Desa Fiktif, Dana Desa Nonfiktif

Desa Fiktif, Dana Desa Nonfiktif
Fitri Suryani, S.Pd.

Belum lama ini berita mengenai desa fiktif yang memperoleh kucuran dana desa tentu sangat menghebohkan Sulawesi Tenggara, khususnya wilayah Konawe.

Bagaimana tidak, sejumlah Kepala Desa (Kades), di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra), diperiksa oleh tim penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tidpikor), Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus), Polda Sultra, di ruang unit II Tidpikor, Polres Konawe,  Senin (19/8/2019).

Iklan Pemkot Baubau

Pemeriksaan tersebut terkait kasus dugaan 56 desa fiktif yang diduga menerima kucuran anggaran Dana Desa (DD). Kasus tersebut saat ini memang tengah ditangani Polda Sultra.

Dikonfirmasi, Kepala Bidang Humas, Polda Sultra, AKBP Harry Goldenhardt, membenarkan pemeriksaan sejumlah kepala desa di Konawe terkait kasus desa fiktif.

Dikonfirmasi terpisah pula, Kepala Satuan Reserse Kriminal, Polres Konawe, AKP Rahcmat Zam Zam juga membenarkan pemeriksaan tersebut (Kumparan.com, 19/08/2019).

Selain itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia (RI) La Ode Muhamad Syarif mendukung penyelidikan kasus desa fiktif oleh tim penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus), Polda Sultra (detiksultra.com, 21/8/2019).

Kasus tersebut tentu bukan perkara kecil, mengingat ada puluhan desa yang ternyata fiktif belaka, namun mendapatkan dana desa. Hal tersebut merupakan tanda tanya besar, mengapa persoalan sebesar itu baru terendus setelah dana cair?

Bukankah dalam pasal 8 ayat (2) UU Desa menyatakan bahwa Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa.

Begitu pula dalam pasal 15 ayat (1) UU Desa menyatakan bahwa Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang telah mendapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan kepada Gubernur.

Dari penjelasan di atas mengenai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, tentu tidak sedikit masyarakat akan mempertanyakan kok bisa banyaknya desa fiktif yang tidak diketahui oleh para pejabat setempat? Apakah memang hanya sebatas kesalahan para kepala desa saja? Kalau sudah seperti ini siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab?

Sementara itu, kucuran dana yang tidak sedikit terhadap desa fiktif jelas sangat merugikan negara. Padahal masih banyak desa yang jelas keberadaan, tetapi masih minim dalam masalah kesejahteraan dan pastinya membutuhkan banyak bantuan dari pemerintah.

Tak dapat dipungkiri pula, dalam sistem ini (Kapitalisme) standar perilaku seseorang berlandaskan aspek kemaslahatan yang bersifat relatif dan kondisioanal, karena tak jarang aturan yang ada menstandarkan pada akal manusia semata. Padahal sejatinya akal manusia bersifat terbatas dan rawan menimbulkan pertentangan di tengah-tengah manusia.

Di samping itu, hal tersebut karena minimnya ketakwaan individu sehingga mudah saja bagi seseorang untuk membuat data fiktif demi mendapatkan manfaat sebesar-besarnya. Ditambah lagi kurangnya kontrol masyarkat, karena budaya amar makruf nahi mungkar kian terkikis dari benak masyarakat. Pun karena pelaku yang berbuat demikian tidak mendapatkan hukuman yang dapat memberikan efek jera baik bagi dirinya sendiri ataupun orang lain yang berkeinginan berbuat serupa.

Oleh karena itu, adanya desa fiktif, tetapi dana desa nonfiktif tentu bukan sesuatu yang aneh, mengingat di zaman ini rasa kejujuran semakin terkikis dalam diri seseorang. Karenanya, hal itu hanya dapat diminimalisir bahkan dibabat tuntas jika aturannya diterapkan dalam semua aspek kehidupan.

Seperti adanya ketakwaan individu, budaya amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat dan sanksi yang dapat memberikan efek jera. Sehingga aturannya benar-benar menjadi rahmat bagi semua insan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

FITRI SURYANI, S.PD

Komentar