Habis manis sepah dibuang, begitulah peribahasa yang sangat cocok menggambarkan posisi syariat islam di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini. Bagaimana tidak? Syariat islam seolah sangat kental diperbincangkan bahkan tak sedikit diagungkan dan diamalkan oleh para politikus disaat pesta demokrasi mulai menyapa.
Anehnya, tak hanya muslim bahkan non-muslim pun tak risih menggunakan peci, memakai kerudung, dan bahkan sampai bersikap bak ulama demi menarik simpatik dan dukungan dari masyarakat. Namun, setelah pesta demokrasi berakhir maka tak satupun terlihat wujud cinta para politikus terhadap syariat islam.
Bahkan, yang sering terjadi adalah mereka sama sekali tidak memiliki misi menegakkan syariat Islam. Setelah pemilu selesai dan mereka terpilih maka perlahan tapi pasti atribut-atribut keislaman yang dipakai saat kampanye mulai hilang. Pemandangan ini seolah menjadikan agama layaknya sajian prasmanan, yang diambil ketika dibutuhkan dan ditinggalkan ketika tidak dibutuhkan lagi. Secara tidak langsung mereka merusak sakralitas simbol dan syiar Islam.
Hipokrisi rezim penguasa terhadap penegakkan syariat islam dan simbol-simbol islam sudah sangat nampak. Jelas, bukanlah hal yang baru jika menilik kembali asas sekulerisme yang diterapkan mampu meracuni pemikiran ummat bahwa agama tak bisa dimasukkan dalam kehidupan.
Upaya penghilangan peran agama dalam kehidupan sangat massif digaungkan, karena para penguasa sangat sadar bahwa syariat islam akan mampu mematahkan langkah dan menggagalkan kepentingan mereka yang seluruhnya mampu mendzolimi rakyat. Bahkan, pancasila dijadikan sebagai tameng penguasa menghalangi tegaknya syariat, dengan alasan pancasila merupakan ideologi negara yang sudah komplit, karena syariat ada didalamnya.
Terbukti, seperti diungkapkan Mahfud MD bahwa dasar negara Indonesia sudah mengandung makna syariah. Oleh karena itu, tidak perlu lagi ada istilah NKRI Bersyariah. Untuk mempertegas, beliau mengatakan “Indonesia itu tidak perlu dikatakan Indonesia bersyariah, Pancasila sudah Bersyariah, karena itu sekarang ini dasarnya dan semangatnya sudah syariah ndak usah ditambah-tambah itu berlebihan” CNNIndonesia.com (16/8/2019).
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin juga menolak istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI bersyariah. Sebab tidak sesuai dengan ideologi Bangsa Indonesia. Ia mengatakan Pancasila sangat menghormati dan mementingkan agama suara.com (14/8/2019).
Faktanya, pancasila hanya dijadikan sebagai alasan para penguasa dalam menggagalkan dan menyurutkan keinginan ummat untuk kembali kepada fitrahnya dengan mengambil hukum-hukum islam sebagai pengatur kehidupan. Kebijakan apa yang sudah diterapkan dinegeri ini selama 74 tahun yang sesuai dengan pancasila? Tidak ada.
Bahkan, dengan diterapkannya syariat islam, seluruh nilai-nilai pancasila akan terealisasi dengan sempurna. Terwujudnya nilai kemanusiaan, persatuan, kesejahteraan dan keadilan dalam pancasila bukan hanya pepesan kosong tapi secara nyata dapat dirasakan oleh seluruh ummat manusia ketika syariat diterapkan.
Penguasa yang katanya sangat pancasilais pun malah melegalkan hukum-hukum yang bertentangan dengan aqidah kaum muslimin. Sebut saja riba, miras dan pornografi yang tiada satupun hukum dalam sistem kapitalisme ini mengharamkannya.
Sebaliknya, pengajian dibubarkan malah dibiarkan, wanita bercadar, lelaki berjenggot dan memakai celana cingkrang dijadikan sebagai ciri-ciri teroris, bahkan khilafah yang merupakan ajaran islam justru dianggap sebagai radikal dan dikriminalisasi.
Sungguh sangat miris! Akidah digadaikan dan dipertaruhkan demi tercapainya kepentingan duniawi. Padahal, syariah dibutuhkan sebagai solusi persoalan bangsa yang semakin parah diberbagai aspek kehidupan.
Salahkah jika ummat islam saat ini kembali kepada fitrahnya, dengan menjadikan islam tak hanya sebagai agama namun juga sebagai ideologi?. Salahkah jika ummat islam kembali patuh dan taat kepada perintah Rabb-Nya dibanding patuh kepada makhluk-Nya?. Hukum-hukum Allah sangat sempurna bahkan keadilan dan kesejahteraan tak sulit didapatkan jika syariat yang menjadi pegangan.
Hukum Allah tak dapat dibeli dan dipilih, tak seperti hukum-hukum dalam sistem kapitalisme, sebab syari’at Allah mampu mendatangkan kemashlahatan bagi seluruh ummat manusia. Bukankah Allah SWT juga telah menegaskan dalam Firman-Nya:
فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Artinya: Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (Q.S: Al-Ma’idah:44).
Maka tak ada jalan lain. Kembali kepada hukum Allah dan campakkan hukum buatan manusia adalah solusi segala problematika dalam kehidupan ummat manusia, tak ada ancaman, tak ada persekusi dan tak ada kriminalisasi dalam mengungkap dan menyuarakan kebenaran jika hukum islam diterapkan. Dan yang pasti, tak ada kemuliaan yang mampu menandingi kemuliaan seorang muslim ketika mendapat ridho dari Allah SWT.
Wallahu’alam Bishowaab.
NUR AVINA, S.PD
Komentar