Dilansir dari Beritasatu.com, kabut asap tebal akibat kebakaran lahan gambut yang terjadi di Kecamatan Lalolae, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara (Sultra), mulai menyelimuti pemukiman warga, termasuk lembaga pendidikan.
Salah satu lembaga pendidikan yang terpapar kabut asap pekat adalah SDN 1 Lalolae, Kolaka Timur, Sultra.
Puluhan siswa SDN 1 Lalolae, Kolaka Timur, Sultra tidak bisa mengikuti proses belajar karena tebalnya kepungan asap yang memasuki ruangan kelas.
“Semoga yang suka membakar lahan segera menghentikan perbuatannnya, tidak usah lagi membakar lahan karena ini akan menimbulkan berbagai penyakit,” kata Kepala Sekolah SDN 1 Lalolae Risnawati di Kolaka Timur, Senin (9/9/2019).
Menurut Risnawati, para siswa terpaksa dipulangkan lebih awal karena tidak bisa mengikuti proses belajar mengajar dengan baik. Bahkan, beberapa siswa mulai terserang batuk dan sesak nafas. Memasuki hari ke 14 kebakaran lahan gambut di Desa Keisio, Kecamatan Lalolae, Kabupaten Kolaka Timur (Koltim), api belum bisa dipadamkan.
Manggala Agni Daops Tinanggea, Sulawesi Tenggara memperkirakan luas area lahan yang terbakar sudah mencapai 240 hektare pada Senin (9/9/2019).
Dilansir dari Antara, warga Kota Banjarbaru mulai merasakan udara tak sehat dengan terciumnya asap akibat terbakarnya lahan di sejumlah titik. Seperti diutarakan Nurul Huda. Warga di Komplek Putra Manunggal RT 28, Kelurahan Syamsudin Noor, Kecamatan Landasan Ulin, Kota Banjarbaru ini mengeluhkan sakit tenggorokan akibat menghirup asap.
“Tenggorokan mulai tak enak dan mata juga perih. Kabut asap sudah menyelimuti Banjarbaru,” katanya, Rabu.
Berdasarkan pantauan Antara sepanjang Rabu siang hingga malam hari, aroma asap dari karhutla memang sangat tercium. Meski kabut asap yang menyebar belum setebal dalam kondisi parah yang mengganggu jarak pandang, namun udara tak sehat yang masuk ke hidung akan langsung terasa sakit hingga ke tenggorokan.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor Banjarmasin pada Rabu siang mencatat 213 hotspot atau titik panas yang tersebar hampir di seluruh wilayah kabupaten dan kota di Kalsel kecuali Banjarmasin.
Staf Prakirawan Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor Banjarmasin, Rizqi Nur Fitriani mengatakan, berdasarkan analisa parameter cuaca, lahan dan hutan di Kalsel tinggi potensi untuk terbakar.
“Angin kencang pada siang hari di wilayah Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru juga patut diwaspadai untuk memicu api yang membakar lahan semakin meluas,” jelasnya.
Bahkan, BMKG juga mengeluarkan prakiraan cuaca “asap” di pagi hari untuk hampir sebagian besar wilayah di Kalsel, kecuali Kabupaten Tabalong, Tanah Bumbu dan Kotabaru. Pantauan udara karhutla di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Telaah Akar Masalahnya
Kabut asap pekat masih menghiasi wilayah di 12 provinsi, kebakaran di Sumatera dan Kalimantan yang mengakibatkan kabut asap di Indonesia hingga Malaysia dan Singapura tidak bisa dianggap remeh. Kabut asap yang disebabkan karena kebakaran hutan ini menghanguskan puluhan ribu hektar hutan dan lahan.
Bencana kabut asap juga telah menyebabkan bencana kesehatan missal. Pada Tahun 2015, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan jumlah penderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) akibat kabut asap mencapai 529.527 orang di enam provinsi di Sumatera dan Kalimantan.
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho yang disampaikan pada hari Jumat pagi tanggal 30 Oktober 2015 , jumlah penderita ISPA akibat kabut asap sebagai dampak dari kebakaran hutan dan lahan mencapai 529.527 orang. Jumlah penderita ISPA, masing-masing di enam provinsi yaitu Kalimantan Tengah 60.225 orang, Riau 79.888 orang, Jambi 129.229 orang, Sumatera Selatan 115.484 orang, Kalimantan Barat 46.672 orang, dan Kalimantan Selatan 98.029 orang.
Data tersebut, berdasarkan laporan yang masuk ke BNPB pada 29 Oktober 2015. Namun, kemungkinan jumlah penderita yang sebenarnya lebih daripada itu. (antaranews, 30/10)
Peneliti CIFOR, Henry Purnomo, mengungkapkan (Rappler.com, 4/9/2015) “kebakaran hutan adalah kejahatan terorganisasi karena lebih dari 90% disebabkan manusia atau sengaja dibakar, tujuannya membuka lahan perkebunan”.
Menurut Henry Purnomo, pembakaran hutan merupakan cara yang paling murah untuk mengubah lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit sekaligus mendongkrak harga lahan. Baiya yang dibakar hanya $10-20 perhektar, sementara lahan yang dibersihkan secara mekanis membutuhkan $200 perhektar (BBC indonesia, 24/9).
Diluar masyarakat yang menderita kerugian akibat kabut asap, sekelompok orang justru menikmati hasil dari kebakaran hutan. Mereka adalah orang pengejar keuntungan ekonomi dari pembakaran seperti kelompok tani, pengkalim lahan, perantara penjual lahan dan investor sawit.
Investor sawit ini adalah para kapitalis tingkat lokal,nasional, regional maupun global; perorangan maupun perusahaan. Padahal, warga yang terkena asap menderita berbulan-bulan karena udara yang mereka hirup adalah udara yang sangat berbahaya. Belum lagi, kehidupan ekonomi, pendidikan dan sosial dari warga terganggu.
Bencana kabut asap hanyalah salah satu problem di antara banyak problem yang melanda bangsa dan negeri ini. Semua ini mestinya membuka mata, pikiran dan hati kita bahwa itu adalah akibat penyimpangan terhadap hukum Allah SWT dalam bentuk penerapan sistem demokrasi dan kapitalisme yang rusak.
Akan tetapi, melihat ini semua pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman yang ada. Setiap bencana terjadi, tidak ada solusi tuntas yang diberikan oleh pemerintah. Ibarat sebuah rumah yang beratap bocor rusak dan parah saat menghadapi musim hujan, yang dilakukan hanyalah mencari wadah yang mampu menampung air hujan, tanpa mengganti atap yang sudah rusak dengan yang baru.
Begitulah gambaran kinerja pemerintah dalam menangani berbagai kasus ini. Kini, perisai itu tidak ada. Ketika bencana terjadi, rakyat kehilangan pelindungnya dan kebingungan mencari pertolongan kepada siapa. Lantas, sampai kapankah bencana ini akan terus terjadi? Bagaimana nasib rakyat dan negeri ini jika negara terus-terusan tidak peduli ?
Dalam hal ini, apalagi kalau bukan penerapan sistem sekuler, yakni sistem yang tidak bersumber dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia dan pengatur kehidupan.
Banyaknya bencana tanpa henti yang terjadi di negeri ini semestinya menyadarkan kita semua untuk bersegera kembali ke jalan yang benar, yakni jalan yang diridhai oleh Allah SWT, dan meninggalkan semua bentuk sistem kapitalisme yang nyata-nyata telah merusak dan merugikan umat manusia.
Karena itu, solusi total dan tuntasnya semua penyelesaian adalah dengan dibawanya arah penyelesaian menuju pada ketaatan kepada Allah SWT.
Islam Solusi Menuntaskan
Allah SWT berfirman : “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar” (TQS ar-Rum [30]: 41).
Bencana kebakaran hutan dan lahan dapat diselesaikan secara tuntas dengan dua pendekatan, yakni tasyrî’i dan ijrâ’i, yang hanya bisa diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Islam memberi solusi untuk menangani dan mengatasi persoalan ini pada dasarnya ada jangka pendek dan jangka panjang.
Jangka pendek dan segera diantaranya:
Pertama, menghentikan kebakaran lahan dan hutan yang menjadi sumber kabut asap. Berbagai cara telah dilakukan seperti water bombing, hujan buatan, pemadaman darat, pembuatan sumur, penyekatan area, dan sebagai harus terus dilakukan dan digerakan.
Kedua, memberikan pelayanan kesehatan dan bantuan kepada korban kabut asap secara gratis dan besar-besaran, sebab jumlah korban sangat besar dan cakupan wilayahnya sangat luas. Dana untuk hal pertama dan kedua ini bisa dikeluarkan dari APBN sampai mencukupi tanpa dibatasi, sebab ini berkaitan dengan nasi rakyat. Dana ini juga dapat ditagihkan kepada pelaku pembakaran. Ketiga, penindakan hukum secara tegas terhadap para pelaku pembakaran dan siapa saja yang terlibat.
Untuk jangka panjang harus diadakan infrastruktur untuk mencegah dan mengatasi kebakaran lahan dan hutan, baik berupa pembuatan kanal, penghutanan kembali, tata ruang dan lahan. Lebih dari itu,kebakaran terjadi karena adanya UU dan peraturan yang membenarkan hal itu.
Maraknya kebakaran lahan ada kaitannya dengan sistem politik demokrasi yang sarat biaya. Politis dan penguasa diantaranya mengumpulkan dana politik dengan pemberian penguasaan lahan.
Semua itu harus dicabut dan diganti, itulah problem sistem dan peraturan perundangan, yang justru menjadi akar masalah kebakaran lahan dan kabut asap. Karena itu sistem dan peraturan itu harus dicabut dan diubah.
Allah SWT telah menegur keras bagi siapa saja yang lebih menghendaki hukum jahiliyah daripada hukum Allah SWT untuk mengatur kehidupan mereka. “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(TQS al-Maidah [5]: 50).
Dari sini telah jelas bahwa bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari datangnya bencana yang senantiasa melanda negeri ini, kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya berasal dari Allah SWT. Itulah syariat Islam.
Adapun pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu. Tentu kita semua selalu mengharapkan terwujudnya kehidupan yang dipenuhi dengan kebaikan, terhindari dari bencana, keamanan dan kenyamanan.
Allah SWT juta telah berjanji akan memberikan itu semua, tatkala kita mau tunduk dan patuh terhadap aturan Islam. “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (TQS al-A’raf [7]: 96).
Hal ini hanya bisa diwujudkan melalui penerapan syariah Islam dalam sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus sesegera mungkin diwujudkan oleh seluruh kaum Muslim negeri ini. Dengan itu berbagai bencana akibat ulah manusia, termasuk bencana kabut asap, bisa diakhiri. Pada akhirnya, masyarakat akan bisa merasakan hidup tenang tanpa merasa khawatir terhadap bencana yang disebabkan oleh ulah manusia. Wallahu’alam bi ash shawab.
RISNAWATI