Muharram: Saatnya Terapkan Islam Kaffah

Muharram: Saatnya Terapkan Islam Kaffah
Hamsina Halisi Alfatih.

Tidak lama lagi seluruh umat islam di dunia akan menyambut datangnya 1 muharram yaitu pergantian tahun baru islam 1441 H. Dalam setiap momen pergantian tahun Hijriah ini, betapa banyaknya kita temui di berbagai daerah terkhusus di Indonesia melakukan berbagai ritual atau tradisi-tradisi dalam menyambut 1 muharram.

Indonesia sendiri merupakan negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia dan memiliki beragam budaya di berbagai daerah. Maka budaya tradisi perayaaan 1 muharram dari tahun ketahun inilah masih sangatlah melekat pada kehidupan masyarakatnya.

Iklan Pemkot Baubau

Dikutip dari berbagai sumber, berikut ini beberapa tradisi 1 Muharram yang unik diberbagai daerah diantaranya;

1. Kirab Muharram. Tradisi 1 Muharram di Jawa salah satunya adalah Kirab Muharram. Ini adalah ritual yang dilakukan oleh Keraton Surakarta yakni menghadirkan kerbau bule atau kerbau putih milik Kiai Slamet. Kerbau Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat.

2. Ngadulang. Berbeda dengan Kirab Muharram, tradisi di Jawa Barat ini dinamakan Ngadulang. Ngadulang merupakan salah satu acara yang diselenggarakan oleh pemerintah Sukabumi untuk merayakan tahun baru Islam. Di tahun baru Islam, ada perlombaan menabuh bedug yang menarik dan wajib diikuti.

3. Membeli Perabot Baru. Tradisi 1 Muharram di daerah Sulawesi, para ibu-ibu akan berbelanja memborong perabot rumah tangga yang dipercaya bisa mendatangkan keberkahan ditahun berikutnya.

Aneka ragam tradisi yang sangat kental dengan berbagai keragaman budaya dari tahun ketahun inilah yang kerap mengantarkan kepada kesyirikan. Kelestarian budaya yang tak Terikat dengan syari’at islam bagi masyarakat awam dikategorikan sah-sah saja selama menurut mereka itu baik.

Padaha islam sendiri tidak pernah mengenal ritual-ritual tersebut diatas yang oleh mereka dianggapnya sebuah ‘ibadah’. Padahal ibadah apa pun bentuknya adalah haram diperuntukkan kepada selain Allah Ta’ala. Bertawakkal, minta keselamatan, minta pertolongan, takut dan mengharap adalah ibadah, dan yang lain sebagainya dari macam-macam ibadah semuanya hanya untuk Allah Ta’ala. Inilah prinsip tauhid, yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata, yang menjadi landasan paling mendasar di dalam Islam. Barangsiapa yang melanggarnya maka ia jatuh ke dalam kesyirikan.

Kecil atau besarnya kesyirikan tersebut tergantung jenis pelanggarannya. Dan sudah merupakan prinsip agama ini bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi. Setiap peribadahan kepada selain Allah Ta’ala adalah ibadah yang batil dan pelakunya terancam kekal di neraka jahannam apabila tidak bertaubat dari perbuatannya.  Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. Al Hajj: 62).

Barangsiapa yang menyelewengkan ibadah tersebut untuk selain Allah, maka ia adalah musyrik dan kafir. Firman Allah Ta’ala,

“Dan barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di samping (menyembah) Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu, maka benar-benar balasannya ada pada Tuhannya. Sungguh tiada beruntung orang-orang kafir itu.” (QS. Al-Mu’minun: 117).

Oleh karena itu, dalam menyikapi datangnya 1 Muharram atau tahun baru islam sebaiknya dengan mengamalkan keutamaan-keutamaan di dalamnya seprti berpuasa dan perbanyak berdo’a. Selain itu berkaca dari kisah perjalanan dakwah Rasulullah saw dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah, seharusnya hal ini menjadi acuan kepada kita untuk berhijrah dari sistem jahiliyah modern saat ini dan kembali ke penerapan  islam secara kaffah dengan tidak menyekutukan Allah sebagai satu-satunya sesembahan.

Saatnya Hijrah Menerapkan Islam Kaffah

Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Fath al-Bârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî menjelaskan, asal dari hijrah adalah meninggalkan dan menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai dan mendapatkan kebaikan. Hijrah secara mutlak dalam as-Sunnah ditransformasikan ke makna: meninggalkan negeri syirik (kufur) menuju Dâr al-Islâm.

Jika demikian maka asal hijrah adalah meninggalkan apa saja yang telah Allah larang berupa kemaksiatan, termasuk di dalamnya meninggalkan negeri syirk untuk tinggal di Dâr al-Islâm. Dengan demikian hijrah yang sempurna (hakiki) adalah meninggalkan apa saja yang telah Allah SWT larang, termasuk meninggalkan negeri syirik (kufur) menuju Dâr al-Islâm.

Secara syar’i, menurut para fukaha, pengertian hijrah adalah keluar dari darul kufur menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim.

Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak berada di tangan kaum Muslim sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Pengertian hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam.

Kondisi masyarakat modern saat ini, jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat jahiliah pra hijrah, tampak banyak kemiripan, dan bahkan dalam beberapa hal justru lebih buruk. Ciri utama masyarakat jahiliah dulu adalah kehidupan diatur dengan aturan dan sistem jahiliah buatan manusia.

Pada masyarakat Quraisy, aturan dan sistem kemasyarakatan dibuat oleh para pemuka kabilah. Hal itu mereka rumuskan melalui pertemuan para pembesar dan tetua kabilah di Dar an-Nadwah. Kondisi yang sama persis juga berlangsung saat ini. Kehidupan diatur dengan aturan dan sistem buatan manusia yang dibuat oleh sekumpulan orang dengan mengatasnamakan rakyat.¹

Dalam aspek ekonomi ada riba, manipulasi, kecurangan dalam timbangan dan takaran, penimbunan, eksploitasi oleh pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah, konsentrasi kekayaan pada segelintir orang, dsb. Semua itu kental mewarnai kehidupan ekonomi masyarakat jahiliah pra hijrah.

Hal yang sama juga mewarnai kehidupan ekonomi modern saat ini. Penipuan ekonomi banyak terjadi. Harta juga terkonsentrasi pada segelintir kecil orang. Satu persen dari masyarakat menguasai lebih dari 60 persen kekayaan yang ada. Satu orang menguasai tanah ratusan ribu hektar bahkan lebih dari satu juta hektar. Riba merajalela. Bahkan saat ini riba justru menjadi pilar sistem ekonomi dan negara menjadi salah satu pelaku utamanya. Negara bahkan gemar menumpuk utang ribawi yang menjadi beban rakyat hingga triliunan rupiah.²

Pada aspek sosial, masyarakat jahiliah pra hijrah identik dengan kebobrokan moral yang luar biasa. Mabuk, pelacuran dan kekejaman menyeruak di mana-mana. Anak-anak perempuan yang baru lahir pun dibunuh, bahkan dengan cara dikubur hidup-hidup. Kondisi sosial masyarakat jahiliah itu juga banyak terjadi pada masyarakat modern saat ini.

Perzinaan difasilitasi dengan lokalisasi dan dilegalkan atas nama investasi dan retribusi.  Tak sedikit pula bayi yang dibunuh saat baru lahir. Jika dulu bayi perempuan yang dibunuh, sekarang bayi laki-laki atau perempuan yang dibunuh. Bahkan mereka dibunuh sebelum lahir melalui aborsi. Jumlahnya pun mencapai jutaan kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya.³

Dalam aspek politik dan konstelasi internasional, bangsa Arab jahiliah pra hijrah bukanlah bangsa yang istimewa. Dua negara adidaya saat itu, Persia dan Byzantium, sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan.

Begitu pula saat ini. Negeri-negeri kaum Muslim, termasuk negeri ini, juga tidak pernah diperhitungkan oleh negara-negara lain, kecuali sebagai obyek jajahan. Kekayaan alam negeri kita dijadikan jarahan oleh negara-negara penjajah dan para kapitalis. Jutaan kilometer persegi perairan dan jutaan hektar daratan negeri ini sudah dikapling-kapling untuk perusahaan-perusahaan yang kebanyakan asing.⁴

Oleh karena itu, pentingnya mengubah masyarakat jahiliyah modern dikehidupan saat ini agar terbebas dari segala bentuk kesyirikan, baik secara aqidah maupun sistem yang diterapkan saat ini. Dengan mewujudkan masyarakat islami yang terikat dengan aturan islam inilah kita akan terbebas dari segala bentuk pengahambaan selain kepada Allah. Perubahan ini tentu tidak akan datang begitu saja, perubahan itu harus kita usahakan. Allah SWT berfirman:

 … إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ …

Sungguh Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri… (TQS ar-Ra’du [13]: 11).

Dalam mewujudkan perubahan yang islami menuju islam kaffah tidak lain adalah dengan bersama-sama berjuang agar terwujudnya Masyarakat yang islami jauh dari segala kesyirikan. Masyarakat Islam inilah yang juga dibangun oleh Rasulullah saw dan para sahabat pasca hijrah ke Madinah.

Masyarakat di Madinah pasca hijrah tetaplah masyarakat yang beragam, heterogen secara agama, suku, warna kulit dan lainnya. Keberagaman di masyarakat itu bisa dikelola dengan baik melalui penerapan syariah Islam secara kâffah atas semua warga negara. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208). Wallahu A’lam Bishshowab

Referensi: ¹²³⁴(Buletin Kaffah No. 07, 2 Muharram 1439 H/22 September 2017 M)

HAMSINA HALISI ALFATIH

Komentar