Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil…,”(Q.S An-Nisa: 29).
Ayat ini menjelaskan Allah SWT melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.Adapun sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka,” (HR. Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah: 7).
Demi mendorong kesadaran wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan berbagai cara. Termasuk mengeluarkan tagline bayar pajak semudah isi pulsa. Tagline itu ternyata ide dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ide itu juga muncul dari pengalamannya pribadi saat bersama suami dan anaknya.
“Saya lagi makan sama anak sayaterus suami saya bilang eh pulsa telepon saya abis tolong isiin dong. Anak saya isi pakai bank mobile gitu, sambil nyuap gitu udah selesai pah,” ujarnya dalam acara Kadin Talks, di Menara Kadin, Jakarta, Jumat (2/8/2019).
Melihat kemudahan isi pulsa itu Sri Mulyani terkesima, kemudian muncul ide untuk menerapkannya dalam pembayaran pajak. “Saya bilang, wak kalo bayar pajak semudah itu kita sambil nyuap sambil bayar pajak kan gampang bangat. Makanya besoknya saya rapat langsung bilang kemarin saya punya pengalaman saya melihat sendiri kalo beli pulsa itu cuma take a second sambil makan saja kita langsung bisa. Saya kepingin bayar pajak semudah beli pulsa,” tutur Sri Mulyani. (http://m.detik.com, 2/8/2019)
Sumber Uang Negara Bukan Rakyat
Di era kapitalis saat ini perpajakan tidak bisa dihindari. Neoliberalisme adalah konsep paling mutakhir dari kapitalisme, berpendapat bahwa mengedepankan persaingan bebas kunci kemajuan ekonomi.
Ibarat Singa, pajak merupakan daging segar bagi sistem ekonomi neoliberal. Semua hal dalam kehidupan akan dikenai pajak. Pajak kendaraan, bangunan, tanah, buku atau bahkan barang-barang tak berharga milik orang kecil pun terkena pajak. Pajak menyapu rata semua benda sekecil apapun tanpa pandang bulu. Tidak peduli mereka mampu membayarnya atau tidak.
Pajak disebut sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara, memiliki peran yang sangat besar untuk memajukan negara sebagai sumber pembiayaan negara yang paling besar untuk masukan dana ke dalam kas negara sesuai UU yang berlaku dan membangun inftarstruktur negara.
Aneka slogan kebesaran rezim haus uang bertebaran setiap sudut jalan. Misalnya, orang bijak taat pajak, ayo peduli pajak!, bangga bayar pajak menjadi semacam penanaman informasi yang menghipnotis kalangan masyarakat.
Sejarah perpajakan dunia selalu dihiasi dengan pemaksaan kehendak dari penguasa kepada rakyatnya. Pajak di era modern, pemaksaan pembayaran pajak sudah diatur dalam Undang-Undang. Ini membuat aparat pajak ditakuti. Pajak sebagaimana pengertiannya “dapat dipaksakan ”sebuah keterpaksaan.” Para pembayar pajak bukan atas kerelaan untuk membiayaai kelangsungan hidup negaranya, melainkan lebih mengkhawatirkan implikasi hukumnya ketika pajak tersebut tidak dibayar.
Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian berbuat dzalim (beliau mengucapkan tiga kali). Sesumggguhnya tidak halal harta seorang Muslim, kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.”(HR. Imam Ahmad).
Di Indonesia, pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah belum sepenuhnya progresif, belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat kecil. Rakyat kecil dengan pendapatan kecil akan diwajibkan membayar pajak dengan jumlah yang hampir sama dengan pengusaha. Begitulah sistem ekonomi di desain, sedemikian rupa agar menarik di negara kapitalis.
Rasa keadilan pun seolah terkoyak. Rakyat diperas. Dimana sumber daya alam kita yang melimpah? Seharusnya hari ini hidup kita berkecukupan. Namun, jauh panggang dari api. Ini salah satu fakta kerusakan sistem ekonomi neoliberal yang menjadikan pajak sebagai penopang pendapatan negara. Pemerintah menargetkan menerima perpajakan dalam APBN 2019 sebesar Rp 1.577,56 triliun. Hingga Mei 2019, target tersebut baru tarcapai 31,48 persen atau tercatat Rp 496,65 triliun. (https://databoks.katadata.co.id, 4/7/2019)
Sejatinya, Indonesia merupakan negara kaya akan sumber daya alam. Namun sayang faktanya, negara ini telah dikuasai oleh sistem ekonomi neoliberal, pihak swasta turun tangan langsung untuk mengelola sumber daya alam sehingga hasilnya dinikmati oleh para pemilik modal atau segelintir orang yang mempunyai sumbangsih dalam mengorbankan rakyat demi tercapainya kepentingan mereka.
Pajak bermotif paksaan tidak ada dalam Islam. Basis Islam dalam mendorong kesejahteraan manusia terletak pada perlindungan kepada keimanan, akal dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Islam sebagai din yang mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak hanya mengatur hal-hal yang berhubungan denagn ibadah, tetapi juga yang berkaitan dengan rakyat, ter,asuk sistem kenegaraan dan bagaimana pendapatan keuangan dalam sebuah negara.
Dalam sistem Khilafah yaitu pemerintahan umum bagi umat Islam di dalamnya menjamin kesejahteraan rakyat. Hadits Rasululah SAW tentang kewajiban Khalifah (imam) adalah memelihara dan mengatur urusan rakyat dan dia akan diminta pertanggung jawabannya terhadap rakyatnya (HR. Muslim). Dalam kekosongan baitul mal, Khalifah wajib mengadakan berbagai kebutuhan pokok rakyatnya untuk mencegah timbulnya kemudharatan.
Sistem pemerintahan yang digunakan dalam Islam adalah pemerintahan Khilafah yang syar’i. Pemerintahan ini dibuat untuk menegakkan hukum syara’ Islami. Islam mempunyai sistem sendiri yang mampu mendatangkan kesejahteraan bagi umatnya, yaitu sistem Khilafah yang bertujuan untuk mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai syariat Islam.
Dalam sistem Khilafah, harta adalah hal yang sangat dilindungi dan tidak boleh diambil oleh siapapun tanpa hak. Pajak dalam Islam bukanlah sumber pemasukan negara, sebab dapat membebani rakyat. Masih ada cara lain untuk memperoleh pemasukan kas negara. Meskipun tujuan pajak itu baik, tetapi pemerintah tetap tidak boleh mengambil pajak dari rakyat, kecuali jika rakyat membayar secara ikhlas atau sukarela. Negara hanya boleh mengambil harta rakyat dalam hal zakat. Zakat sendiri adalah suatu kewajiban dalam ajaran Islam.
Selain zakat, sumber perekonomian negara dalam sistem Khilafah Islam mengandalkan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada seperti kekayaan hutan, minyak, gas dan barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak atau milik umum (rakyat). Adapun pajak dapat diberlakukan jika pendanaan negara sedang kosong, itupun tidak secara merata kepada rakyat tetapi hanya dibebankan kepada orang-orang tertentu yaitu orang-orang kaya dan jizyah dari orang-orang kafir yang hidup dan dilindungi dalam naungan Khilafah.
Lalu bagaimana Islam mengatur pengelolaan kekayaan alamnya sebagai tonggak pendaan negara? Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum dan wajib dikelola oleh negara. Hasilnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.
Sudah saatnya umat Islam kembali kepada tuntunan dan aturan yang berasal dari Allah SWT yang Maha Bijaksana, tidak lain dengan jalan menerapkan syariah Islam dalam bingkai “Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.”Bangkitnya kesadaran baru akan menandai era baru. Kembalinya Khilafah ala minhaj nubuwwah akan mengakhiri semua bentuk penjajahan di muka bumi ini. Pajak bukan lagi beban rakyat. Hak rakyat dinikmati dalam sistem ini. Pemimpin adalah pelayan.
Memperjuangakan Khilafah adalah cara terbaik untuk menyelamatkan umat dan mengantarkan manusia pada kesejahteraan. Hukum Allah SWT sebaik-baik hukum untuk umatnya. Wallahu a’lam bi shawab.
MUSTIKA LESTARI (MAHASISWI UHO)
Komentar