Paru-paru dunia yakni hutan kini mulai terancam keberadaannya, mengingat tak sedikit ada saja oknum-oknum yang tak betanggung jawab merusak kelestariannya. Hal itu tentu sangat berdampak bagi kehidupan manusia, tak terkecuali binatang.
Sebagaimana menurut Kepala Seksi Perlindungan Hutan UPTD KPH Unit XXII Laiwoi, Toni, S.TP melalui Kepala Seksi Perencanaan Pengelolaan Hutan Rosmin Sakay, S.Hut. MM, menuturkan hutan di wilyah kerjanya kini berstatus waspada kebakaran.
Rosmin Sakay pun mengatakan bahwa ada beberapa wilayah berpotensi terbakar, salah satunya padang savana di Kecamatan Puriala yang memiliki luas lahan 1.424.90 hektare, tepatnya di Desa Unggolino dan Tetewatu di Kecamatan Puriala, Kabupaten Konawe Sultra. Rawan karena kondisi hutan di situ sebagian besar dipenuhi padang ilalang, sedikit percikan api mudah sekali membakar dan menyebar di sekitarannya (Sultrakini.com, 17/09/2019).
Selain itu, ratusan hektar lahan gambut di Kecamatan Lalolae, Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, terbakar. Hingga kini, memasuki hari ke – 23, kebakaran belum juga bisa dipadamkan. Personil gabungan TNI-Polri dan Manggala Agni terus berupaya memadankan api. Pasalnya, asap akibat kobaran api mulai merambah hingga ke beberapa Kecamatan di Koltim.
Menanggapi kebakaran lahan itu, Kapala Bidang Humas Polda Sultra, AKBP Harry Goldenhardt mengatakan bahwa kebakaran lahan yang terjadi di Koltim diindikasikan dibakar oleh oknum yang tidak bertanggung jawab (Mediakendari.com, 18/09/2019).
Sementara itu, di wilayah yang berbeda kepolisian telah menetapkan 296 orang sebagai tersangka dalam peristiwa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Selain itu sembilan korporasi telah ditetapkan sebagai tersangka.
Sebelumnya polisi menetapkan lima korporasi sebagai tersangka. Kelima perusahaan itu adalah PT SSS di Riau, PT Bumi Hijau Lestari di Sumsel, PT Palmindo Gemilang Kencana di Kalteng, dan PT SAP dan Sizu di Kalbar (Cnnindonesia.com, 24/09/2019).
Padahal bagi yang sengaja melakukan pembakaran hutan, baik yang dilakukan oleh individu, bahkan korporasi terdapat ancamannya, yakni sebagaimana yang tercantum dalam pasal 78 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Ancaman hukumannya yaitu, 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.
Namun, adanya peraturan tersebut apakah sudah efektif dalam meminimalisir pelaku pembakaran hutan yang dilakukan secara sengaja? Karena ternyata LSM lingkungan Greenpeace Greenpeace menemukan sejumlah perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas yang diduga mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan sepanjang 2015-2018 lolos dari sanksi perdata maupun sanksi administrasi serius. Padahal pada tahun ini, beberapa areal konsesi di antaranya kembali dilanda karhutla (Cnnindonesia.com, 25/09/2019). Hal itu tentu sangat disayangkan.
Pembiaran itu menunjukkan minimnya pejabat berwenang dalam melakukan penegakan hukum terhadap kasus karhutla yang pelakunya tidak sedikit dari pihak korporasi.
Tak hanya itu, kebakaran hutan dan lahan tentu memiliki dampak negatif bagi manusia. Dampak tersebut di antaranya: Pertama, bertambahnya jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan kanker paru-paru. Kedua, asap dapat menyebabkan aktivitas manusia lumpuh total akibat kebakaran hutan dan lahan. Ketiga, gangguan asap juga dapat mempengaruhi kelancaran transportasi darat, laut dan udara karena terbatasnya jarak pandang.
Di samping itu, adanya kebakaran hutan dan lahan pun dapat meyebabkan terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik karena kebakaran, gangguan asap atau rusaknya habitat.
Penyebab kebakaran hutan ini sesungguhnya bisa dihindari, terutama yang disebabkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggunga jawab. Hal itu bisa dicegah melalui tindakan preventif yang melibatkan banyak pihak di antaranya individu yang memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan dengan tidak melakukan pembakaran, walau dengan maksud membuka lahan. Begitu juga adanya pengawasan dari masyarakat yang membantu dalam melestarikan hutan.
Penting pula adanya tindakan kuratif dari pemerintah yang memiliki kekuatan hukum dengan memberikan sanksi yang seberat-beratnya dan berefek jera kepada para pelaku, tanpa ada upaya tawar-menawar yang menguntungkan oknum tertentu.
Oleh karena itu, penting adanya kerja sama antara masyarakat dan pemerintah dalam meminimalisir adanya kebakaran hutan dan lahan. Karena sejatinya efek pembakaran, manusialah yang paling merasakan dampak negatif dari adanya tindakan tersebut. Sebagaimana dalam alquran surah Ar-Rum ayat 41 yang artinya “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
FITRI SURYANI