Proyek OBOR (One Belt One Road) yang kini berganti nama jadi BRI (Belt and Road Initiative) merupakan ambisi China untuk memperkuat kerja sama ekonomi dengan negara-negara yang berada di sejumlah benua. OBOR terdiri dari Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (Silk Road Economic Belt), yaitu proyek yang menghubungkan China dengan Asia Tengah, Asia Selatan dan Eropa.
Kerja sama proyek itu antara lain pengembangan infrastruktur transportasi, kawasan industri, jaringan kota kembar, promosi perdagangan dan investasi, dan kerja sama di sektor keuangan. Meskipun demikian, sebagian pihak menilai bahwa proyek tersebut hanyalah upaya rebranding atau penyegaran akan investasi China yang selama ini telah berlangsung.
Indonesia termasuk negara yang menandatangani proyek OBOR ini. Sekilas memang menjanjikan banyak keuntungan seperti peningkatan investasi dan peningkatan tenaga kerja yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, sisi negatif dari investasi itu juga amat besar. Sayangnya pemerintah tidak mempedulikan bahaya yang mengancam akibat investasi China ini.
Apa yang diharapkan dan dicitrakan ternyata tidak seindah kenyataannya. Di lapangan ternyata proyek yang ditangani perusahaan China mengalami kelambanan. Sehingga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengambil alih sebagian porsi pengerjaan proyek kontraktor asal China di tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu).
Kepala Badan pengaturan Jalan Tol (BPJT), Danang Parikesit mengatakan, perubahan porsi pengerjaan proyek demi mempercepat penyelesaian tol Cisumdawu. Pada tol Cisumdawu seksi I dan seksi II yaitu dari Cileunyi-Sumedang merupakan pengerjaan bersama antara pemerintah dengan kontraktor asal China, antara lain Metallurgy Corporation of China (MCC), China Road and Bridge Corporation (CRBC), dan Shanghai Contruction Group (SCG).
Dengan adanya pengambilalihan porsi pengerjaan, kata Danang, maka pengerjaan kontraktor asal China ini menjadi lebih sedikit. Tadinya porsi pengerjaan kontraktor China dengan pemerintah yaitu 65% dengan 35%. Saat ini, pengerjaan menjadi 45% untuk ketiga kontraktor asal China dan 55% untuk Kementerian PUPR (Detikfinance, 5/9/19)
Sebelumnya, menteri PUPR Basuki Hadimuljono geram dengan progres pembangunan proyek Cisumdawu.
“Kita kan dengan China kadang-kadang kan juga harus keras ya, pengawasannya harus keras, mereka kan bisnis juga,” katanya di sela meninjau pembangunan tol Cisumdawu.
Apa yang dilakukan oleh tiga perusahaan China tersebut termasuk wanprestasi yang merugikan Indonesia. Wanprestasi dalam bahasa awam artinya “ingkar janji”. Dalam kamus hukum, disebutkan artinya yaitu kelalaian, kealpaan, cidera janji, atau tidak menepati kewajiban dalam kontrak.
Sementara definisi wanprestasi yaitu tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Tindakan wanprestasi menimbulkan hak terhadap pihak yang dirugikan untuk menuntut terhadap pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi. Pada kasus wanprestasi pengerjaan tol Cisumdawu kementerian PUPR sudah menyelesaikannya dengan mengambil alih sebagian pengerjaan proyek tersebut.
Wanprestasi perusahaan China merupakan masalah kecil jika dibandingkan dengan bahaya OBOR bagi Indonesia. Kesepakatan kerja sama dalam proyek-proyek OBOR masih dihantui kecurigaan banyak pengamat akan jebakan utang.
Staf Khusus Kemenko Bidang Kemaritiman Atmadji Sumarkidjo, misalnya mengatakan bahwa pemerintah Indonesia, melalui Luhut Pandjaitan, sudah menetapkan bahwa hanya akan membuka opsi skema B-to-B dalam proyek-proyek OBOR dan menolak penggunaan skema G-to-G.
“Hal ini berdasarkan studi tim mengenai jeratan utang beberapa negara,” kata Atmadji. “Dengan demikian, pemerintah Indonesia tidak akan terjebak dengan China’s Debt Trap,” ungkapnya (Tirto.id, 2/5/19).
Selain itu proyek OBOR juga lebih banyak menguntungkan ekonomi China dan berpotensi merugikan ekonomi domestik. Karena sebagian besar proyek-proyek yang digarap china menggunakan sistem turnkey project. Dengan sistem ini, seluruh hal yang terkait dengan proyek diserahkan kepada kontraktor.
Pemilik proyek dalam hal ini pemerintah, BUMN atau pun swasta baru akan membayar pihak kontraktor setelah proyeknya selesai. Akibatnya, China dengan mudahnya mengatur sumber bahan baku, barang modal, dan tenaga proyek-proyek tersebut.
Lebih dari itu, bagi umat Islam, proyek OBOR sudah sepatutnya ditolak sebab ia berpotensi mengancam kedaulatan negara. Dari kaca mata Islam, proyek-proyek tersebut terindikasi banyak melanggar aturan syariat. Di antaranya, perjanjian kerja sama investasi itu dibangun di atas perjanjian yang batil seperti pinjaman yang berbasis riba dan syarat-syarat yang dapat menimbulkan bahaya seperti potensi jatuhnya aset-aset negara kepada China.
Selain itu, China yang menjadi inisiator proyek tersebut merupakan negara komunis yang selama ini menindas umat Islam di Provinsi Xinjiang secara sistematis.
Meskipun demikian, proyek OBOR ini akan terus berjalan. Karena selama Indonesia mengadopsi sistem kapitalis, Indonesia akan selalu menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya, termasuk memanfaatkan utang-utang riba dan bekerja sama dengan negara-negara penjajah.
Jadi, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan negara ini selain mengganti sistem kapitalis dengan sistem Islam, atau dalam terminologi tsaqafah Islam dikenal dengan istilah Khilafah Islamiyyah.
Khilafah akan membangun negara dengan semangat keimanan, sehingga rahmat dan keberkahan akan datang dari langit dan bumi, tidak hanya bagi muslim saja namun bagi seluruh alam.
Allah berfirman: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (QS al-‘Araf: 96).
Jika berkaca pada sumber daya manusia yang tergilas pemikiran kapitalisme-materialisme, ini adalah hal yang sulit. Tapi tidak demikian di negara khilafah, yang memastikan peri’ayahan atau pengurusan umat dengan mengoptimalkan fungsi dan peran peneliti, intelektual hingga teknisi yang bekerja dalam suasana keimanan yang tercipta karena negara berdasarkan akidah Islam.
Konsep infrastruktur negara khilafah dalam bidang transportasi, setidaknya ada tiga prinsip yang harus diperhatikan.
Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggungjawab negara, bukan karena sifatnya yang menjadi tempat lalu lalang manusia, tetapi juga terlalu mahal dan rumit untuk diserahkan ke investor swasta. Di Jakarta, karena ingin diserahkan ke swasta, pembangunan monorel tidak pernah terlaksana.
Kedua, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Jika semua kebutuhan warga di suatu wilayah terpenuhi dalam jarak dekat, maka pembangunan jalan tidak jadi prioritas.
Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki.
Berkaitan dengan pembangunan negara secara umum, negara khilafah mempunyai strategi pembangunan yaitu dimulai dari sektor hilir baru ke sektor hulu. Artinya dimulai dengan mewujudkan industri berat dan strategis terlebih dahulu baru ke sektor yang lebih ringan.
Karena jika dimulai dari sektor hulu (semisal pertanian), negara memerlukan sarana dan alat produksi. Jika negara belum memilikinya maka tidak ada pilihan lain yang ditempuh selain impor yang jelas memerlukan dana. Maka negara akan terjerat debt trap lagi.
Sementara sumber pendanaan pembangunan, negara khilafah memanfaatkan dana Baitul Maal. Dana ini berasal dari kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola oleh negara ditambah kekayaan milik negara. Pengelolaan ini mengandalkan partisipasi rakyat hingga secara langsung membuka lapangan pekerjaan untuk rakyat sendiri. Wallahu a’lam bish shawab.
OOY SUMINI