Riwayat dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan” (HR. Baihaqi). Inti pokok perdagangan internasional terletak pada aktivitas ekspor dan impor. Aktivitas ekspor akan menghasilkan cadangan devisa buat negara, sedangkan aktivitas impor akan menggunakan cadangan devisa tersebut.
Kekalahan Indonesia oleh Brazil di World Trade Organization (WTO) menambah daftar panjang serbuan barang impor yang masuk ke dalam negeri. Terlepas dampak impor daging bagi peternak ayam, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan keputusan ini harus dijalankan apapun konsekuensinya karena dapat memancing respon negara tetangga.
Hingga Agustus ini, impor beberapa komoditas lain yang dilakukan pemerintah juga sempat menjadi sorotan. Salah satunya impor beras yang diberikan saat petani sedang panen raya. Bahkan impor sempat dipaksakan saat kapasitas Gudang Bulog sudah berlebih. Kemudian ada juga kritik pada impor gula yang sempat meroket hingga Indonesia menjadi importir terbesar di dunia per tahun 2017-2018.
Presiden Joko Widodo sebenarnya mengetahui bila dampak dari derasnya impor ini membuat defisit neraca perdagangan Indonesia masih melebar di angka 1,93 miliar dolar AS per Juli 2019 dibandingkan capaian year on year 2018. Belum lagi, sepanjang 2018 defisit neraca perdagangan tercatat menjadi yang terdalam dengan nilai 8,70 miliar dolar AS selama periode pertama Jokowi. (https://titto.id, 11/8/2019)
Impor, Bukti Negara Lemah?
Kita semua tahu bahwa Indonesia merupakan negara agraris, kekayaan alam berlimpah. Namun, faktanya Indonesia tidak pernah absen dari impor. Impor beras, pakaian, jagung, bawang sampai yang paling ngawur yaitu impor sampah. Padahal Indonesia sudah kaya, bukan hanya kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), juga sampai pada kaya akan sampah. Tepatnya Indonesia bisa diberi label SSI, “Semua Serba Impor.”
Impor juga merasuk sampai ke dapur rumah tangga kita. Garam dapur juga impor. Rata-rata Indonesia impor garam 1,5 juta ton setiap tahun. Nampaknya negara kita sudah dikuasai oleh importir (http://Indonesiamedia.com). Impor beras saat petani panen raya, impor garam padahal kita negara maritim. Tentu dimasa seperti ini akan terjadi oversupply produk. Namun yang terpampang nyata impor tetap dilaksanakan, produk lokal digudangkan sampai membusuk. Yang dirugikan rakyat, importir sendiri. Kita telah masuk perangkap rezim kapitalisme. Kekalahan di depan mata kita dan tidak ada solusi kecuali mengikut, mengalir terbawa arus.
Allah SWT berfirman: ”Bukankah kami telah menjadikan mereka kaum yang mapan di tanah suci yang aman? Dan dibawakan kepada mereka berbagai macam buah-buahan sebagai rezeki dari kami? Akan tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Qashash: 57)
Atas beragam orang yang membanjiri negeri ini, pemerintah menjadikan tidak tercukupinya stok dalam negeri sebagai alasan. Jika keadaan ini seolah jadi budaya, maka akan menjadikan kita tidak pernah mandiri, selalu bergantung pada negara lain. Kita dijajah dengan produk asing. Mulai dari peniti sampai emas. Kemana kekayaan alam kita? Mungkin kita hanya akan bisa mengekspor sapu lidi?
Kabar impor terbaru Indonesia, akibat sengketa gugatan di World Trade Organization (WTO) soal kebijakan Indonesia oleh Brazil, pemerintah mau tidak mau membuka keran impor ayam. Kendati demikian peternak justru mengeluhkan bahwa saat ini kondisi riil di lapangan masih terjadi kelebihan produksi atau over-suplai. (http://m.republika.co.id, 14/8/2019)
Pemerintah memiliki kebijakan instan, sebuah terobosan di bidang ekonomi. Perdagangan bebas merupakan kebijakan dimana pemerintah tidak melakukan diskriminasi terhadap impor atau ekspor. Perdagangan bebas dicontohkan oleh Area Ekonomi Eropa dan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara yang telah mendirikan pasar terbuka dengan sangat sedikit pembatasan perdagangan.
Keputusan yang diambil memberikan dampak luas terhadap produk dalam negeri dan terkhusus para produsennya. Keadaannya semakin semrawut. Aktivitas impor yang dibatasi dengan mekanisme dan kontrol pemerintah berdalih untuk melindungi konsumen dari harga barang lokal yang tinggi. Kenyataannya, kebijakan ini malah berujung pada naiknya harga barang domestik terus melebihi harga pasar dunia, tidak kompetitif bahkan tidak lagi mengikuti harga pasar dunia.
Banjir produk impor, sebenarnya juga sebuah konsekuensi logis ketika pemerintah masuk ke dalam perangkap kesepakatan wilayah ekonomi. Sekali lagi kita terjajah. Selain merupakan bukti bahwa negara “kalah” dengan segelintir pengusaha importir yang memang mengeruk banyak keuntungan dari proses impor barang, kita dikelola penguasa dengan mental terjajah. Globalisasi memang bersifat multidimensional, namun globalisasi ekonomi tampil paling dominan karena memiliki dampak yang nyata. WTO merupakan anyaman yang sulur-menyulur dari ekonomi global, ditopang oleh kekuatan liberalisasi menghasilkan gambaran dunia kelimpahan di satu sisi dan kekurangan di sisi yang lain.
Pasar bebas (free market) sebagai topangan hidup kepentingan dari kapitalisme mendikte seluruh sendi kehidupan, kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Kebijakan impor tanpa batas ini sesungguhnya membuktikan bahwa kita sudah terjebak antek kapitalisme global. Sungguh ironi kebijakan rezim saat ini. Semua ini terjadi akibat sistem kapitalis, negara tidak mampu mengontrol pendanaan untuk rakyatnya, impor meningkat, utang meroket, rakyat melarat. Sistem ini hanya berbasis keuntungan untuk segelintir orang (aspek manfaat semata). Kekuasaan tidak dijadikan sebagai tanggungjawab untuk meri’ayah urusan rakyat, melainkan digunakan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Islam Solusi Nyata
Berbicara tentang marwah sebuah negara, tidak dapat diukur dari mampunya ia bersaing dalam bidang ekonomi ataupun tingginya angka impornya. Tetapi tentang bagaimana visi sebuah negara dalam mengatur rakyat. Jika negara kapitalis memiliki misi memenuhi kebutuhan jasmani tanpa menimbang efek negatifnya, Islam yang dibangun atas aqidah Islam, senantiasa taat kepada Allah SWT, negara akan menjaga kedaulatan negara dan menjamin kemaslahatan rakyat. Sumber daya Alam yang dimilikinya diolah sebaik mungkin oleh negara guna menyejahterakan rakyatnya.
Impor besar-besaran dapat menekan rakyat kecil (produsen barang lokal), bukanlah merupakan solusi untuk melindungi konsumen dari harga barang lokal yang tinggi, demikian juga mengendalikan impor hanyalah sebatas solusi jangka pendek. Islam sebagai agama yang paripurna memiliki solusi jangka panjang kepada permasalahan ketersedian produksi lokal rakyat. Islam mengatur masalah perekonomian umat berlandas Syariat Islam.
Solusi di dalam Islam tentang pengelolaan sumber dayanya adalah dengan memaksimalkan pengelolaan sumber daya dalam negeri, menjaga distribusi dan suplainya agar tidak terjadi penimbunan dan ketimpangan jumlah barang setiap wilayah dalam negeri. Negara bisa mandiri dengan mengelola sebaik mungkin sumber daya alam tersebut, hasilnya akan digunakan untuk kesejahteraan umat.
Ada hal yang menarik di dalam kebijakan politik luar negeri (ekspor-impor) Islam, yaitu pedagang asing yang melakukan perdagangan ke dalam negeri akan dikenakan tarif sesuai yang dikenakan oleh negara asing terhadap pedagang lokal yang berdagang ke luar negeri. Misalnya, jika pedagang warga negara Islam memasukkan barang dagangan dikenakan tarif bea masuk sebesar 10%, maka bagi negara asing yang masuk ke negara Islam juga dikenakan sama. MasyaAllah, Islam begitu detail mengatur mekanisme tersebut.
Peradaban Islam, yang menjadikan Islam sebagai tonggak kehidupan terbukti mampu menorehkan tinta emas lebih dari 1,4 abad lamanya bagi kehidupan manusia dalam segala bidang. Bukan hanya unggul dalam perekonomian dan teknologi, tetapi juga mampu menciptakan manusia berkualitas dan melahirkan generasi unggul sebagai cahaya peradaban.
Masa Khilafah Islam mampu memberikan kemaslahatan, jaminan kesejahte raan dan keberkahan bagi umat di dalamnya, Kembalinya Khilafah ala minhaj nubuwwah akan mengakhiri semua bentuk penjajahan rezim yang haus materi di muka bumi ini. Wallahua’lam bi shawab.
MUSTIKA LESTARI (MAHASISWI UHO)
Komentar