Konflik Papua: Simbol Kekuatan Global

Konflik Papua: Simbol Kekuatan Global
Hanaa Umm Karimah.

Konflik yang terjadi di Papua kembali mencoreng simbol negeri ini. Simbol yang bermuara pada sentral persatuan NKRI mulai terkoyak.

Sebelum api tersulut, secara kebetulan atau tidak, tokoh Papua merdeka yaitu Benny Wenda menyampaikan kepada The Guardian bahwa “Pelanggaran HAM dan penindasan sipil yang saat ini merusak provinsi Papua Barat adalah kanker orang-orang pasifik”.

Ungkapan Wenda disampaikan menjelang pada pertemuan forum kepulauan pasifik yang akan mengangkat isu HAM, pelanggaran sipil, dan Papua merdeka.

Tak berselang lama konflik Papua kembali menguar. Isu rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya berbuntut pada pembakaran asrama mahasiswa Papua, hingga menyulut konflik meluas yang berakhir pada pembakaran gedung DPRD Papua dan pembakaran bendera merah putih oleh sekelompok massa di Papua.

Menyikapi konflik tersebut, para tokoh mengemukakan pandangan-pandangannya tak terkecuali gubernur Jawa Timur, gubernur Papua hingga Presiden. Api yang menyulut itu memantik OPM kembali meminta referendum kepada pemerintah. Tidak hanya itu konflik tersebut kembali mengcekam masyarakat Papua, bukan hanya karena adanya aksi pembakaran ban mobil dijalan-jalan utama, namun mereka merusak fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas, dll. Tak ketinggalan pun telah ada beberapa aparat TNI maupun POLRI yang  menjadi korban disinyalir ditembak dan dipanah oleh para aktivis OPM.

Kapitalis Global Di Balik Tuntutan Papua Merdeka?

Papua adalah mataharinya negeri ini. Negeri nan kaya yang memiliki sumber daya alam berlimpah dan tak pernah habis. Papua yang wilayahnya berada di ujung timur indonesia ini adalah wilayah Indonesia timur yang masih ‘perawan’ sehingga wajar saja jika investor asing masih bercokol  di tanah Papua.

Namun sayang, di balik keindahan, serta kekayaan alam Papua, tersimpan cerita duka dan nestapa tentang kehidupan masyarakat papua yang sungguh jauh dari ‘kesejahteraan’.  Sebahagian masyarakat Papua adalah masyarakat yang masih termarginalkan dari kecukupan kebutuhan pangan, gizi, pelayanan pendidikan, kesehatan, sanitasi, hidup sehat dan kebersihan.

Inilah papua, meski kaya namun menyimpang beragam keprihatinan kita sebagai bangsa yang satu dan besar.

Hadirnya OPM adalah satu dari sekian reaksi masyarakat Papua yang ingin mandiri dari penguasaan kuasa pemerintah. Betapa tidak, Papua memiliki segudang kekayaan namun hasilnya nihil dinikmati seutuhnya oleh rakyat Papua.

Pada akhirnya menyeret mereka keluar untuk meminta referendum kepada pemerintah agar Papua berlepas dari NKRI. Namun sayang, kondisi ini diperkeruh oleh pihak-pihak asing yang mendukung adanya disintegrasi oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pihak asing tersebut adalah negara adidaya, Amerika Serikat.

Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sandiaga Uno dalam melakukan analisis terhadap dampak yang terjadi di papua. Menurut Sandi, tingkat kemiskinan masyarakat Papua 8 kali lipat dibanding warga Jakarta. Padahal, lanjutnya, daerah mereka begitu kaya dengan berbagai jenis sumber daya alam.

Padahal daerahnya sangat kaya sumber daya alamnya. Terang aja orang marah, negeri yang sangat kaya raya ini tapi tingkat kemiskinannya delapan kali lipat dari kita di sini (Jakarta). Sandi merujuk kepada Badan Pusat Statistik (BPS).

Dia mengatakan angka kemiskinan di Papua meningkat hampir 60 ribu orang sejak tahun 2014 hingga 2018. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di Jakarta yang hanya 3,5 persen, jumlah penduduk miskin di Papua mencapai 28 persen. Sementara Papua Barat hampir 23 persen.

Sandi pun mengamini bahwa pembangunan masif dilakukan di Bumi Cenderawasih. Akan tetapi, dia yakin itu tidak bisa menyelesaikan masalah yang utama.

“Kita lihat bagaimana Papua dibanjiri infrastruktur, begitu banyak proyek investasi, tapi belum menyelesaikan permasalahan hakiki, yaitu kemerdekaan ekonomi,” ujar Sandi dalam diskusi grup Instruktur Nasional PAN, di Gedung Joang ’45, Jakarta, Kamis (22/8). www.cnnindonesia.com .

Namun, perlu diketahui bersama bahwa konflik yang selama ini terjadi di Papua tidak lepas dari peran kapitalis global untuk semakin mengcengkeram pengaruhnya di tanah Papua, khususnya cengkeraman ekonomi, politik dan disintegrasi.

Pengaruh kapitalis barat sangat jelas sekali dengan adanya perpanjangan kontrak PT.Freeport beroperasi di Papua. Di sisi lain juga hal ini semakin memperkeruh suasana dan berbanding terbalik dengan kondisi rakyat Papua ketika pemerintah masih berjabat tangan meneruskan pengelolaan tambang emas terbesar di Indonesia tersebut kepada asing.

Awal mulanya cengkeraman asing dimulai ketika terjadinya perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962 yang berisi penyerahan papua barat dari Belanda melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).

Tanggal 1 Mei 1963 Papua bagian barat kembali ke Indonesia. Kedudukan Papua bagian barat menjadi lebih pasti setelah diadakan penenuan pendapat rakyat (PEPERA) tahun 1969, rakyat Papua bagian barat memilih tetap dalam lingkungan RI.

Perjanjian New York tak ubahnya bentuk penjajahan kapitalistik yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. Betapa tidak keberadaan tambang freeport milik Amerika Serikat adalah langkah kuat AS melalui jalur diplomasi negara untuk mengcengkeram Indonesia melalui penjajahan ekonomi.

Dan tentu saja melalui deal-deal politik, hingga seluruh rakyat Papua tak terselamatkan kebijakan publiknya dengan adanya tambang emas tersebut. Murni rakyat Papua tidak mendapatkan hasil seutuhnya dari hasil kekayaan alam Papua tersebut. Buktinya kemiskinan masih menjadi catatan penting yang berada dalam kehidupan rakyat Papua. Miris!

Mencegah Disintegrasi Dengan Islam

Terkait tuntutan disintegrasi yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah langkah yang tidak tepat dan memicu perpecahan horizontal.

Negara wajib hadir untuk menyelesaikan permasalahan pokok yang telah lama melanda Papua. Bukan tidak mungkin hal ini menjadikan negara tidak memiliki marwah dan kehormatan dihadapan negara asing.

Negara menyerahkan pengelolaan SDA tambang emas terbesar Papua sementara masih banyak rakyat papua hidup jauh dari kesejahteraan dan kelayakan.

Islam dalam hal ini memiliki pandangan yang jelas terkait kepemilikan SDA emas yang ada di Papua. Semua SDA yang hasilnya tidak berhenti mengalir sebagaimana tambang emas tersebut maka hal itu menjadi milik rakyat dan dikelola sendiri oleh negara untuk kemaslahatan urusan publik rakyat.

Negara haram memperjualbelikan aset negara apalagi menyerahkan pengelolaannya kepada pihak-pihak asing yang mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. 

Tambang emas di Papua adalah kekayaan negara yang mampu mengatasi seluruh permasalahan vital di negeri ini jika saja negara mengikuti mekanisme pengelolaan di dalam islam dan menjalankan amanat undang-undang dasar 1945 pasal 33; yaitu berkaitan dengan seluruh kekayaan alam negeri ini dikelola oleh negara dan dipergunakan sebai-baiknya untuk kepentingan rakyat.

Rasulullah saw, ketika menjadi kepala negara pernah menarik tambang garam yang pernah diserahkan ke Abyad. Saat itu hasilnya mampu menutupi seluruh kebutuhan belanja negara dan salah satu kas baitul mal yang hasilnya tak pernah habis.

Maka dalam hal ini seluruh kekayaan alam yang hasilnya berlimpah dan terus mengalir wajib diambil alih dalam hal pengelolaannya oleh negara dan dikelola sesuai syariat.

Sebagaimana Rasulullah saw bersabda:

Kaum muslimin berserikat di dalam 3 hal yaitu; Air, Padang Rumput dan Api”. (HR. Abu Daud).

Dalam hal ini tambang emas adalah kepemilikan umum, dimana negara wajib mengelolanya sendiri baik dari penyediaan alat dan sarananya. Semata untuk pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara tidak boleh membebankan rakyat apalagi menyerahkan pengurusan kebutuhan vital rakyat kepada negara asing.

Disinilah letak berdaulatnya sebuah negara jika negara tersebut mengatur ekonominya, mengelola sumber daya alamnya dan mengurusi rakyatnya sesuai syariatnya. Sehingga hal demikian akan mencegah terjadinya tuntutan pemisahan diri karena alasan ketidakadilan negara kepada rakyatnya.

Hal inipun tidak akan menimbulkan polemik dan tuntutan pemisahan diri sebab syariat hadir untuk mengatur hingga lahirnya keadilan begitupun kesejahteraan.

Maka, adanya tuntutan referendum dan pemisahan diri dari NKRI bukanlah solusi tepat untuk semakin mengukuhkan persatuan dan kesatuan negeri ini, bahkan sebaliknya negara tidak akan berdaulat dan negara akan tetap berada di bawah cengkeraman kapitalis global.

Tidak hanya menguasai ekonominya namun juga politiknya. Solusi tepat dari semua ini masalah ini adalah kembali pada syariat Allah. Mampu mempersatukan kaum yang satu dengan yang kaum lainnya. Serta negara harus melepaskan diri dari semua ikatan-ikatan sukuisme, perjanjian-perjanjian ekonomi dengan negara asing serta mengambil alih pengelolaan SDA negeri ini dengan mandiri.

Oleh karena itu disintegrasi adalah salah satu jalan yang memungkinkan kapitalis penjajah untuk menguasai kita. Hal ini berdasarkan firman Allah swt:

“Allah swt tidak akan pernah memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin”.(QS.AN-nisa: 141).Wallahu ‘alam bis shawwab.

HANAA UMM KARIMAH