Sengkarutnya Pelayanan Kesehatan Tersebab Kapitalisme

Sengkarutnya Pelayanan Kesehatan Tersebab Kapitalisme
Drg. ENDARTINI KUSUMASTUTI

Sistem JKN kembali menjadi sorotan! Pemerintah berencana menaikkan premi peserta BPJS Kesehatan pemegang kartu Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, premi BPJS Kesehatan saat ini sangat rendah dan tak cukup membiayai proses pengobatan dan perawatan peserta BPJS Kesehatan. Jika iuran tak ditambah, defisit BPJS Kesehatan akan makin membengkak.(www.nasional.kompas.com, 01/08/2019).

Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek mengatakan, Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit hingga Rp 9 tirliun. Penyebabnya, 80 persen peserta atau masyarakat banyak mengalami sakit. Ia mencontohkan, selama ini untuk tindakan kuratif penyakit jantung untuk satu juta orang mengeluarkan biaya mencapai Rp 6,9 triliun dan gagal ginjal tindakan kuratif yang harus dikeluarkan mencapai Rp 2,5 triliun. Pada saat ini, kata Nila, kesadaran masyarakat terhadap perilaku hidup sehat masih kurang.  Dinilainya penyakit tidak menular seperti itu meningkat sekali sehingga saat ini masyarakat harus mengubah perilaku untuk gerakan masyarakat sehat yang dimulai dari pendekatan keluarga. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut, kata Nila, dimulai pada 2014, yang sebelumnya hanya fokus pada tindakan kuratif dan tidak ada upaya atau pencanangan gerakan masyarakat sehat. (www.cnnindonesia.com, 22/07/2019). Oleh sebab itu, dirinya menggeser fokus yang dari sebelumnya kepada kuratif. Saat ini, lebih menekan terhadap upaya preventif promotif untuk kesehatan masyarakat Indonesia yang lebih baik. Oleh karena itu, saat ini pemerintah mencanangkan gerakan masyarakat hidup sehat ini yang harus diteruskan sehingga perubahan perilaku paradigma sehat terus ada.

Iklan Pemkot Baubau

Dalam bahasa kejiwaan, saking banyaknya masalah yang menghinggapi, hingga BPJS saat ini mungkin tidak lagi punya daya tilik diri, alias tidak merasa dirinya sakit. Di berbagai media, para pembela BPJS masih mengklaim bahwa mereka tidak sakit, baik-baik saja.

Orang Sakit Tidak Bisa Disalahkan

Setting BPJS sederhananya adalah rakyat harus membeli pelayanan kesehatannya sendiri. Ini prinsip! Sejalan dengan salah satu pilar ekonomi neoliberal yang diidap oleh pejabat-pejabat negeri ini yaitu “tarik semua subsidi”, “biarkan semua diurusi oleh rakyat” “dan biarkan mekanisme pasar yang menyelesaikannya” meski dengan bahasa yang lebih ramah. Yang patut bertanggungjawab adalah yang menciptakan regulasi model ajaib ini.

Maka kita lihat, yang terjadi di lapangan dana rakyat secara istiqamah ditarik untuk pelayanan kesehatan mereka, apakah sedang sakit ataupun tidak. Kemudian dana itu dikelola oleh kolektor -dalam hal ini BPJS- sebagiannya untuk biaya operasional pengelola dan sebagainnya untuk pelayanan kesehatan rakyat. Inilah prinsip: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Lantas  dimana peran negara?

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik 2008-2017 rerata pengeluaran penduduk Indonesia untuk biaya kesehatan naik 15,08 persen per tahun. Sedangkan belanja makanan pokok naik 6,23 persen per tahun. Bahkan pada 2017 penduduk DKI Jakarta dan DI Yogyakarta mengeluarkan lebih banyak uang untuk biaya kesehatan daripada belanja makanan pokok per bulannya. Sementara, Papua adalah daerah dengan rasio terendah, 0,11. Warga provinsi paling timur itu rata-rata mengeluarkan biaya kesehatan Rp17.169 per bulan dan Rp151.532 per bulan untuk belanja makanan pokok. Menurut Mendagri, jumlah penduduk Indonesia tahun 2016 sebesar 257,9 juta jiwa (http://jateng.tribunnews.com, 2016). Hingga akhir Maret 2017 jumlah iuran yang dibayar rakyat melalui Payment Point Online Banking (PPOB) mencapai Rp 3,190 T perbulan (http://bpjs-kesehatan.go.id,2017).

Dari angka-angka di atas dapat diperkirakan kebutuhan dana kesehatan seluruh rakyat Indonesia sekitar Rp.420,9 T pertahun. Sementara itu dana yang tersedia dari APBN dan penerimaan iuran BPJS Rp.142,28 T. Cukup besar defisitnya.

Dalam pandangan syariah Islam pelayanan kesehatan rakyat adalah kewajiban negara. Hubungan antara negara dengan rakyat dalam bidang ini adalah pemberi pelayanan dan penerima pelayanan. Negara bukanlah pihak yang menjual pelayanan kepada rakyat. Negara juga bukan semacam makelar yang mencarikan pihak yang menjual layanan kesehatan buat rakyat, di mana rakyat akan membeli pelayanan kesehatannya. Negara juga bukan pihak yang memberi hukuman kepada rakyatnya gara-gara rakyatnya nunggak bayaran. Intinya negara memberi pelayanan kesehatan kepada seluruh rakyatnya secara cuma-cuma.

Pelayanan Kesehatan Yang Mensejahterahkan

Idealnya memang begitu. Semua menginginkan kesehatan itu gratis. Tapi kita paham, bahwa kesehatan perlu dana yang sangat besar. Akan sangat membebani APBN. Oleh karenanya sebagian besar dari kita berpikir, BPJS ini adalah sebuah sistem komprominya.

Namun, perlu dicatat, jika sejak awal pelayanan kesehatan diposisikan sebagai kewajiban negara maka tidak akan ada anggapan hal itu sebagai beban APBN, sebesar apapun biayanya. Sebagai contoh, negara tidak pernah mengeluh soal besarnya biaya pembayaran utang dan bunga pinjaman luar negeri. Padahal ini jauh lebih besar daripada biaya ngurusi kesehatan rakyatnya.

Oleh karenanya, masalah utamanya adalah paradigma negara memandang kesehatan: apakah ini sebagai beban, atau tanggung jawab. Ketika ini dianggap beban, maka layaknya orang yang sedang dapat beban, akan sedapat mungkin berusaha mengurangi bebannya, melimpahkan ke orang lain atau membuangnya saja.

Sehingga sistem kesehatan yang berlandaskan syariah mesti ditopang oleh pelaksanaan ekonomi syariah. Dalam ekonomi syariah, sumber APBN cukup melimpah. Kekayaan alam berupa air, hutan, mineral-batubara, dan migas adalah milik rakyat secara kolektif. Negara berkewajiban mengelolanya untuk rakyat. Negara tidak berhak memberikan hak kelolanya kepada swasta baik lokal maupun asing. Pemasukan dari sektor ini bisa berpotensi lebih dari cukup untuk menopang pelaksanaan pelayanan kesehatan gratis buat semua.

###

Berapa besar potensi pendapatan yang diberikan oleh syariah Islam?

Dari sektor pertambangan minyak, gas, batubara dan mineral logam pada tahun 2010 Rp 691 Triliun. Potensi pendapatan dari hutan, Rp 1000 Triliun pertahun (Amhar, 2010).

Insyaallah cukup, malah lebih. Menurut data tahun 2016 ada 58 juta jiwa penduduk yang tak ikut dalam program, karena pada tahun itu baru ada 171.939.254 (68,8%) penduduk yang ikut program (http://finansial.bisnis.com). Bagaimana nasib pelayanan kesehatan mereka? Insyaallah dengan konsep pembiayaan ala syariah Islam semua penduduk yang kaya ataupun miskin, muslim maupun non muslim akan dapat terlayani kesehatannya secara cuma-cuma dan bermutu.

Tak perlu lagi wacana menaikkan premi asuransi. Tak ada lagi rasio tagihan macet sebesar 35% (http://bisniskeuangan.kompas.com), tak ada lagi ancaman sanksi bagi rakyat yang tak ikut program atau nunggak.

###

Allah berfirman dalam QS AlBaqarah:30, yang artinya sebagai berikut:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumiitu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Rumah sakit Islam di abad pertengahan diakui dunia sebagai rumah sakit terbaik di zamannya. Bangunannya megah dan pelayanannya prima. Bahkan hingga kini pun beberapa aspek pelayanannya masih dianggap lebih baik dibandingkan dengan rumah sakit modern. Rumah sakit Islam jauh dari kesan suram, kotor, dan menakutkan. Kebanyakan memiliki desain eksterior dan interior yang mirip dengan tempat tinggal raja. Rumah sakit yang berada di Baghdad, Mesir, dan Suriah, memiliki furnitur yang sama persis dengan istana bangsawan, lengkap dengan air mancur dan taman yang luas. (“The Origin of Bimaristans Hospitals in Islamic Medical History.”- Foundation of Science Technology and Civilization edisi April 2007).

Rumah sakit di era Islam memahami fungsinya sebagai institusi sosial. Mereka menggratiskan semua pelayanan, baik bagi orang kaya maupun miskin. Beberapa bahkan memberi pasien pakaian bersih dan uang saku ketika pasien pulang, seperti yang terjadi di RS Al-Nuri dan RS Al-Manshuri. Para pasien sangat terbantu dengan pemberian ini, terutama pada saat mereka belum mampu bekerja secara optimal pasca rawat inap.

Lalu bagaimana dengan nasib para pegawai rumah sakit jika tidak dibayar oleh pasien? Siapa yang mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka? Para dokter dan penyedia layanan kesehatan tetap memperoleh gaji. Gaji dokter berkisar antara 50-750 US$. Seorang residen yang berjaga di rumah sakit dua hari dan dua malam dalam seminggu memperoleh sekitar 300 dirham per bulan. Angka yang sangat besar pada masa itu, terlebih lagi kebutuhan dasar seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan sudah dijamin oleh negara.

Di luar rumah sakit, semisal di tempat praktek pribadinya, dokter dapat memungut bayaran dari pelayanan dan tindakan medisnya, terutama tindakan yang memerlukan keahlian khusus. Hal ini diperbolehkan dalam Islam sebabRasulullah pun memberikan upah bagi tabib yang melaksanakan veniseksi (memotong urat) untuknya. Di masa Abbasiyah, dokter yang melaksanakan operasi katarak menetapkan biaya minimum sebesar 15 US dolar. Wajar, mengingat dokter harus menyediakan peralatan dan obat-obatan sendiri di tempat praktik pribadinya.

Dari penjabaran di atas sangatlah jelas tergambar, bahwa sistem pelayanan kesehatan saat ini lebih berorientasi terhadap materi. Negara sebagai pelayan rakyat, melepaskan perannya dalam persoalan kesehatan dan menyerahkan kepada badan yang berlandaskan kapitalisme. Sengkarut persoalan pelayanan kesehatan akan segera tuntas ketika menjadikan Islam sebagai sebuah sistem aturan kehidupan. Wallahua’alam.

Drg. ENDARTINI KUSUMASTUTI

(PRAKTISI KESEHATAN KOTA KENDARI)

Komentar