Konflik tambang yang terjadi di Wawonii Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara (Sultra) tak membuat Anggota DPR RI Umar Arsal diam. Dia akan segera bicara dan mengkoordinasikan terkait persoalan tambang antara masyarakat Wawonii dan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) kepada mitra-mitra Komisi IV DPR RI. Hal ini diungkapkannya saat ditemui di Gedung Nusantara II DPR RI Senayan Jakarta Selatan, Kamis (29/8/19).
Adapun mitra Komisi IV di antaranya Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Perum Bulog. (Sumber: ZonaSultra.com).
Nampaknya polemik Sumber Daya Alam di negeri ini tak kunjung berakhir. Kepulauan Konawe, satu dari sekian banyaknya wilayah yang menjadi sasaran para pemilik modal untuk menggasak kekayaan alam mereka. Konflik pertambangan ini rupanya lanjutan dari konflik sebelumnya, yaitu sekitar bulan maret lalu. Saat masyrakat Wawonii menuntut dicabutnya izin IUP ( Izin Usaha Pertambangan). (3/19).
Kepulauan Wawonii dan Kekayaan Alamnya
Kepulauan Wawonii merupakan salah satu daerah yang kaya akan sumber daya alam. Baik itu berupa dari hasil lautnya, hutannya maupun kandungan alamnya. Di Wawonii juga terdapat beberapa tempat wisata yang mampu menunjang kehidupan masyarakat Wawonii. Salah satu contoh daerah rekreasi di Pulau Wawonii adalah Pantai Kampa.
Kepulauan Wawonii secara administratif merupakan bagian dari Kecamatan Wawonii. Luas kecamatan yang berupa pulau ini adalah sebesar + 404,8 km2 yang terbagi ke dalam 10 desa. Pulau Wawonii sendiri dihuni oleh beberapa etnis, di antaranya Wawonii yang merupakan suku asli, Suku Bugis, Suku Buton, bahkan Suku Jawa juga menjadi penghuni pulau tersebut.
Pada tahun 1990, penduduk di Kecamatan Wawonii berjumlah sekitar + 35.000 jiwa, namun tidak jelas mengenai jumlah masyarakat Suku Wawonii di antara jumlah tersebut. (Melalatoa, M. Junus (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 921.)
Di Pulau Wawonii, sejak dulu hingga kini, sekitar 75% penduduk pulau berbentuk hati ini adalah petani (terdiri dari petani kelapa, jambu mete, kakao, cengkeh, pala,padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, dan sayuran), 20% nelayan dan 5% PNS (BPS Konawe Kepulauan 2014), pedagang dan sebagainya.
Namun, kehidupan masyarakat Wawonii serta Sumber Daya Alam di kepulauan tersebut saat ini tengah menuai keresahan pasca masuknya para investor pertambangan.
Hal ini tentu memancing reaksi masyarakat untuk melindungi serta mencegah masuknya investor tersebut. Sehingga beberapa kali masyarakat setempat terlibat bentrok dengan aparat yang menjaga perusahaan pertambangan yang saat ini tengah dikelola oleh Swasta.
Bagaimana tidak, masyarakat yang bergantung hidup dengan bertani, nelayan kini harus terusik dengan masuknya beberapa pertambangan di daerah tersebut.
Keresahan masyarakat Wawonii pun beralasan, sebab masuknya pertambangan di daerah mereka jelas akan mengakibatkan banjir, tanah longsor, abrasi, rusaknya ekosistem laut, pencemaran udara dan air.
Hal ini justru dikhawatirkan akan merusak kesehatan masyarakat. Selain itu masuknya pertambangan bisa saja memicu adanya eksploitasi masyarakat lokal dengan tenaga kerja asing, dan hilangnya lahan pertanian/perkebunan yang menjadi sumber pencaharian masyarakat Wawonii.
Adanya Liberalisasi Sumber Daya alam
Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan sumber alamnya, bukan hal yang tidak mungkin jika kekayaan itu menjadi santapan orang-orang kapitalis, baik swasta maupun asing. Hal ini bisa kita saksikan sendiri bagaimana kekayaan alam di Papua, Freeport di kuasai oleh Amerika. Kini, hampir seluruh pertambangan di daerah Indonesia dikuasai oleh kapitalis China.
Liberalisasi pertambangan yang dilakukan secara masif ini tidak lain adalah adanya peran pemerintah. Pemerintah begitu gegabah dan mudahnya menyerahkan berbagai SDA di negeri ini dikuasai oleh swasta maupun asing. Padahal, penggunaan SDA sangatlah penting bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, dibalik itu pula pemerintah tidak memikirkan dampak panjang maupun pendek akibat menyerahkan SDA kepada para kapitalis.
Contohnya, dibalik keinginan berpisahnya Papua dari Indonesia bukan tidak lain adanya peran Amerika sebagai pemegang kekuasaan atas tambang freeport. Kita tentu tahu bahwa jika Papua masih berada di wilayah Indonesia, maka penguasaan penuh atas tambang freeport oleh Amerika akan sulit.
Hal ini jika Indonesia masih berafiliasi dengan Amerika dalam kontrak pertambangan freeport tersebut. Maka sangat memungkinkan sekali jika Papua memisahkan diri dari Indonesia, lepas pula freeport ke tangan Amerika.
Kasus freeport pun bisa saja terjadi kepada wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Hal ini jika saja SDA mereka dikuasai oleh swasta maupun asing. Maka menyikapi hal ini bukan tidak lain akibat diterapkannya sistem kapitalisme.
Kapitalisme senantiasa memberi ruang gerak bagi para kapitalis untuk menggasak habis SDA di negeri ini. Bahkan pemerintah seolah-olah lepas tangan untuk memikirkan dampak akibat dari liberalisasi pertambangan ini.
Padahal seyogyanya, pemerintah harusnya lebih mementingkan lagi kesejahteraan masyarakat. Bukan malah mengenyangkan para kapitalis dengan iming-iming mendapatkan keuntungan yang besar. Selain itu, harusnya pemerintah sebagai pemilik atas kekayaannya berperan penting untuk mengelola SDA tersebut agar tak terjadi gejolak maupun konflik antar masyarakat dengan pemerintah sendiri.
Cara Islam Mengelola SDA
Dalam sistem ekonomi islam, sumber daya alam seharusnya dikelola sepenuhnya oleh negara dan dan hasilnya dikembalikan untuk mensejahterakan umat. Dan terkait kekayaan alam, islam telah mengatur adanya kepemilikan dalam 3 hal yaitu kepemilikan pribadi, umum dan negara. Maka dalam hal ini negaralah yang wajib mengambil peran penuh dalam mengelola SDA sebagai kepemilikan umum agar tidak dikuasai oleh pihak swasta maupun asing.
Aturan Islam sangat jelas, sumber kekayaan alam merupakan bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara. Kemudian hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan umat secara umum. Namun sebaliknya, akan menjadi haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum tersebut kepada individu, swasta apalagi asing.
Terkait kepemilikan umum tersebut, Imam at-Tirmidzi meriwayatkan:
انه وفد الى رسول الله صلى الله عليه وسلم فاستقطعه الملح فقطع له فلما أن ولى قال رجل من المجلس أتدري ماقطعت له انما قطعت له الماء العد قال فانتزعه
“Sesungguhnya ia (Abyadh bin Hamal) pernah meminta kepada Rasulullah saw untuk mengelola tambang garamnya. Lalu beliau memberikannya. Setelah ia pergi, ada seseorang dari majlis tersebut bertanya ‘Wahai Rasulullah tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang engkau berikan kepadanya bagaikan air yang mengalir’, Rasulullah kemudian bersabda ‘Kalau begitu, cabut kembali tambang tersebut darinya” [HR. At-Tirmidzi, No. 1380, h. 664, jilid 3].
Selain itu Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”
Islam adalah sebuah ideologi, yang terbukti mampu menyelesaikan seluruh problematika umat. Maka inilah peran pentingnya menerapkan islam secara kaffah agar terwujudnya kesejahteraan umat. Dan hal ini pula yang akan mampu mengakhiri konfik pertambangan di Kepulauan Wawonii. Wallau A’lam Bishshowab.
HAMSINA HALISI ALFATIH
Komentar