Papua dan Referendum

Papua dan Referendum
Wa Ode Asnalita.

Masalah referendum kembali terusik. Para mahasiswa Papua dan Papua Barat menggelar unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat (Rabu, 28/8/2019). Sembari mengibarkan bendera Bintang Kejora, demonstrasi yang dipimpin Ambrosius itu menuntut pemerintah Indonesia mempersilahkan Papua melakukan referendum (tirto.id, 30/8/2019).

Tak sampai di situ, juru bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Yeimo mengatakan perjuangan menuntut referendum akan dilakukan terus-menerus.

Dia melanjutkan pihaknya akan menyerukan aksi mogok nasional di seluruh wilayah yang diklaim sebagai West Papua untuk mendesak referendum atau penentuan nasib Papua lewat pemungutan suara rakyat (cnnindonesia.com, 31/8/2019).

“Kita sudah serukan rakyat Papua untuk melakukan mogok sipil nasional di wilayah West papua, untuk mendesak Jakarta membuka ruang referendum di Papua Barat,” kata dia, dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV, Sabtu (31/8)

Kepentingan Asing dibalik Isu Referendum?

Upaya referendum semacam ini bukan kali pertama bergejolak di bumi Cendrawasih. Bahkan rekam jejak mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan telah berlangsung sejak lama.

Melihat demikian mencuatnya tuntutan referendum di Tanah Papua yang terus berlanjut dan tak kunjung menemui titikakhir, faktor pemicu tuntutan ini perlu dipecahkan secara cermat. Lepasnya Timor-Timur dari pangkuan Indonesia menjadi pengalaman yang sangat pahit. Papua jauh lebih besar potensi SDAnya dibandingkan timor timur. Apalagi papua adalah ladang yang menggiurkan bagi ketamakan para kapitalis asing melalui instrumen negaranya untuk melakukan penjajahan sekaligus mengeruk habis kekayaan Papua.

Kepentingan asing lah memang amat kentara pada kisruh Papua. Isyarat yang pernah dikeluarkan KH Hasyim Muzadi semakin mempertebal pernyataan ini: “Bahwa NKRI di ujung tanduk karena separatisme Papua sebenarnya bukan mainan rakyat Papua, tetapi mainan asing dengan konspirasi sangat rapi” (m.liputan6.com, 5/12/2011)

Motifnya tentu tak lepas dari eksistensi kelompok kepentingan tertentu dan penjarahan SDA dengan cara melepaskan bumi cendrawasih dari NKRI via referendum yang sedang diusahakan oleh mereka.

Bukan hal yang baru bagi asing, terkhusus Amerika. Mengingat hal ini sudah dilakukan mantan presiden Bill Clinton ketika mendukung gerakan Kosovo merdeka lepas dari Serbia dan juga mendukung terbentuknya Kozovo Liberation Army (KLA).

Indonesia harus mewaspadai terhadap upaya semacam ini. Memanfaafkan kisruh untuk menjadi pembicaraan dunia Internasional. Akhir dari ujungnya sudah bisa ditebak akan menjepit Indonesia dan melemahkan diplomasi Indonesia di PBB dengan tuduhan telah melakukan pelanggaran, satu diantaranya yakni rasisme, akibatnya Amerika dengan mudahnya ‘membeli’ masyarakat Papua atas pelanggaran HAM tersebut.

Terbukti Amerika mulai mengungkapkan keprihatinan besarnya atas konflik di Papua ketika tahun 2005 Kongres AS memutuskan untuk menerapkan klausul: berdasarkan apa Papua telah menjadi bagian dari Indonesia. Pada bulan Juni 2007, Utusan khusus HAM Sekjen PBB, Hina Jilani mengunjungi Provinsi Aceh dan Papua.

Ia membahas pelanggaran HAM di dua provinsi itu. Disusul pada bulan juli 2007, ketua sub komite Parlemen (Kongres AS) di Asia, Pasifik dan Global, Eni Faleomaveagaa, mengatakan, “jika Pemerintah Indonesia tidak mampu menangani dengan baik isu Papua, kami akan memberinya kemerdekaan.”

Semua itu tentu saja menunjukkan niat Amerika bersemangat untuk campur tangan dalam kisruh Indonesia di Provinsi ini, sama seperti yang dilakukan sebelumnya di provinsi Aceh dan Timor Timur sehingga untuk melakukan hal ini Australia melakukannya dengan cara sepadan dengan kepentingannya.

Campakkan Demokrasi, jadikan Islam sebagai Solusi

Kasus Papua mestinya tidak terjadi, jika Negara ini benar-benar hadir untuk mengurusi kepentingan rakyatnya. Namun, sayangnya kapitalisme sekuler dengan sistem demokrasi telah memecah negeri dan mengabaikan rakyatnya sendiri. Negara tak punya power untuk menjaga Papua yang menjadi tanggungjawabnya.

Demokrasi memiliki celah hukum yang bisa diotak-atik sebagai legitimasi bagi yang berkepentingan. Atas nama demokrasi, The right or the self determination for west Papua menggema dan menjadi tuntutan utama rakyat Papua untuk melepaskan diri dari wilayah- atau adanya hak menentukan nasibnya sendiri.

Di sisi lain, Sistem kapitalisme dan liberalisme di bidang ekonomi menjadi biang terjadinya kemiskinan yang struktural. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyat, sistem kapitalisme justru memunculkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin menganga.

Orang-orang kaya -pemilik modal- mendapatkan akses yang lebih luas untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, sementara kaum miskin justru sebaliknya, kian sulit mendapatkan penghidupan.

Kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak asing dan pihak tertentu untuk mendorong munculnya disintegrasi. Tentu bukan tanpa alasan, mengingat Papua adalah mutiara hitam dari timur, memiliki kekayaan alam yang melimpah membuat para Kapitalis penjajah untuk menjarah SDAnya dengan leluasa.

Penting untuk dipahami khususnya rakyat papua. Pemisahan Papua dari Indonesia bukanlah solusi. Meminta bantuan Negara-negara imperialis merupakan bunuh diri politik.

Memisahkan diri akan memperlemah Papua. Membuka kran seluas-luasnya bagi Negara imperialis memangsa kekayaan alam dan sumber daya negeri Papua.

Tidak ada jalan lain untuk keluar dari persoalan ini kecuali mencampakkan demokrasi kapitalisme. Menerapkan syariah Islam dalam naungan khilafah. Syariah Islam akan menjaga keamanan dan  menjamin kesejahteraan rakyat tanpa melihat suku, warna kulit, bangsa maupun agama.

Syariah Islam akan menghentikan imperialisme Amerika, dan Negara asing lainnya. Menutup celah bagi Negara imperialis memecah dan menguasai negeri  ini.

Allah swt berfirman, “ Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin” (TQS an-Nisa : 141). Wallahu ‘alam bis shawwab.

WA ODE ASNALITA