Mereka bisa merusak bunga-bunga, namun mereka tidak akan mampu menghentikan datangnya musim semi. (Ustaz Felix Siauw). Sepenggal kalimat nan menggugah di atas diarahkan pada sesiapa yang tak rela dengan tegaknya syariat Islam kaffah dalam naungan khilafah.
Tetapi pada kenyataannya tak kan ada siapapun yang mampu untuk menghentikan laju perjuangan dan penerimaan umat akan diterapkannya aturan yang datang dari Sang Pencipta di bawah institusi yang diwariskan oleh Baginda Rasulullah Muhammad Saw.
Dilansir oleh VIVA (1/9/2019) bahwa bertepatan dengan tahun baru Hijriah, 1 Muharram 1441, 1 September 2019 media sosial Twitter dibanjiri pesan dengan tagar bertema khilafah dan hijrah: #WeWantKhilafah, #KhilafahWillBeBack, #HijrahMenujuIslamKaffah, #MomentumHijrahSyariahKaffah.
Tagar yang menjadi trending tersebut muncul disertai foto-foto dan video massa membawa bendera bertuliskan kalimat tauhid berwarna putih dan hitam. Dari pagi hingga siang tagar tersebut terus bertambah jauh meninggalkan trending topik yang ada di bawahnya.
Munculnya tagar khilafah dan hijrah menjadi trending topik tentu bukan hal yang tiba-tiba. Ketika teringat dengan apa yang terjadi pada masyarakat secara keseluruhan khususnya di Indonesia bahkan lebih luas di dunia internasional. Betapa isu khilafah, syariat, dan simbol-simbol yang dibawa bersamaan dengannya seperti Islam kaffah dan bendera tauhid. Ia telah menjalani metamorfosa dari yang sebelumnya demikian dibenci, ditakuti, senantiasa dikriminalisasi, bahkan kemunculannya seolah selalu ditekan agar tak mengemuka menjadi sesuatu yang dicinta umat.
Tetapi pada kenyataannya hari ini justru gelombang kerinduan umat akan diterapkannya syariat Islam yang menyeluruh (kaffah) telah membumi bahkan mereka telah demikian paham betapa penerapan syariat Islam kaffah tak kan mungkin terjadi jika tidak ditegakkan oleh institusi sah secara de jure dan de facto oleh khilafah.
Hal ini tentu merupakan pertolongan dari Allah Sang Maha Penggenggam jagat raya. Ia telah memperlihatkan apa yang dijanjikannya atas kaum muslimin telah mulai tampak, sebagaimana yang difirmankan oleh-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Ayat ini merupakan perintah Allah kepada kaum mukmin agar mereka menolong agama-Nya, berdakwah kepada-Nya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya dengan mengharapkan keridaan-Nya.
Jika mereka melakukan hal itu, maka Allah Subhaanahu wa Ta’aala akan menolong mereka dan meneguhkan mereka, yakni menguatkan mereka dengan kesabaran, ketenangan, dan keteguhan serta membuat badan mereka dapat bersabar di atasnya serta menolong mereka terhadap musuh mereka. Ini adalah janji dari Allah Yang Maha Pemurah yang benar janji-Nya, bahwa barang siapa yang menolong agama-Nya baik dengan ucapan maupun perbuatan, maka Dia akan menolongnya, memudahkan sebab-sebab pertolongan.
Penerapan syariat Islam kaffah pada hakikatnya adalah sesuatu yang dahulu dituju oleh Rasulullah Saw ketika mengawalinya dengan menjalani proses hijrah dari Makah ke Madinah. Betapa proses hijrah bukan hanya sebatas makna berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Tetapi lebih dari itu berpindahnya dari penghambaan kepada selain-Nya menuju penghambaan hanya pada-Nya. Sebentuk perubahan hakiki ketika Rasulullah Saw dan kaum muslimin di Makah tak jua mampu untuk diterapkan hukum Islam secara totalitas, maka Allah menyediakan Madinah untuk dijadikan tempat diberlakukannya syariat.
Mulai dari syariat yang mengatur hubungan antara manusia dengan Rabb-nya mencakup aturan ibadah dan jihad. Aturan yang mengurusi hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, berupa syariat tentang makanan minuman, pakaian dan akhlak. Juga aturan yang mengatur hubungan manusia dengan sesama yakni dalam ranah muamalah, politik pemerintahan, sistem pendidikan, sistem ekonomi bahkan hingga sistem sanksi bagi kriminal.
Maka hijrah secara syar’i didefinisikan oleh para fuqaha sebagai keluar dari darul kufur (wilayah/negara yang memberlakukan sistem aturan kufur) menuju darul Islam (wilayah/negara yang menegakkan sistem aturan Islam). (an-Nabhani, asy-Syakhsiyah al-Islaamiyyah, II/276).
Adapun kini kita mendapati bahwa di tengah-tengah masyarakat sistem aturan yang diberlakukan adalah sistem demokrasi kapitalisme sekular yang merupakan sistem buatan manusia merujuk pada apa yang diberlakukan oleh negara-negara Barat. Dimana kita temui kemalangan dan ketidak adilan terjadi demikian kasat mata.
Kejahiliyahan berupa hukum yang bukan berasal dari Allah telah diterapkan dan menghasilkan permasalahan multi dimensi yang jika tidak segera disudahi negeri ini akan terus berkubang di dalamnya tanpa menemukan cahaya yang akan menerangi jalan menuju penyelesaian problemnya. Allah Swt berfirman,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya: “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. al-Maidah: 50)
Tentu hanya hukum Allahlah yang Maha Benar dan tiada cacat untuk diberlakukan di tengah masyarakat yang heterogen sekalipun. Karena pada kenyataannya Rasulullah Saw juga dahulu telah berhasil memberlakukan syariat Islam kaffah dalam mengurusi masyarakat yang heterogen.
Tidak dapat menjadi alasan ketika ada sebagian kalangan merasa khawatir jika syariat Islam diberlakukan maka bagaimana dengan para pemeluk agama dan kepercayaan lain di luar Islam.
Rasulullah dan para khalifah sesudahnya telah membuktikan bahwa pengurusan mereka sebagai kepala pemerintahan demikian adil diberikan kepada semua kalangan yang menjadi rakyatnya. Maka ungkapan semisal khilafah akan memecah belah NKRI atau syariat akan memberangus kebhinekaan adalah kebohongan yang hendak ditelusupkan oleh orang-orang dengki dan tidak mau negeri ini sejahtera dan makmur dalam naungan aturan-Nya.
Tidak pula menjadi pembenaran ketika ada sebagian orang yang mengungkapkan bahwa apa yang diberlakukan Rasulullah di Madinah berupa Daulah (negara) Islam adalah dengan kapasitasnya sebagai Rasul, sosok manusia pilihan. Sungguh hal ini merupakan alibi sesat yang tidak mendasar, karena pada hakikatnya ketika Rasulullah Saw diberikan mandat oleh Allah untuk memberlakukan syariat-Nya yang sempurna maka hal itu juga ditujukan oleh Allah bagi seluruh umat yang mengaku hendak mengikuti sunnahnya tanpa memilah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt.
Di samping itu ada sebagian masyarakat yang berpandangan mereka mau menerapkan syariat namun tetap dalam bingkai sistem demokrasi. Tentu hal ini mustahil, karena ibarat menyatukan antara air dan minyak, antara hak dan batil. Syariat Islam dengan pondasi akidah yang menjadikan kedaulatan ada di tangan syara (hukum Allah) sebagai satu-satunya rujukan untuk diterapkan. Sementara sistem demokrasi menempatkan kedaulatan ada di tangan rakyat dengan mekanisme suara mayoritasnya.
Merujuk pada apa yang kita hadapi saat ini maka sudah saatnya kita mengikuti pola perjuangan yang dilakukan oleh Baginda Rasulullah Saw dengan berhijrah meninggalkan darul kufur menuju darul Islam. Bersegera memberlakukan syariat Islam kaffah untuk meraih kesejahteraan, keadilan dan ridha-Nya dalam naungan Daulah Khilafah islamiyah. Sebuah institusi yang diwariskan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
YULIYATI SAMBAS S.PT.
Komentar