Pajak Antara Kewajiban Dan Pemerasan

Pajak Antara Kewajiban Dan Pemerasan
Mariana, S.Sos


Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengusulkan rencanaan pengenaan cukai plastik kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Ia pun optimis penerapan cukai kantong plastik bisa dilakukan tahun ini.”Kita lihat aja tadi yang disampaikan oleh dewan Komisi XI akan melalukan pendalaman. Tapi, Insya Allah tahun ini, kita optimis,” ujar Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (2/7/2019). Senada dengan itu, Sri Mulyani Indrwati juga mengusulkan perubahan tarif bea materai menjadi satu tarif sebesar Rp 10.000. Tarif ini mengalami kenaikan dari tarif bea materai saat ini yang maksimal Rp 6.000.hal yang sama juga terjadi pada pempek, mengutip dari GELORA.CO – Usai menerapkan pajak untuk nasi bungkus pada beberapa rumah makan yang sudah dipasangi e-tax, kini Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang mengawasi warung-warung pempek. Tiap pembelian paket pempek, baik makan ditempat maupun bungkus dikenakan pajak 10 persen.”Pendapatan mereka setiap hari kita tau data kongkrit nya jadi nominal pajak yang kita terima valid,” kata Kepala Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang, Sulaiman Amin usai memantau pemasangan e-tax di Rumah Makan Pindang Simpang Bandara Palembang, Minggu (7/7).

Negeri sejuta pajak, nampaknya akan menjadi gelar kehormatan bagi negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa sebab apapun akan dikenakan pajak. Negeri kaya, sumber daya alam melimpah tapi hidup dengan pajak yang dipungut dari rakyat bahkan rakyat dengan pendapatan yang minimal. Lalu kemana hasil dari kekayaan alam yang melimpah ruah? Tidakkah itu menjadi pertanyaan buat kita semua atau hanya sebagian orang saja yang kepo, kemana kekayaan alam yang sangat banyak yang dimiliki negeri megabiodiversitas. Padahal dengan kekayaan alam yang melimpah itu seharusnya dapat menyejahterakan negeri dan penduduknya tanpa harus menguras dan memeras rakyat dengan pajak dalam segala aspek.

Iklan Pemkot Baubau

Ironi memang, ketika kekayaan yang terhampar di tanah hijau nan subur justru tidak memberikan dampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Padahal, banyak penduduk asing dari timur maupun barat yang justru berlomba untuk datang menikmati kekayaan negeri agraris dan maritim ini. Ketika penduduk asing justru berpesta pora dengan kekayaan negeri ini, penguasanya justru sibuk memeras rakyatnya dengan sejumlah pajak yang memberatkan bagi sebagian rakyat. Ini bukanlah mengenai rakyat suka atau tidak dengan adanya pajak yang dibebani pada mereka, tapi bukankah tugas negara adalah mengurusi rakyatnya bukan malah membebani mereka dengan pajak.

Seandainya Negara dalam keadaan kacau karena kesulitan ekonomi sebab sumber-sumber pendapatan Negara sudah tidak ada lagi, mungkin pajak yang dipungut bagi warga yang mampu menjadi layak. Hanya saja sumber kekayaan alam  banyak mulai dari laut, hutan, tambang, dan lain-lain, kemana semua itu? Apakah telah habis untuk kepentingan umum dalam hal ini menyejahterakan rakyat. Tapi kenyataannya, rakyat tidak sejahtera tetap saja akses pekerjaan itu sulit, angka penggangguran tinggi, kemiskinan merajalela bahkan kelaparan dimana-mana. Lalu masalahnya dimana, siapa yang disejahterakan?ketika keran investasi alias penanaman modal dibuka setiap Negara baik dari timur atau barat mengintai Negeri ini. Mereka semua berbondong-bondong datang melirik, mengelola, mengambil dan mengahabisi kekayaan alamnya dengan berbagai izin yang dikeluarkan penguasanya sehingga memudahkan bagi Negara lain merebut kekayaan negeri ini.

Negeri ini tergadai, kekayaan alamnya terkuras dan justru ketamakan Negara penjarah dilegalkan atas nama undang-undang karena telah mendapat izin. Kekayaan Negara ini telah di impor ke negara lain, kesejahteraan hanya bagi para korporasi baik asing, aseng maupun asong, sementara rakyat harus siap merintih dan menderita menerima dampak yang dtimbulkannya mulai dari polusi  dari limbah yang menyebabkan penyakit, akses pekerjaan tidak dapat ditembus karena dikuasai penduduk dari Negara lain atau usaha yang tergilas karena serangan produk dari Negara luar. Namun, ketika Negara memiliki masalah misal utang luar negeri maka yang harus menanggung bebannya adalah rakyat, rakyat wajib ain bahkan kalau perlu memaksa untuk melunasinya melalui cara halus yang menipu yakni pajak. Pajak itu untuk siapa? Untuk rakyat? Rakyat yang mana?

Kapitalisme sering berwajah ganda, disatu sisi membuka akses atau kebebasan bagi saiapapun untuk memiliki sesuatu tapi disisi lain kebebasan itu hanya bagi mereka yang memiliki modal sementara bagi yang tidak memiliki, harus disingkirkan. Akibatnya muncullah kelas para pemilik modal yang menguasai hajat hidup publik. Rakyat harus menderita karena para pemilik modal bertindak serakah menguasai sebab adanya kebebasan kepemilikan yang melegalkannya. Negara bertindak hanya sebagai pembuat aturan, sementara itu memberikan kebebasan bagi siapapun untuk memiliki, mengelola dan mendistribusikan sumber-sumber kekayaan yang dimiliki Negara.

Bahkan Negara diharuskan untuk lepas tangan dan tidak boleh mencampuri kebebasan publik, jadilah teori invisible hand yakni tangan gaib atau tangan tak terlihat yang mengatur apapun baik ekonomi, politik ,sosial, dan lain-lain. mereka mengatur dan merekayasa setiap kejadian dalam segala aspek sedang Negara bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi pada roda pemerintahannya karena memang ada tangan tak terlihat yang mengaturnya. Sayangnya, tangan tak terlihat ini sering kali adalah individu, Negara atau korporasi yang berwatak penjajah cenderung ingin menguasai, menjarah dan menyebarkan keyakinan atau paham bermasalah untuk dipaksakan kepada rakyat atau Negeri jajahannya. Termasuk menjadikan suatu negeri tunduk pada titah dan petunjuk yang dibuatnya, mendikte suatu negeri untuk membuat regulasi sesuai arahannya.

Akibatnya suatu Negeri yang telah terkena dampaknya, akan berlepas tangan untuk mengurusi kepentingan rakyatnya dan menyerahkan pengelolaan hak publik pada sang pemilik modal. Sedangkan suatu negeri akan terus dijerat dengan bantuan yang berwujud utang kemudian akan di ceritakan dongeng yang membuat halusinasi para penguasanya bahwa akan mampu melunasi hutangnya, nyatanya hegemoni sang penjajah makin tertancap kuat. Rakyat pun akhirnya jadi tumbal keserakahan atau kerakusan para pemilik modal yang bekerjasama dengan para penguasa bermasalah yang menyerahkan pengelolaan kekayaan alamnya pada Negara atau korporasi penjajah.

Dalam Islam Negara memiliki tanggungjawab mengurusi rakyatnya bukan membebani mereka dengan masalah yang dibuat sendiri oleh para peguasanya. Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). Karena itu penguasa wajiblah memperhatikan dan mengurusi rakyatnya, termasuk memperhatikan pengelolaan dan distribusi kekayaan Alam dinegaranya sehingga  memberi efek kesejahteraan pada rakyatnya hal ini tentu harus sejalan dengan sistem atau aturan yang diterapkan negera. Seperangkat hukum islam yang diterapkan pemimpin islam yankni Khalifah telah melindungi negara dan rakyat Negara Islam dari tirani yang akan dilakukan penguasanya.

Istilah pajak, dalam fikih Islam, dikenal dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.”[Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256]. Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya.” [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129]

Berbeda dengan pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.

Dalam rangka menghilangkan dharar di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya.

Mengenai kewajiban dan pos yang wajib dibiayai, dengan ada atau tidak adanya dana di Baitul Mal, adalah: Biaya jihad,Biaya industri perang,  Pengeluaran untuk fakir, miskin dan ibn sabil. Ini termasuk ashnaf zakat, tetapi jika di Baitul Mal, dana dari pos zakat tidak ada, maka kewajiban tersebut wajib dipikul oleh kaum Muslim, melalui instrumen pajak dan bersifat insidental. Pengeluaran untuk gaji tentara, pegawai negara, hakim, guru, dan semua pihak yang memberikan khidmat kepada negara untuk mengurus kemaslahatan kaum Muslim. Biaya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, seperti jalan raya, sekolah, kampus, rumah sakit, masjid, saluran air, dan sebagainya, jika semuanya ini merupakan sarana dan prasarana utama. Sebab, jika tidak ada, maka akan menyebabkan terjadinya dharar kepada kaum Muslim. Biaya penanggulangan bencana alam, kecelakaan dan sejenisnya.

Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut.

Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Pajak juga wajib diambil darinya. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya. Pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’.

Negara khilafah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.Selain itu, khilafah juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya. Wallahu ‘alam (***)

Mariana, S.Sos

Komentar