Kisruh Wamena, Lemahnya Ikatan Nasionalisme

Kisruh Wamena, Lemahnya Ikatan Nasionalisme
Hamsina Halisi Alfatih.

Usai 26 orang tewas akibat kerusuhan di Wamena  pada senin (23/9) lalu, bangunan kantor lama Bupati Yalimo dibakar sehari setelahnya. Kamis (26/9) 200 kios terbakar Olsibil, Pegunungan Bintang. (Detiknews.com, 27/09/19).

Namun kabar terbaru  dihimpun dari Jawapos.com (28/9), korban jiwa telah mencapai 32 orang. Disusul terbunuhnya salah seorang dokter tenaga medis, dr. Soeko Marsetiyo.

Iklan Pemkot Baubau

Menanggapi pasca kerusuhan di Wamena, Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, Pastor Anselmus Amo meminta ada upaya yang harus dijalin antara pemerintah dengan warga papua.

Tragedi kemanusiaan di Papua terbilang sejak lama pada masa reformasi terhitung semenjak terjadinya pelanggaran HAM sejak tahun 2001 hingga 2014 dengan peristiwa yang berbeda. Terlebih lagi tiadanya keseriusan pemerintah dalam menyesuaikan kasus pelanggaran HAM tersebut hingga saat ini.

Menguak Fakta Kerusuhan

Masalah pelanggaran HAM merupakan salah satu isu utama yang terjadi di Papua. Fakta kerusuhan di Wamena menjadi salah satu dampak dari kasus pelanggaran HAM yang tal kunjungan terselesaikan.

Peneliti tim kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiatri mengatakan, ada empat akar masalah di Papua yang tak kunjung terselesaikan sampai saat ini oleh pemerintah.

Pertama, adanya diskriminatif dan rasisme yang sempat dialami oleh mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya.

Kedua, adanya pelanggaran HAM yang tak kunjung terselesaikan diantaranya kasus Wasior (2001), Wamena Berdarah (2003), dan Paniani (2014). Padahal ketika awal pemerintahan Presiden Joko Widodo di tahun 2014, ia mengatakan akan segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua. Namun terhitung hingga saat ini kasus-kasus tersebut belum terselesaikan, padahal itu terjadi di era reformasi.

Ketiga, pemerintah dinilai gagal melakukan pembangunan di Papua. Hal ini terlihat jelas semakin tingginya angka kemiskinan terutama di wilayah kabupaten dan kota.Keempat, pemerintah selalu menghindari perdebatan tentang status dan sejarah publik Papua.

Namun perlu diketahui permasalahan Papua tak terlepas dari konflik diskriminatif dan rasisme serta pelanggaran HAM.

Pelanggaran HAM sendiri sudah terjadi dari sekian banyaknya peristiwa semasa era reformasi. Seperti kasus Wasior, 13 Juni 2001, yang terjadi di Desa Wonoboi, Distrik Wasior, Manokwari, dipicu oleh terbunuhnya lima anggota Brimob dan seorang warga sipil.

Aparat Polres Manokwari kemudian melakukan penyisiran dan terjadi dugaan tindak kekerasan berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, dan penyiksaan di Distrik Wasior.

Ini hanya salah satu dari peristiwa tragedi kemanusiaan yang terjadi di Papua namun sampai saat ini permasalahan tersebut belum terselesaikan oleh pemerintah.

Terkait diskriminatif dan rasisme yang menjadi faktor membaranya Wamena beberapa hari lalu, tidak menutup kemungkinan lanjutkan dari kasus rasisme yang dialami oleh beberapa mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya.

Disisi lain, pemerintah seolah mengabaikan permasalahan Papua terlebih lagi pengamanan akibat konflik di Wamena. Ketiadaan antisipasi dari pihak keamanan sehingga semakin bertambahnya korban jiwa dalam tragedi kemanusiaan di Wamena.

Dari sikap abai pemerintah terhadap permasalahan Papua, mungkinkah pemerintah memang menginginkan agar Papua lepas dari Indonesia? Jawabannya itu kemungkinan kecil bisa saja terjadi, terlepas dari keinginan OPM yang merupakan kelompok separatis yang sejak dulu menginginkan terlepasnya Papua dari Indonesia.

Bukti Lemahnya Ikatan Nasionalisme

Nasionalisme yang sering didengungkan dalam persatuan disetiap Negara juga memiliki titik buruk dan rapuh. Nasionalisme juga disebut sebagai ikatan manusia yang dapat menyatukan manusia. Ikatan ini terjadi ketika manusia mulai hidup dalam suatu wilayah tertentu dan tidak beranjak dari wilayah yang ditempatinya itu.

Ketika mereka mulai mengenal satu dengan yang lain dan merasa nyaman dengan daerah yang telah mereka huni, saat itulah terdapat rasa untuk mencintai, mempertahankan dan juga rasa memiliki wilayah tersebut. Rasa yang semacam itulah yang disebut sebagai naluri mempertahankan diri (Ghorizah baqo’).

Tragedi kemanusiaan hingga berdampak pada pelanggaran HAM di Wamena menjadi bukti lemahnya ikatan nasionalisme. Ikatan buruk dan rapuh yang menjadi eksistensi bangsa ini merupakan hasil dari penerapan sistem demokrasi. Buruknya ikatan nasionalisme tidak mampu mengikat tali ikatan persaudaraan berdasarkan ras, warna kulit dan agama.

Akibatnya perpecahan sering terjadi diberbagai negara, dan dampak dari penerapan sistem demokrasi inilah umat islam selalu menjadi tumbalnya.

Nasionalisme bukanlah alat pemersatu, paham itu lebih mengarah pada perpecahan umat manusia khususnya umat islam di penjuru dunia. Allah telah memerintahkan kepada kita untuk tidak bercerai berai dan tetap kukuh dalam memegang aturan-Nya.

Allah swt berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. ( Ali’ Imran: 103)

Oleh sebab itu, untuk mengakhiri konflik di Papua disamping pemerintah harus mengambil peran dalam penyelesaian masalah di Papua hal yang menjadi akar masalah utama adalah menghilangkan sikap nasionalisme yang dilahirkan dari sistem demokrasi. Sebab jika eksistensi ikatan yang merusak hubungan manusia ini tetap dipertahankan maka berbagai tragedi kemanusiaan akan terus terjadi tak hanya di Indonesia tetapi di negara-negara lainnya.

Urgensi Penerapan Islam Kaffah

Ketika nasionalisme tidak mampu menyatukan seluruh umat manusia maka ikatan tersebut adalah dianggap gagal. Lantas ikatan yang bagaimana yang mampu menyatukan manusia dengan benar dan melindungi manusia dari berbagai macam ancaman? Ikatan tersebut adalah ikatan ideologis yang melahirkan peraturan hidup menyeluruh, tentu saja idiologi Islam.

Islam dikatakan sebagai idiologi karena islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Sang Pencipta (Aqidah, ibadah, sholat, puasa, dan haji) dan manusia dengan dirinya sendiri (kepribadian, makanan dan pakaian) namun juga mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lain (muamalah, politik, pendidikan, keamanan, sosial dan sanksi dan sebagainya).

Ikatan idiologis islam mampu menyatukan seluruh umat manusia karena ikatan ini tidak didasarkan pada naluri mempertahankan diri ( ghoriza baqo’), namun didasarkan pada pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan hidup serta apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan (pandangan hidup).

Ikatan ini tidak memandang apakah seseorang itu dari suku, warna kulit, atau suatu bangsa. Tetapi ikatan ini memandang seluruh manusia sebagai makhluk Allah SWT yang membutuhkan aturan yang bersumber dari Al-Quran dan As-sunnah.

Ikatan idiologi islam juga tidak menyingkirkan keberadaan agama atau kepercayaan lain. Idiologi islam ini akan berhasil membangkitkan manusia dan menyatukan manusia apabila diemban oleh sebuah negara.

Sebagaimana pada masa Rasulullah ketika berdiri pemerintahan islam pertama di Madinah, struktur masyarakat islam itu tidak seragam. Masyarakat madinah dihuni oleh kaum muslim, yahudi, nasrani, dan kaum musyrik.

Mereka bisa hidup bersama dalam daulah islamiyah (negara islam) dan otoritas hukum islam. Mereka bisa berbaur satu sama lain dalam negara islam karena islam tidak memaksa kepercayaan lain untuk masuk islam dan tetap melindungi kebebasan mereka dalam hal beribadah, berkeyakinan termaksud urusan pribadi.

Dengan demikian untuk mengakhiri berbagai konflik di Papua maupun problematika umat manusia saat ini adalah  tak lain dengan menerapkan islam secara menyeluruh agar tak ada lagi sekat-sekat nasionalisme ditubuh umat manusia. Wallahu A’lam bishshowab.

HAMSINA HALISI ALFATIH