Sebagaimana bunyi sepenggal syair salah satu lagu kebangsaan, ”dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia”. Begitupula keberadaan wilayah Indonesia saat ini.
Karena itu mempertahankan Papua sebagai bagian dari Nusantara ini merupakan bentuk kedaulatan negara. Apalagi santer diberitakan bahwa Papua yang kaya akan tambang emas menjadi incaran negara lain, sehingga tidak mengherankan jika kisruh yang terjadi pada bulan Agustus 2019 lalu ditunggangi banyak kepentingan.
Seperti yang dibeberkan Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, kerusuhan di Papua pertama kali pecah di Manokwari, Papua Barat, Senin (19/8).
Jenderal Tito Karnavian mengakui jika kerusuhan yang terjadi di Manokwari Papua, dipicu dari hoaks yang sengaja dikembangkan oleh pihak-pihak tertentu. Kapolri menjelaskan, aksi massa di Papua ini di-‘triger’ dari adanya kejadian di Jawa Timur, khususnya Surabaya dan Malang. Menurutnya, ada kesalahpahaman yang terjadi saat itu.
Sehubungan dengan kerusuhan yang terjadi di halaman Kantor Bupati Deiya, Papua, Rabu (28/8) yang menyebabkan satu anggota TNI meninggal dunia dan lima anggta TNI-Polri terluka parah, Tito Karnavian menduga penyerang bukanlah massa demonstran, namun kelompok asal Panial yang menunggangi demonstrasi.
“Ini kelompok yang berasal dari Panial. Rupanya mereka sembunyi di balik massa ini dan menyerang petugas,” kata Tito (merdeka.com, 3/9/2019).
Selain faktor internal yaitu KNPB, kata Sutiyoso terdapat pula faktor eksternal penyebab kerusuhan Papua yaitu adanya Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Benny Wenda, yang merupakan juru bicara ULMWP yang kini berada di Inggris, bergerilya mencari dukungan ke sejumlah negara PBB dan negara Pasifik (m.cnnindonesia/31/8/2019).
Mempertahankan Papua Bukti Kedaulatan Negara
Sebagai bagian dari NKRI, wajib hukumnya bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankannya. Apalagi menelisik sejarah bergabungnya Papua ke dalam NKRI, butuh perjuangan fisik dan perundingan yang panjang.
Belum lagi ambisi Amerika dibalik pembebasan Papua Barat (dulu Irian Barat). Yang mana pada perundingan Villa Huntland Middleburg, Virginia (1962), Amerika berperan sebagai mediator.
Pada saat itu Presiden Soekarno cukup dekat dengan Unisoviet, sehingga dianggap ancaman tersendiri bagi Amerika. Yang mana Januari 1960, Presiden Nikita Khrushchev berkunjung ke Jakarta untuk memberikan kredit sebesar 250 juta dollar AS kepada Indonesia.
Setahun kemudian giliran utusan Indonesia yang berkunjung ke Moskow dan mendapatkan pinjaman sebesar 450 juta dollar AS untuk membeli persenjataan dari Soviet.
Amerika Serikat tak mau kalah dari Unisoviet, sehingga saat pemerintahan Presiden John F. Kennedy tahun 1961, Kennedy langsung bergerak dengan mengirim surat pribadi kepada Presiden Soekarno.
Kennedy menegaskan, AS bersedia membantu Indonesia untuk mengatasi masalah Irian Barat. Kennedy bahkan sudah menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 18 juta dollar AS.
Disisi lain, AS menekan Belanda agar bersedia berembug dengan Indonesia untuk membicarakan status wilayah Papua bagian barat. Jika tidak, Kennedy mengancam akan menghentikan bantuan AS kepada Belanda.
Setelah Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963, kebijakan pemerintah AS dibawah kepemimpinan Lyndon B Johnsonn berubah termasuk mengurangi bantuan kepada Indonesia yang disetujui Kennedy.
Dari pergantiann rezim inilah, nantinya, freeport perlahan-lahan masuk untuk menggerus kekayaan Papua seiring tumbangnya Soekarno yang kemudian digantikan Soeharto.
”Amerika telah turut bermain sebagai pihak pertama dalam kasus New York Agreement 15 Agustus 1962 untuk kepentingannya. Baik demi kepentingan melawan masuknya Indonesia dalam jaringan Soviet, maupun untuk penguasaan kekayaan alam Papua melalui Indonesia” tulis Beni Pakage dalam artikelnya.
“Kedudukam Orang Papua dalam Perjanjian New York” di suaraapua, 14 Agustus 2016.
Tanggal 1 Mei 1963, wilayah Papua bagian barat akhirnya resmi diserahkan kepada Indonesia dari Belanda melalui mediasi UNTEA. Tindak lanjut penyerahan itu adalah dilaksanakannya Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Papua selama 6 pekan dari Juli-Agustus 1969 yang menghasilkan intetgrasi wilayah Irian Barat ke dalam NKRI (tirto.id, 15/8/2017).
Kembali kepada tuntutan referendum, menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, referendum tak sesuai hukum Indonesia, sehingga tidak boleh ada referendum di Papua. Menurutnya ada dua alasan hukum, satu nasional dan dua hukum internasional.
Ia mengatakan bahwa jika sesuai dengan konstitusi, hukum Indonesia tidak mengenal referendum untuk penentuan nasib sendiri dari daerah yang sudah dikuasainya.
Untuk diketahui, TAP MPR No VIII tahun 1998 telah mencabut TAP MPR No IV tahun 1993 tentang Referendum. Kemudian lahir UU No 6/1999 tentang Pencabutan UU No 5/1985 tentang Referendum.
Selain melanggar hukum nasional, menurut Mahfud, referendum juga tidak sesuai dengan konvensi intenasional yaitu konvensi tentang hak politik, hak sipil, dan hak ekonomi, sosial, budaya.
“Itu konvensi yang sudah dideklarasikan pada tahun 2006 dengan UU No 12 dengan ratifikasi yang ditandatangani oleh SBY,” kata Mahfud (cnnindonesia.com, 31/8/2019).
Serangkaian sejarah dan aturan yang berlaku tersebut tentunya merupakan landasarn bangsa dan negara Indonesia untuk tetap mempertahankan Papua dalam bingkai NKRI. Terkhusus bagi kita kaum muslim, perlu diingat bahwa persatuan merupakan bagian dari ajaran Islam karena merupakan perintah Allh swt, sebagaimana yang terdapat dalam Al Quran, ”wala rafarroqu” yang artinya jangan terpecah belah.
Karena itu persatuan merupakan rahmat sebaliknya berpisah merupakan adzab. Olehnya itu, sudah sepatutnya kita bersatu untuk mempertahankan Papua, sembari berdoa kepada Allah swt agar kedepannya Papua mendapat rahmat Islam agar kehidupan masyarakatnya menjadi sejahtera, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Wallahu’alam bishowab.
ULFAH SARI SAKTI, S.PI