Melawan Narasi Sesat Bahaya Pernikahan Dini

Melawan Narasi Sesat Bahaya Pernikahan Dini
HAMSINA HALISI ALFATIH

DPR dan Pemerintah untuk sementara sepakat usia pernikahan terendah adalah19 tahun. Namun, Farksi PKS dan PPP disebut masih berkukuh dengan batas usia yang lebih rendah. (cnnindonesia.com, 13/09/19).

Selain itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengapresiasi DPR yang menyetujuiusulan pemerintah soal perubahan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun dan akan dilanjutkan ke tingkat pengesahan.(Beritasatu.com, 14/09/19).

Iklan Pemkot Baubau

Revisi undang-undang pernikahan merujuk pada pasal 7 ayat (1) UU 1/1974, menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Perevisian undang-undang perkawinan pada anak dimaksudkan sebagai pencegahan diskriminatif terhadap  anak dan tindak KDRT.

Menyikapi hal tersebut, pernikahan dini seharusnya tidak dijadikan sebagai momok yang buruk. Sebab, dengan membatasi usia pernikahan bukanlah solusi untuk mencegah KDRT. Karena permasalahan KDRT merupakan perkara lain dalam biduk rumah tangga, salah satunya adalah faktor ekonomi. Menurut menteri perdagangan perempuan dan perlindungan anak, Yohana Yembise yang mengutip Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada tahun 2016 menunjukkan bahwa satu dari setiap tiga perempuan usia 15 hingga 64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual, satu dari setiap empat perempuan yang pernah/sedang menikah mengalami kekerasan berbasis ekonomi, dan satu dari lima perempuan menikah mengalami kekerasan psikis.

Menguak akar masalah Akibat Sekulerisme-Liberalisme

Menguak akar permasalahan pernikahan usia dini seharusnya menyasar kepada pergaulan bebas yang berdampak hamil diluar nikah. Selain itu, usia dini pada remaja rentan pula pada kondisi emosional yang tak terkontrol. Hal ini bisa dilihat bagaimana rasa penasaran anak-anak remaja terhadap sesuatu. Contoh, ketika mereka menyaksikan video porno yang sangat memungkinkan hal itu dipraktikkanya dalam kehidupan nyata.

Dampak dari kondisi kehidupan anak remaja saat ini yang sangat rentan denganpergaulan bebas. Akibatnya banyak remaja (perempuan) yang hamil diluar nikah,kemudian merembes pada aborsi dan terjangkit HIV/AIDS. Fakta tersebut tak bisa dihindari, mengingat kondisi pendidikan kita saat ini berbasis sekuler liberal. Dari penerapan Sekuler-liberal inilah rusaknya moral remaja yang tak beradab. Ditambah lagi kurangnya kontrol keluarga dalam memberikan pemahaman aqidah. Begitu halanya dengan kontrol masyarakat yang seharusnya menjadi acuan bersama dalam menerapkan kajian islami.

Sementara permasalahan KDRT merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan diantaranya yaitu kekerasan fisik, meliputi tindakan memukul, menampar, menendang, mendorong, mencengkram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik lainnya. Terlebih lagi pada kondisi perekonomian yang tidak stabil dimasyarakat. Hal ini pula beranjak pada kebijakan pemerintah dalam pemerataan pembangunan dan pembangunan ekonomi berbasis liberal. Terlebih lagi ketika sumber daya alam yang menjadi milik umum, digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru diserahkan kepihak swasta maupun asing. Padahal dengan adanya peran negara sebagai pengelola SDA, hal ini justru akan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Kembali Ke penerapan Islam Kaffah

Batasan usia dini bukanlah akar dari penyelesaian KDRT. Begitu halnya jika dikatakan sebagai dampak terjadinya kekerasan seksual pada anak. Sebab pernikahan didalam islam merupakan solusi untuk mencegah terjadinya perzinahan.

Di dalam Islam sendiri tidak pernah menyebutkan batasan usia pernikahan secara pasti, yang disebutkan hanyalah ukuran kemampuan menikah. Maka barang siapa  yang telah mampu untuk menikah, maka menikahlah. Hal ini sesuai dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Ia menuturkan: “Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).

Tentu menuju jenjang pernikahan tidak hanya sekedar siap finansial semata, tetapi dibutuhkannya persiapan Fisik, persiapan spiritual, dan persiapan mental. mempersiapkan mental dimaksudkan agar mampu menerima segala tanggung jawab sebagai seorang suami maupun seorang istri. Dalam memahami hak dan kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga, betapa islam sangat memperhatikan hal tersebut.

Sebagaimana kewajiban suami dalam memberi nafkah kepada istri dan anak. Islam mewajibkan suami bekerja begitu halnya seorang istri yang mempunyai kewajiban melayani suami dan mengurus anak. Dengan memahami kewajiban antar suami dan istri inilah yang akan mencegah terjadinya KDRT. Karena itu diperlukannya pemahaman ilmu islam dalam membina rumah tangga, terlebih bagi remaja yang terjebak dalam pernikahan usia dini.

Disamping itu pula, pemerintah seyogyanya menyediakan lapangan pekerjaan, menstabilkan perekonomian dengan mengambil alih sumber daya alam semata-mata dipergunakan untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian dengan menerapkan islam secara kaffah, menjadikan syari’at islam sebagai aturan hidup maka akan terwujudnya masyarakat islami yang jauh dari kehidupan sekuler- liberal. Wallahu A’lam Bishshowab.

HAMSINA HALISI ALFATIH

Komentar