Listrik Padam, PLN Terancam

Listrik Padam, PLN Terancam
Erni Yuwana.

Listrik menjadi salah satu energi vital yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai barang elektronik tidak akan berfungsi tanpa adanya sumber energi listrik. Kerugian dan masalah tentu akan timbul jika listrik padam. Urusan dapur, rumah, kantor, bahkan produksi barang pada perusahaan dan pabrik pun terhenti.

Namun, faktanya listrik padam terjadi di sebagian Pulau Jawa yakni wilayah Jawa Barat, Jabodetabek, Jawa Tengah dan sebagian Banten, Minggu (4/8/2019). Listrik padam ini menyebabkan sejumlah pelayanan publik terganggu seperti terhentinya operasional kereta rel listrik (KRL) hingga gangguan pada jaringan seluler.

Iklan Pemkot Baubau

Dalam keterangannya, PT PLN (Persero) menyebut listrik padam karena adanya gangguan-gangguan pada sisi transmisi Ungaran dan Pemalang 500 kV. Gangguan ini mengakibatkan transfer energi dari timur ke barat mengalami kegagalan dan diikuti trip seluruh pembangkit di sisi tengah dan barat Jawa.

Masyarakat pun menilai pelayanan yang diberikan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero tidak maksimal dan tidak memuaskan. Sehingga muncul berbagai persepsi miring dengan menyebut bahwa PLN tak becus mengatasi permasalahan listrik yang saat ini tengah terjadi. Bahkan Menko Luhut minta PLN serahkan proyek ke swasta.

Dikutip dari Okezone pada tanggal 14 Agustus 2019 bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan meminta PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk tidak terlalu banyak terlibat dalam pembangunan-pembangunan listrik. Hal itu, dia ungkapkan setelah menggelar rapat bersama Plt Direktur Utama PT PLN, Sripeni Inten Cahyani di Kantor Kemaritiman Jakarta.

Sebagai gantinya, pemerintah menggandeng China untuk membangun PLTA penghasil listrik terbesar di Indonesia. Pemerintah dan Tiongkok menandatangani MoU pembangunan PLTA Kayan. PLTA yang mampu menghasilkan listrik 9.000 MW ini akan mengaliri listrik untuk wilayah Tanjung Palas Timur, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. (20detik, 15/08/2019)

Bukan sesuatu yang mengagetkan jika Indonesia menggandeng China dalam berbagai urusan. Bahkan timbul slogan miring yang menyebut, “Apa pun masalahnya, China solusinya.” Solusi bergantung pada negara China untuk turut campur dalam urusan pembangunan energi vital negeri (listrik), ternyata hanya ada dalam paradigma sistem liberal. Paradigma ini mengakibatkan kepemilikan energi vital yang seharusnya dikelola oleh negara pun bisa dikuasai dan disetir oleh negara lain yang mempunyai fungsi bisnis, bukan fungsi pelayanan.

Islam menetapkan bahwa negara harus mempunyai kemampuan untuk mandiri dalam hal pembangunan sumber energi vital yang menguasai hajat hidup orang banyak. Membenahi, mendanai, menempatkan tenaga ekspert dalam bidang listrik di PLN menjadi tugas mutlak negara. Begitupun dengan menjamin keberlangsungan energi listrik.

Tugas utama negara adalah memfasilitasi energi listrik dengan baik, murah, terjangkau, bahkan gratis.  Negara akan memanfaatkan pengelolaan sumber energi semata-mata hanya  untuk rakyat. Serta negara memiliki kemandirian ekonomi yang tidak akan bergantung pada negara lain.

Jika paradigma liberal hanya akan berpotensi menjadikan bangsa ini tunduk dan terus bergantung pada negara lain, mengapa kita diam? Kenapa kita masih terus berharap dan bergantung pada China yang justru berpotensi mengambil alih dan mengatur negeri ini? Bukankah hidup kita akan makmur dan tentram jika negeri ini dalam posisi independen, mandiri, berdaulat penuh dan menjadikan fokus utamanya adalah hajat hidup orang banyak (rakyat), bukan kepentingan? Wallahu’alam bi ash-ashowab.

ERNI YUWANA

Komentar