Kala Toleransi Agama Menggoda, Akidah Makin Tergadai

Kala Toleransi Agama Menggoda, Akidah Makin Tergadai
Risnawati.


Selasar Riau, Pekanbaru- Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda (GP) Ansor Riau, Purwaji, berjumpa dengan Pemimpin Gereja Katolik sedunia, Paus Fransiskus, di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, Rabu pagi waktu setempat (25/9).

Kepada Selasar Riau, Purwaji mengungkapkan rasa senang dan kebahagiannya dapat menjadi bagian dari tim Pimpinan Pusat (PP) GP Ansor yang mendapat kesempatan itu.

“Ini wujud keseriusan kita semua, khususnya GP Ansor untuk terus mengampanyekan dialog antaragama. Sehingga menciptakan harmoni dalam keberagaman, saling memahami, menjaga, dan menghargai dalam kemanusiaan,” tutur Purwaji, Kamis (26/9).

Rombongan PP GP Ansor yang berangkat ke Vatikan itu dipimpin langsung oleh Ketua Umum Yaqut Cholil Qoumas. Selain Purwaji, Sekjen Abdul Rochman dan tiga wakil sekjen yang terdiri dari Hasanuddin Ali, Wibowo Prasetyo, dan Rifqi Al Mubarok juga turut serta.

Purwaji mengatakan, GP Ansor membawa misi mendukung dokumen Human Fraternity for World Peace and Living Together yang dikampanyekan Paus Fransiskus dan Grand Syech Al-Azhar.

Dengan pertemuan tersebut, Purwaji berharap anggota dan sahabat GP Ansor lebih giat lagi, secara bersama-sama, mendorong harmoni antara pemeluk agama.

“Kita akan menginisiasi dialog dan pertemuan pascakunjungan ke Vatikan. Nanti pasti dikabari,” tuturnya.

Sementara itu, dalam pertemuan tersebut, Gus Yaqut–sapaan Yaqut Cholil Qoumas–menjelaskan bahwa deklarasi GP Ansor tersebut memuat seruan untuk membangun konsensus global demi mencegah dijadikannya agama, khususnya Islam, sebagai senjata politik.

Agama, lanjutnya, seharusnya menjadi solusi perdamaian dan bukan sumber konflik.

“Humanitarian Islam ini juga dimaksudkan untuk memupus maraknya kebencian komunal melalui perjuangan untuk mewujudkan tata dunia yang ditegakkan di atas dasar perhormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat bagi setiap manusia,” katanya.

Gus Yaqut menyampaikan, dalam usaha toleransi dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia, GP Ansor turut berkontribusi memeliharanya. Termasuk, lanjutnya, dalam menjaga kegiatan keagamaan umat beragama, termasuk Katolik, di Indonesia. Paus Fransiskus, jelas Gus Yaqut, menyampaikan agar umat beragama selalu menjaga persaudaraan.

Menelaah Akar Masalah Toleransi

Dalam kamus almunawwir, Toleransi (tasamuh) artinya sikap membiarkan (menghargai), lapang dada. Jadi, toleransi umat Islam terhadap agama lain seharusnya cukup dengan sikap membiarkan. Membiarkan di sini maksudnya bukan mengakuinya sebagai kebenaran, tetapi dalam arti tidak melarang atau tidak menghalang-halangi.

Inilah toleransi yang diajarkan dalam Islam, karena Islam mengajarkan bahwa kaum non-muslim hendaknya dibiarkan untuk beragama dan beribadah menurut keyakinan mereka, mereka tidak diganggu dan tidak juga dipaksa untuk masuk Islam. (kitab Muqaddimah Al Dustur, 1/32 karya Syeikh Taqiyuddin An Nabhani).

Rasulullah Saw  juga telah melarang menyerupai kaum kafir sesuai sabdanya, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum). (HR Abu Dawud, no 4033; Ahmad, Al Musnad, Juz 3 no. 5114; Tirmidzi, no 2836).

Demikian pula Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa haram hukumnya muslim turut merayakan (mumaala`ah), menghadiri (hudhuur), atau memberi bantuan (musa`adah) pada hari-hari raya kaum kafir. (Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlidz Dzimmah, 2/156).

Jadi toleransi tergantung kepada pandangan ideologi. Ketika jika masyarakat sudah sesuai dengan ideologi kapitalis-sekuler, itu sudah dianggap toleransi. Tapi jika ada sekelompok masyarakat yang bertentangan dengan ideologi kapitalis, maka disebut intoleran.

Padahal masyarakat hendak melakukan perbaikan di tengah-tengah bangsa, tapi mendapat label intoleran. Itulah jika toleransi diletakkan pada ideologi kufur. Pasti akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Lain lagi jika toleransi diletakkan pada ideologi Islam.

Kembali Kepada Islam

Dari Abu Sa‘id Al Khudri, ia berkata: “Rasululah Saw bersabda: ‘Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalianpun akan masuk ke dalamnya.’ Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah kaum Yahudi dan Nasrani?’ Sabda beliau: “Siapa lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah, Tuhan pemilik semesta alam. Allah yang mengetahui hakikat hambanya. Jadi ketika Allah menghadirkan Islam di tengah ummat manusia, jelas Islam pasti akan meleburkan segala perbedaan yang ada.

Dan sebenarnya hanya Islam sajalah yang mampu memelihara perbedaan di tengah kaum muslimin. Sebab Islam memiliki aturan yang baku, yang digunakan untuk mengatur aneka keberagaman di tengah manusia.

Dalam Al Quran Allah SWT berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9).

Inilah pokok prinsip toleransi dalam Islam. Islam menganjurkan berbuat baik kepada siapa saja dalam berbagai aspek kecuali dalam urusan agama. Urusan agama di sini juga termasuk masalah aqidah dan pandangam hidup sesuai Islam.

Artinya kita boleh berbuat baik kepada setiap orang tapi tidak dengan cara mengikuti pandangan hidup atau aqidah di luar Islam.  Sebab Islam memandang bahwa aqidah dan ideologi di luar islam adalah kufur.

Jadi tidak layak untuk diikuti. Sebab Islam adalah agama yang tegas. Dalam hal-hal yang sudah ditetapkan hukumnya dalam syariat islam, maka tidak ada toleransi lagi atas hal tersebut.

Sebenarnya praktik toleransi sudah dijalankan pada masa Rasulullah SAW. Tapi yang paling masyhur adalah, praktik toleransi Islam ketika berjaya di Andalusia. Masyarakat Eropa pada umumnya dan Andalusia khususnya telah menikmati kebebasan gemilangnya peradaban Islam, meski mereka masih non muslim.

Peradaban Islam telah menyajikan teknologi dan kemajuan yang bisa dirasakan semua pihak, tanpa membedakan mereka muslim atau bukan. Hebatnya negara memberikan jaminan keamanan yang sama pada harta dan jiwa mereka yang tinggal di wilayah Islam tanpa ada pembedaan dengan warga negara muslim.

Bahkan tidak ada pemaksaan dari pihak muslim agar masyarakat non muslim harus mengikuti aqidah kaum muslimin. Dari sini bisa terlihat betapa adil dan makmurnya dunia dibawah kekuasaan Islam.

Alhasil, Islam sangat tegas membahas masalah toleransi ini. Toleransi tanpa batas dapat membahayakan aqidah umat. Jadi, kala toleransi datang menggoda, maka “Lakum diinukum waliyadiin”. Wallahu a’lam.

RISNAWATI