Ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa mendatangi gedung rektorat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari, Senin (2/9/2019).
Diberitakan langsung dari DetikSultra.com, mereka “serbu” gedung rektorat kampus tersebut untuk memprotes kebijakan kampus yang melarang penggunaan cadar bagi mahasiswi. Mahasiswa juga menolak peraturan dan kode etik yang dibuat rektorat IAIN Kendari karena dianggap terlalu berlebihan dan phobia soal cadar.
Pelarangan cadar sebelumnya pernah terjadi di kampus islam UIN Kalijaga (3/18). Dilansir republika.co.id, bahwasannya alasan Wakil Rektor UIN Suka, Sahiron Syamsuddin, pelarangan cadar tersebut tak terlepas dari alasan pedagogis.
Menurut dia, jika mahasiswinya tetap menggunakan cadar di dalam kelas, para dosen tentu tidak bisa membimbingnya dengan baik dan pendidiknya tidak dapat mengenali wajah mahasiswinya.
Berita mengenai larangan cadar di UIN Kalijaga maupun IAIN Kendari merupakan hal yang sangat sensitif terutama bagi kalangan muslim Indonesia, dimana Indonesia adalah negara mayoritas muslim yang menjadi sorotan dunia internasional.
Hal ini justru akan memicu perhatian dunia, karena sungguh tidak layak jika ada sebuah kampus yang berlabelkan islam dan berada di negeri yang bermayoritas muslim, malah melarang muslimah untuk mempraktekan nilai islam.
Islamophobia dan Kebijakan Birokrasi yang Otoriter
Islamophobia atau ketakutan terhadap islam maupun ajaran islam tak lain adalah bagian ddari propaganda barat untuk menjauhkan umat islam dari ajaran agamanya serta takut terhadap ajaran agamanya sendiri. Ajaran islam digiring sebagai ajaran radikalisme dan terorisme sehingga hal ini mendoktrin pemikiran masyarakat seolah-olah islam sebuah agama “radikalisme”.
Berkaitan dengan sangkaan Islam agama yang teror, jahat, dan sebagainya. John Louis Esposito dalam bukunya yang berjudul The Islamic Threat : Myth or Reality? menyatakan bahwa semua sangkaan-sangkaan tentang Islam itu tidak benar dan mitos.
Kebencian terhadap agama Islam ditunjukan hanyalah dengan menjadikan islam sebagai agama yang harus dijauhi dan ditinggalkan. Mereka yang bercadar dan berkerudung panjang, serta yang berjenggot dan berjidat hitam, tak habis dibenci dan dicaci maki.
Akibat dari islamophobia akut inilah sehingga mewabah hingga sekelas kampus-kampus islami. Padahal sejatinya kampus islami seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai atau bagian dari ajaran islam salah salah satunya yaitu penggunaan cadar bagi mahasiswi muslim.
Sebab konsep kampus Islami merupakan sebuah tempat atau wadah yang dimana berlangsungnya sebuah proses pembelajaran dan administrasi yang berfokus pada penerapan nilai-nilai Islam sebagai dasar atau pondasi bagi institut yang menganut ideologi Islam.
Namun terkadang pengaruh Islamophobia rupanya memberi dampak bagi pihak birokrasi yang terkadang semena-mena mengeluarkan kebijakan yang justru bertentangan dengan konsep membangun kampus islami tersebut.
Kebijakan yang bersifat otoriter inilah yang akhirnya melanggar hak asasi mahasiswa untuk berorganisasi maupun melaksanakan kajian dilingkungan kampus. Begitu halnya bagi mahasiswi muslimah yang dipertentangkan untuk tidak menggunakan cadar. Padahal mengikuti organisasi keislaman, mengkaji islam maupun mempraktikkan nilai-nilai didalam islam merupakan ajaran Islam itu sendiri.
Inilah bentuk “kebusukan-kebusukan” birokrasi kampus yang dibungkus rapi dengan semboyan yang katanya Islam. Semua terjadi bukanlah tanpa alasan, tetapi bertujuan untuk menciptakan rekayasa citra kampus yang baik dimata publik.
Sehingga merampas hak asasi yang dimiliki mahasiswa maupun mahasiswi demi akreditasi kampus yang baik. Pertanyaannya, lalu apakah sebenarnya tujuan kampus islami itu? Apakah menciptakannya nilai-nilai islami dilingkungan kampus atau hanya sekedar mencari akreditasi semata?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu kita harus melihat kembali fakta saat ini. Bahwasanya saat ini pemicu permasalahan hadirnya Islamophobia maupun kebijakan kampus islami yang kontradiksi adalah penerapan sistem sekulerisme-liberalisme.
Propaganda barat rupanya berhasil mendoktrin pemikiran masyarakat terutama menyerang dan menyasar lingkungan kampus. Hal ini terbukti dari penerapan kebijakan birokrasi kampus yang menolak hadirnya nilai-nilai islami dilingkungan kampus.
Sekulerisme-liberalisme ini pula yang membawa dampak Islamophobia bagi birokras kampus. Hal tersebut yang seolah menganggap dalam mempraktikkan nilai-nilai islam dilingkungan kampus diidentifikasi dengan paham radikalisme dan terorisme. Sehingga ketakutan inilah yang memunculkan kontradiksi dari kampus islami.
Urgensi Penerapan Islam Kaffah
Islam sebagai agama paripurna, memiliki aturan komplit yang sempurna mampu memecahkan segala problematika umat. Selain itu islam merupakan agama rahmatan lil’alamin yang membawa kesejahteraan bagi seluruh umat didunia.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
«وَ ما اَرْسَلْناکَ اِلاَّ رَحْمَهً لِلْعالَمِینَ»
“Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Qs Al-Anbiya [21]: 107).
Islam menjadi rahmat bagi seluruh manusia di dunia karena Nabi Muhammad Saw membawa syariat dan ajaran di mana ketika seseorang mengamalkan ajaran-ajarannya, maka ia akan bahagia di dunia dan di akhirat. Dalam mengamalkan seluruh ajaran-ajaran yang di bawa oleh Rasulullah saw inilah yang seharusnya diterapkan dilingkungan kampus, apalagi kampus yang berlabel islami.
Dan tentu dalam menerapkan ajaran-ajaran tersebut kita membutuhkan sistem penerapan islam secara menyeluruh. Hal ini seyogyanya agar terciptanya kampus yang benar-benar tidak kontradiksi dengan labelnya.
Dengan menerapkan aturan islam secara menyeluruh inilah yang akan mampu menangkas pemahaman sekuler maupun liberal yang memunculkan hadirnya Islamophobia. Inilah urgensinya agar syari’at islam segera diterapkan agar tidak ada pula pertentangan antara pihak birokrasi dan mahasiswa maupun mahasiswi dalam mempraktikkan nilai-nilai islam. Wallahu A’lam Bishshowab.
HAMSINA HALISI ALFATIH
Komentar