Kemerdekaan yang Didamba

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. (Alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945).

Merujuk pada penggalan naskah Pembukaan UUD 1945 di atas maka kita akan dapati bahwa kemerdekaan pada hakikatnya merupakan hak segala bangsa. Hal ini tentu menjadi sebuah harapan yang senantiasa didamba oleh siapa pun yang ada di muka bumi ini, termasuk di bumi Nusantara kita tercinta.

Iklan Pemkot Baubau

Beberapa waktu lalu Negara Kesatuan Republik Indonesia baru saja melewati Hari Ulang Tahunnya yang ke74. Kemeriahannya dirasakan hampir di seluruh pelosok negeri tak terkecuali di Kabupaten Bandung. Peringatan yang berlangsung di lapangan Upakarti kompleks Pemda Kabupaten Bandung Sabtu 17 Agustus 2019. Bupati Bandung H. Dadang M. Naser selaku Inspektur Upacara peringatan Hut RI ke74 dan segenap para SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) turut hadir pada upacara tersebut. (bandung berita.com, Sabtu 17 Agustus 2019)

Pada saat memperingati hari kemerdekaan tentu salah satu yang senantiasa diingat dalam benak kita bahwa hal itu dahulu telah ditebus oleh cucuran peluh, deraian air mata, pengorbanan harta, bahkan kucuran darah dari para pahlawan. Mereka rela berkorban segala hal yang dimiliki demi mendapatkan sebentuk kemerdekaan dimana mereka tak rela jika kaum kafir penjajah Belanda terus menjajah baik secara fisik, mental, dan pengerukan harta kekayaan negeri.

Maka tentu saat ini kita wajib mensyukuri nikmat yang telah Allah karuniakan itu dengan berupaya mengisinya dengan segala aktivitas yang diridai oleh-Nya.

Namun di balik itu tersimpan tanya besar pada sebagian benak anak negeri benarkah kita sudah merdeka? Merdeka sepenuhnya dalam arti yang sesungguhnya.

Benar bahwa negeri ini telah terbebas dari penjajahan fisik yang mengerikan. Dimana selama kurun tiga abad lamanya rakyat mengalami penderitaan karena telah dijajah dan diambil hak kemerdekaannya. Namun justru kini kita dapati negeri ini telah masuk dalam cengkeraman penjajahan non fisik. Penjajahan dari sisi ekonomi, budaya, pemikiran dan seterusnya justru merupakan tipe penjajahan yang jauh lebih mengerikan. Jika bentuk penjajahan fisik demikian terasa dan disadari oleh segenap rakyat, namun untuk jenis penjajahan yang kedua polanya sangat halus bahkan sebagian kalangan benar-benar tak menyadari keberadaannya.

Penjajahan ekonomi yang dilakukan oleh negeri-negeri besar seperti Amerika dan China telah sukses merebut hampir seluruh aset dan kekayaan alam yang dimiliki bangsa ini. Masyarakat makin termarjinalkan oleh kekuatan korporasi raksasa asing. Makin menyedihkan ketika disadari betapa cengkeraman kuku tangan ‘penjajah’ justru mendapat tempat di negeri ini karena dimuluskan agendanya oleh para penguasa dengan dalih investasi dan kerja sama ekonomi.

Penjajahan dari segi kebudayaan pun dapat dirasakan oleh kita yang jeli melihat fakta betapa saat ini budaya Baratlah yang seolah selalu dipandang baik, padahal hakikatnya justru sangat merusak karena bertentangan dengan karakter keislaman dan budaya ketimuran yang ada.

Lebih jauh penjajahan dari sisi pemikiran seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme yang demikian buruk, merusak, dan bertentangan dengan ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia. Tak ketinggalan impor pemikiran seperti hedonisme, vandalisme, dan isme-isme lain makin menjerumuskan generasi muda Indonesia ke jurang kehancuran.

Dari apa yang diuraikan di atas tentu kita tidak menafikan bahwa hari ini meski kita telah bebas dari penjajahan fisik namun hakikatnya kita tengah berada pada fase penjajahan non fisik yang tak kalah membahayakan.

Padahal jika kita selaku kaum muslimin merujuk pada Islam maka arti kemerdekaan hakiki adalah sebentuk kemerdekaan dalam menghamba hanya pada Allah Swt Zat Yang Maha Menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan. Sebagaimana sabda Baginda Rasulullah Saw ketika beliau menyampaikan surat-surat kenegaraan kepada raja dan penguasa negeri lain untuk mengajak mereka pada penghambaan hanya pada Allah Rabb semesta alam dengan menukil salah satu ayat Alquran,

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Artinya: “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. Ali Imran: 64)

Dengan upaya tersebut Rasulullah Saw telah berhasil mengajak umat manusia sekalian alam (Rahmatan lil ‘alamin) untuk merdeka secara hakiki dengan bebas menjalankan setiap aturan-Nya yang sempurna (kaffah). Hingga dapat diraih kebahagiaan hakiki berupa rida Allah Swt dan keberkahan yang Allah kucurkan dari langit dan bumi tersebab karena taatnya umat pada seluruh aturan-Nya yang Maha Benar.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Artinya:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. al-A’raf: 96)Wallahu a’lam bi ash-shawab

Yuliyati Sambas, S.Pt.

Komentar