Islamofobia telah menjangkiti umat Islam di negeri yang katanya mayoritas muslim. Ketakutan sekaligus kebencian terhadap Islam dan ajarannya tampak makin menguat belakangan ini. Islamofobia ini lalu mendorong sebagian kalangan untuk melakukan penistaan terhadap ajaran Islam.
Syariah Islam, misalnya, telah lama dipersoalkan oleh sebagian kalangan muslim sekuler. Salah satunya karena mengancam kebhinekaan.
Khilafah, sebagai bagian dari ajaran Islam, oleh sebagian pihak, juga dituding sebagai ancaman atas negeri ini. Khilafah lalu dianggap sebagai paham terlarang. Disamakan dengan komunisme dan leninisme. Belakangan pemerintah melalui Menkopolhukam Wiranto mengaku akan menggodok aturan yang intinya akan mengkriminalkan individu yang tetap mendakwahkan khilafah.
Yang terbaru, jihad sebagai salah satu puncak amalan Islam, rencananya akan dihapus oleh Kemenag dari mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Alasannya, kata Kemenag, supaya Islam tidak lagi selalu dikait-kaitkan dengan perang, juga supaya anak-anak didik memiliki toleransi yang tinggi kepada pemeluk agama lain.
Penistaan ajaran Islam ini, karena faktor islamofobia. Salah satunya berpangkal pada narasi seputar bahaya radikalisme yang terus disuarakan oleh penguasa dan sejumlah pihak. Narasi ini hanyalah mengekor pada narasi yang telah lama digaungkan oleh Barat. Padahal istilah radikalisme sampai sekarang tidak jelas definisinya. Yang sudah jelas, radikalisme selalu dikaitkan dengan Islam. Tudingan radikal pun senantiasa dialamatkan kepada kaum muslim, terutama tentu yang berpegang teguh pada Islam dan syariahnya.
Islam adalah agama yang mulia. Demikian pula syariahnya dan seluruh ajarannya.
“Sungguh agama di sisi Allah hanyalah Islam.” (TQS Ali Imran:19)
Sistem pemerintahan Islam adalah Al-Khilafah, yang diistilahkan pula sebagai Al-Imamah al-Kubra (kepemimpinan agung) (Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hlm. 88). Kepemimpinan ini bukan sembarang kepemimpinan, tetapi pengganti kenabian dalam memelihara urusan agama Islam dan mengatur urusan dunia dengan Islam.
Menegakkan kepemimpinan Islam (khilafah) adalah wajib. Kewajiban ini telah banyak dinyatakan oleh para ulama. Imam Ibnu Hajar al-Haitami, misalnya, menyatakan, “Sungguh para sahabat ra telah sepakat bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian terakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam (khalifah) sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu seraya menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah Saw (Al-Haitami, Ash-Shawa’iq al-Muhriqah, hlm. 7).
Secara bahasa jihad bermakna sungguh-sungguh. Dan secara syar’i, menurut para ulama mu’tabar, jihad bermakna perang di jalan Allah.
Jihad hukumnya wajib dan merupakan amalan yang utama.
“Jika seluruh kaum muslim berdiam diri, tidak melakukan jihad hingga kaum kafir menguasai sebagian wilayah kaum muslim, mereka sesungguhnya telah sama-sama berdosa (Kitab Al-Mabsuth, 34/119).
Fakta juga berbicara, justru karena jihadlah Islam unggul dibandingkan dengan umat lain. Kaum muslim pun tak mudah dihinakan dan ditundukkan oleh bangsa kafir. Ini pula yang pernah dibuktikan di tanah air. Bangsa Indonesia mampu mengusir sekutu pada masa lalu. Salah satunya karena dipicu oleh ‘Resolusi Jihad’ yang dikeluarkan di Surabaya pada tahun 1945 oleh pendiri NU, Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, saat ini.
Dengan seluruh kemuliaan Islam dan syariahnya, termasuk khilafah dan jihad, tidak layak seorang muslim terus-menerus menistakan ajaran Islam. Islam ajaran yang syamil dan kamil akan menjadi rahmatan lil ‘alamin. Wallahu a’lam bishshawab.[*]
Yanyan Supiyanti A.Md (Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif)