Solusi Islam, Menjamin Kesehatan Ummat

Solusi Islam, Menjamin Kesehatan Ummat
Susiyanti, SE.

“Di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat.  Kita sudah tidak asing mendengar istilah tersebut, ditengah-tengah masyarakat yang di sampaikan oleh Marselinus Sampe Tondok.

Namun ungkapan tersebut ternyata hanya isapan jempol semata. Sebab  untuk memperoleh tubuh yang kuat maka kita harus sehat, karena kalau kita sakit maka kita harus mengeluarkan uang yang banyak atau tidak murah untuk mendapatkan perawatan kesehatan.

Iklan Pemkot Baubau

Hal ini diperkuat dengan ungkapan  Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, “Saya pikir semua masyarakat harus memahami itu (iuran BPJS Kesehatan naik), karena nanti, jangan mengembangkan sehat itu murah, nanti repot. Sehat itu mahal perlu perjuangan, sebab kalau (masyarakat beranggapan) sehat itu murah nanti orang menjadi sangat manja. (Cnnindonesia, 4/ 9/ 2019).

Tidak hanya itu, menurut  Sri Mulyani  yang merupakan menteri keuangan, bahwa “Pemerintah menanggung iuran dari sekitar 30% pengguna BPJS. Kritik yang mengatakan kenaikan iuran akan memberatkan itu salah, karena kami masih akan membayarkan iuran untuk masyarakat tidak mampu. Kami menyadari pelayanan kesehatan harus didapatkan oleh seluruh lapisan masyarakat.” (CNBCIndonesia.com, 9/9/2019)

Menyoal Jaminan Kesehatan

Jika kita menilik apa yang dilakukan oleh pemerintah, merupakan suatu gambaran lepasnya tanggung jawab negara dengan cara mendorong praktek liberalisasi dan komersialisasi sektor kesehatan ini, telah membawa banyak dampak buruk bagi orang-orang miskin.

Pertama, yang dibuktikan dengan adanya pemberlakuan sistim pembayaran yang disebut “user fees” pada pelayanan kesehatan publik. Disini, hampir tidak ada pembedaan antara RS pemerintah dan RS swasta, sehingga menyempitkan kesempatan bagi rakyat miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan murah.

Kedua, Adanya segmentasi dalam pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat. Artinya, setiap golongan masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan berdasarkan kemampuan ekonominya.

Ketiga, Karena tujuan pelayanan kesehatan sekarang ini adalah mengejar profit semata, maka faktor “kemanusiaan” menjadi semakin terpinggirkan dalam hal pemberian pelayanan yang layak.

Keempat, Karena sistem kesehatan sudah dikomersialisasi atau diliberalisasikan, maka pelayanan kesehatan hanya bersifat individual, bukan lagi sebagai sebuah gerakan kolektif untuk menyehatkan masyarakat.

Sehingga tidak heran, apabila semestinya negara yang memberikan pelayanan yang terbaik dan gratis kepada masyarakatnya, namun apa yang terjadi ternyata pemerintah malah tidak peduli dan berbalik belakang.

Sebab dalam kapitalisme negara tidak memiliki fungsinya. Hingga mengakibatkan warga masyarakat harus  membayar sendiri apa yang mereka butuhkan, untuk kesehatan dan kesejahteraannyaa. Bahkan tidak ada istilah subsidi masyarakat dalam kapitalisme ini, karena semuanya diserahkan  pada mekanisme pasar.

Maka benarlah, apabila ada ungkapan yang menyatakan orang miskin dilarang sakit. Disebabkan karena terjadi pemalakan sistemik pada masyarakat, sebagai solusi tambal sulam permasalahan yang terjadi dimasyarakat.

Hasilnya adalah terjadi banyak ketimpangan, perolehan fasilitas kesehatan dan jaminan kesejahteraan masyarakat. Kalaupun ada yang mendapatkan jaminan kesehatan dan kesejahteraan, hanyalah bagi warga  masyarakat yang mampu membayar iuran saja.

Inilah konsekuensi dalam sistem sekuler. Kapitalis sungguh tak mampu memberikan jaminan kesehatan dan kesejahteraan bagi seluruh warga masyarakat.

Jaminan Kesehatan dalam Perspektif Islam

Adapun solusi islam dalam menjamin kesehatan. Pertama adalah kesehatan/ pelayanan kesehatan, adalah pelayanan dasar publik merupakan suatu hal yang ditetapkan Allah SWT sebagai kebutuhan pokok publik, yaitu sebagaimana ditegaskan Rasulullah SWT, yang artinya, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah – olah dunia telah menjadi miliknya”. (HR Bukhari)

Kedua adalah negara bertanggung jawab penuh, adalah dengan menjamin pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan setiap individu masyarakat. Diberikan secara cuma-cuma dengan kualitas terbaik bagi setiap individu masyarakat, tidak hanya bagi yang miskin tapi juga yang kaya, apapun warna kulit dan agamanya.

Tentang tugas penting dan mulia ini, telah ditegaskan Rasulullah dalam tuturnya yang artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al-Bukhari)

Namun, apabila pemerintah menyimpang, maka hal itu merupakan suatu perbuatan batil yang dibenci Allah SWT, manakala fungsi pemerintah dikebiri sebatas regulator dan fasilitator, sementara fungsi dan tanggung jawab lainnya, seperti penyelenggaraan/pelaksanaan diserahkan kepada korporasi. Yang demikian karena pembatasan fungsi tersebut, pasti berujung pada kelalain pemerintah dalam menjalankan tanggung jawabnya yang hal tersebut merupakan perbuatan tercela.

Ketiga, adalah pembiayaan berkelanjutan yang sesungguhnya, setidaknya dikarenakan dua hal yaitu: Pertama, pengeluaran untuk pembiayaan kesehatan telah ditetapkan Allah SWT, sebagai salah satu pos pengeluaran pada baitul maal dengan pengeluaran yang bersifat mutlak.

Sumber-sumber pemasukan untuk pembiayaan kesehatan, sesungguhnya telah didesain Allah SWT sedemikian sehingga memadai untuk pembiayaan yang berkelanjutan itu adalah hal yang pasti bagi Allah. Yang salah satunya berasal dari barang tambang yang jumlahnya berlimpah.

Adapun anggaran pendapatan belanjan negara (APBN), dalam sistem islam dimana tidak sepeserpun harta yang masuk maupun yang keluar kecuali sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Keempat, yaitu kendali mutu yang sesungguhnya adalah berpedoman pada tiga  cara yaitu: utama, administrasi yang simple, segera dalam pelaksanaan, dan dilaksanakan oleh personal yang kapabel.

Inilah gambaran jaminan kesehatan dalam sistem islam yang mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam dan menghasilkan kecemerlang yang berasal dari al-qur’an dan As Sunnah. Wallahu’alam.

SUSIYANTI, SE