Namanya Gang Venus. Kawasan yang padat dan gelap. Kawasan tersebut tidak tersentuh cahaya matahari. Siang atau malam tidak ada beda. Cerah atau hujan terasa sama. Lampu bohlam dan kipas angin menyala 24 jam. Gang Venus, pemukiman padat penduduk yang berada di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Bahkan Tambora disebut-sebut menjadi kawasan terpadat di Asia Tenggara.
Gang Venus, wilayah tanpa matahari. Sinar matahari bahkan tak menembus sedikitpun di beberapa bagian RW 03 Gang Venus, Kelurahan Jembatan Besi, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Lorong gang inipun lebih mirip gua. Bangunan semi permanen setinggi dua sampai tiga lantai merupakan pemandangan biasa di gang Venus. Tak jarang setiap lantainya dihuni oleh keluarga yang berbeda. Kondisi tempat tinggal di Gang Venus bukanlah kondisi ideal. Terasa sumpek, sesak dan sempit.
Potret kawasan tak layak huni tidak hanya ada di Gang Venus. Namun pemukiman kumuh tersebar merata di seluruh kawasan Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) DKI, pada 2017 mencatat 86 persen wilayah di DKI Jakarta masuk kategori kumuh. Kampung kumuh tersebar di sejumlah titik di ibu kota. (CNN Indonesia, 22/08/2019)
Kawasan kumuh paling banyak di Jakarta Utara (39 persen), kemudian Jakarta Barat (28 persen), Jakarta Selatan (19 persen), Jakarta Timur (12 persen), Jakarta Pusat (11 persen), dan Kepulauan Seribu (1 persen). (Poskota, 27/05/2019)
Jakarta adalah jantung negeri. Jakarta merupakan Ibu kota negara. Jakarta seharusnya identik dengan hal-hal yang maju dan megah. Akan tetapi sudut-sudut Jakarta justru dipenuhi kampung dan tempat tak layak huni yang perlu mendapatkan perhatian, pelayanan, penjagaan, pengelolaan, pemeliharaan serta pembangunan yang baik.
Di tengah kondisi masyarakat Jakarta yang serba kekurangan dan kemelaratan yang semakin merata, ternyata pemerintah Indonesia berencana memindahkan ibukota. Tak tanggung-tanggung, pemindahan Ibu Kota RI Butuh Rp 466 Triliun. Presiden Joko Widodo pun memastikan Ibu Kota negara yang baru ada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Rencana pemindahan ibukota tentu menambah perih nasib penduduk Jakarta itu sendiri. Hidup di ibukota negara dengan harapan tinggi mendapat penghidupan yang layak dan pelayanan yang baik hanya khayalan belaka. Kemiskinan dan kemelaratan yang mendera, tidak terdengar sampai ke istana negara.
Keinginan mendapatkan tempat tinggal yang layak huni, pekerjaan yang memadai, pendidikan gratis, kesehatan terpenuhi hanya cerita fantasi. Dana Rp 466 Triliun malah rencananya digunakan untuk pemindahan ibukota negara, alih-alih dana tersebut untuk memperbaiki pelayanan dan kehidupan warga ibukota.
Proses pemindahkan Ibukota bukan pekerjaan sepele. Karena urusannya bukan hanya masalah membangun bangunan fisik dan infrastruktur. Banyak aspek teknis lain yang perlu diperbaiki, seperti layanan pemerintah selama masa transisi, maupun masalah non teknis seperti aspek sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan yang perlu dipertimbangkan.
Pemindahan ibukota juga bukan hal terpenting dan mendesak bagi rakyat saat ini. Karena hal penting yang dibutuhkan rakyat adalah pemerintah bersungguh-sungguh menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyat. Pemerintah yang dinanti adalah yang melindungi dan melayani rakyat dengan sebaik-baiknya dalam masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, dll.
Rasulullah saw bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka” (HR Ibn Majah dan Abu Nu’aim). Dan juga sabda Rasul, “Imam (Khalifah/penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari). Semoga pemimpin negeri ini segera menjalankan fungsinya dengan baik sebagai pelayan umat yang mengurus dan bertanggung jawab terhadap umat. Wallahu’alam bi ash showab.
UMMU ALMAHIRA
Komentar