dalam SE tersebut, tercantum sejumlah poin penting. Di antaranya, merestrukturisasi 30% dari total 4.453 karyawan organik Krakatau Steel induk. Total karyawan yang masih bekerja sebanyak 6.264 karyawan
Ulah Paradoks Rezim Neoliberal
Ironis memang, disaat pembangunan begitu dioptimalkan, pabrik baja berstatus BUMN mengalami kebangkrutan. Nampak jelas, visi politik rezim saat ini begitu lemah. Penguasa negeri ini tidak serius dalam mengelola negeri ini, bahkan terkesan abai dalam membangun khususnya industri berat.
Krakatau Steel tak hanya tengah menghadapi persoalan internal kinerja yang buruk, tapi juga sedang menghadapi masuknya raksasa baja asal China yang membuka pabrik di Kendal seluas 700 hektare. Ini tentu bagian dari ancaman Krakatau Steel untuk bangkit.
Kalau saja Pemerintah berpihak kepada BUMN, maka Krakatau Steel harus diselamatkan dengan memberi jalur distribusi baja ke proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang tersisa. Sebab selama 4,5 tahun terakhir kue bisnis baja untuk pembangunan infrastruktur tidak diperoleh secara optimal oleh Krakatau Steel. Justru perusahaan China yang mendapat privilege lebih memasok baja untuk pembangunan infrastruktur.
Padahal, Krakatau Steel dari perseroannya juga membukukan pendapatan dari bisnis lain yakni real estate dan perhotelan, rekayasa dan konstruksi, jasa pengelolaan pelabuhan serta jasa lainnya. Bahkan, jasa pengelolaan pelabuhan cukup signifikan, yakni US$18,50 juta yang tentu juga akan menambah kas negara. Namun, nyatanya PT Krakatau Steel justru dianaktirikan.
Bahkan pemerintah justru menguntungkan negara lain melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 22/2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja yang dinilai memudahkan negara lain untuk impor dengan tidak adanya bea masuk, sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu produksi baja dalam negeri. Padahal, prasyarat menjadi negara kuat salah satunya dari industri berat.
Belum lagi, jika melihat dampak yang ditimbulkan rupanya juga mengenai masyarakat pribumi yang di PHK oleh perusahaan akibat restrukturisasi oleh pihak perusahaan yang ingin mempertahankan eksistensi PT Krakatau Steel. Akibatnya, dapat menimbulkan melonjaknya angka pengangguran terlebih dengan adanya perusahaan China beserta Tenaga asingnya.
Paradoks, rezim neoliberal yang sekuler ini hanya bisa membebek pada asing aseng. Mengalihkan tanggung jawab umat pada swasta. Akibatnya, negara ini bahkan akan dijualnya.
Perindustrian dalam Islam
Islam dengan mabdanya memiliki sistem politik yang tangguh, yang terbebas dari intervensi asing. Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.
Pemimpin dalam islam adalah junnah (pelindung), ia tidak akan membiarkan hak warga negaranya, siapapun itu dikuasai oleh pihak lain, termasuk melindungi hak hak Krakatau Steel dari ulah perusahaan swasta juga asing. Pemerintah akan menolak perusahaan asing yang jelas jelas merugikan negara dan umat. Ia akan mengelola sendiri industri berat termasuk industri senjata yang ada dan membuat makin maju dengan kecerdasan politik yang dimiliki.
Karena menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dsb semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam hadist hadist rasul saw.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”
Karenanya, mari kita bersegera menjalankan semua ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, dengan cara melaksanakan dan menerapkan seluruh syariah Islam. Penerapan seluruh syariah Islam tentu membutuhkan peran negara.
Pasalnya, banyak ketentuan syariah Islam berurusan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pengelolaan sumberdaya alam. Tanpa peran negara yang menerapkan syariah Islam, rakyat secara umumlah yang dirugikan, sebagaimana terjadi saat ini. Wallahua’lam.
SITI HARTANTI (AKTIVIS LDK UPMI IAIN KENDARI)
Komentar