Hampir satu abad kaum muslimin hidup sebatang kara tanpa seorang ibu yang berarti mengayomi dan mempersatukan kaum muslimin, hingga berakibat terlantarnya hidup dipenuhi masalah yang mengepung dari berbagai aspek kehidupan.
Namun cita cita untuk menjadikan peran ibu hidup kembali masih hidup dalam benak orang orang ikhlas yang memperjuangkannya, sebab kasih sayang ibu tak akan lekang dimakan usia.
Ya, ibu kita adalah khilafah, yang pernah menaungi 2/3 dunia dengan Rahmat Allah yang tercurah sempurna, bahkan Indonesia pun pernah merasakan perhatian dan kepedulian Khilafah, yang mana hal ini tidak banyak diketahui oleh kaum muslim sendiri di negeri ini.
Abad ke 7 M, Islam masuk ke Indonesia melalui jalur pelayaran internasional melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Ummaiyyah di Asia Barat. (Prof. Dr. Uka Tjandrasasmita, dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan Penyebaran Islam, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm. 9-27).
Masuknya Islam di bumi nusantara berdampak pada kerajaan kerajaan yang semula hindu beralih kepada Islam. Kerajaan di Ternate pada tahun 1440 H, kerajaan Tidore dan Bacan di Maluku, kesultanan Sambas di Kalimantan, kesultanan Peureulak, Samudra Pasai di Sumatera, kesultanan Demak, di Jawa, kesultanan Gowa dan Tallo di Sulawesi dan kesultanan Bima di Nusa Tenggara (VOA-Islam.com).
Masuknya Islam ke Indonesia tidak hanya seputar ibadah mahdah, tetapi Islam sebagai ideologi, sebab hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistematis pada setiap aspek kehidupan, dari ibadah mahdoh yang diperketat pelaksanaannya, hingga hukum potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina serta pengharaman riba pada perputaran roda ekonomi.
Selain itu, hubungan baik pun terjalin antara Indonesia dengan Khilafah Islam, hingga rakyat Indonesia memandang bahwa Istambul (Ibu Kota Khilafah Utsmaniyah) berkedudukan sebagai raja diraja kaum mukmin di dunia (VOA-Islam.com).
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia, khususnya Papua yang telah bergabung menjadi bagian dari Khilafah, melalui hubungan yang terjalin erat antara kesultanan Islam Ternate-Tidore-Ambon dan kekhilafahan Turki Utsmani sehingga status tanah Papua adalah tanah Usyriyyah yaitu negara yang tunduk dan bergabung dengan kekuasaan Islam dengan jalan damai.
Namun hari ini kita menyaksikan bahwa Islam seolah tak pernah menyentuh bumi nusantara, mulai dari penduduk yang terjangkit Islamaphobia, penyelewengan sejarah Walisanga, hingga kepulauan yang berkeinginan untuk disintegrasi dari Indonesia, diawali dari timor2, kemudian aceh oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Papua oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Krocokan dadi grojokan begitu bunyi pepatah jawa, hal kecil yang dapat menyebabkan hal besar. Tidak disangka ujaran monyet akan berdampak pada tuntutan referendum, rasisme berujung pada disintegrasi. Benarkah keinginan disintegrasi murni karena sebab rasisme? Ataukah kasus ini kemudian ditunggangi oleh suatu kelompok yang memang dari dulu menginginkan disintegrasi dari Indonesia?
Dilansir dari nusantaranews.net (28/08/2019) selepas insiden pengusiran Gubernur Papua Lukas Enembe, dua mahasiswa memasang spanduk baru di depan asrama mereka, Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, yang bertuliskan “Lepas Garuda dan Referendum is Solution”. Lukas mengaku telah mengkosultasikan hal ini kepada Presiden Joko Widodo terkait referendum yang telah lama digaungkan oleh masyrakat Papua.
Jika kita menilik pada catatan sejarah, Papua dengan segala kekayaan logam mulia, tembaga, perak, dan uranium yang dikabarkan lebih mahal dibandingkan emas, merupakan bagian dari kerajaan Islam, yang mulai digerogoti kekayaannya semenjak PT. Sulfur Mac.Moran menginjakkan kaki di gunung suci Nemangkawi.
Penduduk asli Papua, suku Amungme dan Kamoro yang tinggal di pegunungan dan pesisir pantai, kini hidup dibawah garis kemiskinan dengan kehidupan dan perekonomian masyarakat lokal yang telah dirusak dengan tidak memberikan sedikitpun ruang untuk menolak atau meminta kekayaan yang mereka miliki.
Menurut Ketua Lemasa Odizeus Beanal, 70% dari penduduk lokal hidup di bawah garis kemiskinan, dan mereka tidak mendapatkan bagian apapun dari kekayaan yang mereka miliki. “Padahal mereka datang dan pergi, tapi kami tetap tinggal di bumi pertiwi yang telah dirusak oleh Freeport” ungkap Odizeus Beanal. (Tirto.id).
- Jadi dapat disimpulkan isu referendum yang semakin bergejolak merupakan tuntutan dari ketidak adilan yang diterima penduduk Papua, akar masalah tersebut antara lain:Sejarah dan peristiwa politik internasional terkait integrasi Papua ke Indonesia yang terjadi sejak tahun 1949 (Konferensi Meja Bundar), disusul tahun 1962 (New York Agreement), tahun 1962 (Pepera) hingga berakhir pada Sidang Umum PBB tahun 1969 yang menghasilkan resolusi No. 2504 yang masih dianggap belum benar oleh sebagian penduduk Papua. Hasil keputusan itu adalah ilegal, karena tidak sesuai dengan asas demokrasi, yaitu satu kepala satu suara, hingga mereka yakin untuk menggungat hal tersebut ke Mahkamah Internasional. Untuk mendukung upaya tersebut, tahun 2008 mereka telah membentuk badan perkumpulan pengacara internasional (International Lawyer for West Papua/ILWP) yang berpusat di London dan badan penggalang dukungan parlemen dari berbagai negara (International Parliement for West Papua/IPWP). (Kompasiana.com).
- Bagai anak tiri, penduduk Papua tidak mendapatkan perhatian sebagaimana daerah Ibu kota, sehingga pembangunan pelayanan publik, kesehatan, pendidikan dsb, tidak sesuai dengan kebutuhan, yang dapat memutus kepercayaan terhadap pemerintah.
- Adanya cengkeraman asing di bumi Papua, salah satunya adalah Amerika dengan salah satu perusahaan yang menopang eksistensinya, Freeport. Sedangkan disisi lain penduduk Papua selaku pemilik tanah ulayat tidak mendapatkan ruang untuk dilibatkan dalam segala polemik kontrak freeport dan keuntungan apapun dari keberadaan perusahaan tersebut, selain gunung yang telah dirusak akibat eksploitasi dan air yang tercemar oleh limbah yang dibuang di sepanjang aliran sungai Akjwa hingga Laut Arafuru. Pencemaran tersebut berakibat pada rusaknya perkebunan, lahan memancing, air bersih dan hasil hutan yang menghidupi penduduk lokal.
Papua dengan segala kekayakan yang dimiliki membuat kalap asing untuk memiliki seutuhnya bumi Papua, dengan mendukung gerakan separatis agar tercipta polemik yang berujung disintegrasi Papua dari Indonesia.
Sudah seharusnya pemerintah bersikap tegas mengenai hal ini, jika tidak dapat dipastikan sejarah Timor Timur akan kembali terulang.
Sungguh gerakan separatis adalah tindakan nyata yang dapat mengancamm NKRI, oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi Badan Penjaga Pancasila turut andil dalam urusan tersebut, tidak hanya garang terhadap pengusung ide Khilafah yang sama sekali tidak terbukti menganjam eksistensi NKRI.
Khilafah yang digaungkan dapat memecah belah NKRI justru hadir dengan solusi yang menyentuh pada akar permasalahan separatisme dan pemberontakan (Bughot). Dalam pandangan Islam pemberontakan (bughot) adalah haram, maka pelaku bughot harus ditindak tegas dan diperangi.
Selain itu sebagai tindakan preventif maka dalam Islam negara wajib bertindak untuk memupuk kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, maka pemerintah harus mampu merealisasikan terpenuhinya kebutuhan pokok warganya, mulai dari kesehatan, pendidikan, terjangkaunya kebutuhan pokok, rasa aman dan terbebas dari invasi alien yang tidak hanya merusak lingkungan hidup juga mengancam eksistensi penduduk lokal.
Namun hal ini tidak akan dapat terealisasi jika sistem ekonomi kapitalisme yang dimana roda perekonomian berpihak pada para kapital masih bercokol.
Maka solusi tuntas yang tidak hanya mampu menyelesaikan permasalahan di Papua tetapi juga dapat mensejahterahkan Papua dan seluruh negeri adalah dengan diterapkannya Islam kaffah dalam naunga Khilafah ala minhajinnubuwwah. Mengapa tidak? Bukankah romantisme sejarah pernah dirasakan manisnya oleh Indonesia. Wallahualam bissowab.
CITRA HARDIYANTI R