Indonesia sebagai negara maritim kini kembali berduka akibat rentetan kecelakaan kapal di perairan yang terjadi di beberapa wilayah. Kali ini Kapal penumpang KM Izhar, dengan rute Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) menuju Salabangka, Sulawesi Tengah (Sulteng), terbakar di perairan Bokori, sekitar pukul 23.45 WITA, Jumat (16/8)
Kepala Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Kendari, Letkol Marinir Benyamin Ginting mengakui bahwa kapal motor (KM) Ihzar dengan rute Kendari menuju Salabangka itu mengangkut penumpang melebihi kapasitas muatan kapal. Padahal, menurut Ginting, kapal tersebut maksimal hanya bisa memuat 33 passanger on board (POB) atau manifest penumpang. Fakta yang terjadi, dia mencatat kapal yang mestinya berlabuh selama 8 jam, bermuatan 69 orang. Selain itu, katanya kapal seharusnya berangkat pada 17 Agustus 2019, pukul 05.00 wita. “Sertifikat manifest hanya 33, tidak boleh lebih. Yang dievakuasi 69, artinya dua kali lipat, inilah yang akan kita evaluasi juga,” ungkapnya saat ditemui di Puskesmas Soropia, Sabtu (17/8/2019). (Zonasultra.com)
Sebagai negara maritim hal ini seharusnya menjadi perhatian besar pemerintah dalam menanggulangi kecelakaan transportasi laut. Mulai dari memperhatikan kondisi kapal maupun jumlah penumpang. Selain itu, pemerintah juga seharusnya menjadi fasilitator dalam memberikan kenyamanan terhadap masyarakat sebagai pengguna jasa layanan transportasi.
Kapitalisasi layanan publik, Masyarakat kian Tak Terurus
Kapitalisme memandang dunia transportasi sebagai sebuah industri. Cara pandang ini mengakibatkan kepemilikan fasilitas umum transpotasi dikuasai oleh perusahaan atau swasta yang secara otomatis mempunyai fungsi bisnis, bukan sebagai fungsi pelayanan bagi masyarakat. Maka tak heran bila masyarakat sebagai penikmat jasa layanan transportasi menjadi terabaikan oleh negara sebagai fasilitator. Layanan publik yang beralih fungsi sebagai bisnis para kapitalis tak lepas dari adanya peranan negara yang menyediakan serta memberi peluang pihak swasta maupun asing untuk menggerut aset-aset negara baik dari migas maupun non migas. Hal ini bisa kita saksikan sendiri bagaimana pihak swasta ataupun asing yang bertindak sebagai investor menguasai beberapa BUMN, infrastruktur, migas maupun non migas.
Walhasil, ketika negara semakin mengenyangkan para kapitalis disisi lain masyarakat semakinterzalimi dengan kebijakan pemerintah. Sebagaimana halnya yang kita saksikan pula ketidak becusan pemerintah dalam menanggulangi kecelakaan dari sektor transportasi sebagai layanan publik.
“dari Syuraik, dari Abu Hushain, dari Al Wabili sahabat dekat Mu’adz bin Jabal, dari Mu’adz, ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Barangsiapa yang ditakdirkan oleh Allah Azza Wa Jalla untuk menjadi pemimpin yang mengemban urusan orang banyak, lalu ia menghindar dari orang yang lemah dan yang membutuhkan, Allah pasti akan menutup diri darinya di hari kiamat.
Berdasarkan data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mencatat ada 34 kecelakaan pelayaran di Indonesia sepanjang tahun 2017. Kecelakaan ini meningkat hampir dua kali dibandingkan tahun 2016 lalu yang hanya sebanyak 18 kecelakaan. Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono mengatakan kecelakaan terbanyak disebabkan kapal meledak atau terbakar, yakni 14 kecelakaan. Sedangkan lainnya, 6 kasus tenggelam, 6 kasus kapal tubrukan, 6 kasus kapal kandas, dan 2 kecelakaan lainnya.
Adanya rentetan kecelakaan kapal sebagai sarana transportasi layanan publik ini seharusnya menjadi bahan acuan serta wacana bagi pemerintahan untuk menasionalisasikan layanan publik diberbagai sektor laut, darat maupun udara. Maksud dari nasionalisasi ini adalah proses di mana negara mengambil alih kepemilikan suatu perusahaan milik swasta atau asing kemudian negara mengelola nya demi kepentingan umum serta kesejahteraan masyarakat. Dengan menasionalisasikan layanan publik inilah akan mampu meminimalisir adanya tingkat kecelakaan transportasi.
Layanan Transportasi dalam Islam
Carut-marut transportasi umum di Indonesia dimulai dari paradigma dasar berikut perangkat aturan yang muncul dari paradigma dasar itu, dengan kata lain kesalahan sistemik. Kesalahannya adalah tentang kepemilikan fasilitas umum transportasi yang dikuasai oleh pihak asing atau swasta yang secara otomatis mempunyai fungsi bisnis dengan mencari keuntungan bukan sebagai fungsi pelayanan masyarakat. Akibatnya, meski jasa transportasi murah tidak ama, masyarakat tetap mau membeli.
Mengutip salah tulisan dari Dr Fahmi Amrar tarkait pelayanan transportasi dalam islam bahwasanya sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Baru duaratus tahun kemudian, yakni 1185, baru Paris yang memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba.
Sedang untuk kendaraannya sendiri, sesuai teknologi saat itu, kaum muslimin telah memuliakan jenis kuda dan unta yang makin kuat menempuh perjalanan. Untuk di laut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1000 ton dan kapal perang untuk 1500 orang. Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.
Bahkan untuk transportasi udarapun ilmuwan muslim sudah memikirkan. Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”
Yang menarik, hingga abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji. Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya. Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf. Kalau ini selesai, pergerakan pasukan khilafah untuk mempertahankan berbagai negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu. Dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari.
Inilah beberapa gambaran keberhasilan islam dalam mengelola layanan transportasi yang mana negaralah yang bertindak sebagai pemegang kekuasaan dalam menangani pelayanan publik demi kesejahteraan umat. Semoga hal ini bisa kita rasakan kembali dengan diterapkannya islam sebagai aturan dalam berbagai tatanan kehidupan, yang tak lain adalah diterapkannya syariah dan khilafah. Wallahu A’lam Bishshowab
HAMSINA HALISI ALFATIH
Komentar