Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi dan Asisten Pribadi (Aspri) Menpora, Miftahul Ulum sebagai tersangka. Ulum sebelumnya telah ditahan oleh komisi antirasuah ini. ( InewsId.com, 18/09/19).
Saat menggelar konfrensi pers di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan ( 18/09) Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan “KPK telah meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan sebagai tersangka, yaitu IMR (Imam Nahrawi) dan MIU (Miftahul Ulum)”.
Selain itu, dewan pembina Gerakan Rakyat Tolak Aktor Koruptor (Gertak) Frans Emmanuel Saragih mendesak KPK untuk menetapkan tersangka baru dalam dugaan kasus jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama dalam hal ini menyeret Mentri Agama Lukman Hakim Syaifuddin. Ia pun mengatakan agar KPK harus segera menunaikan janjinya kepada masyarakat untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
Sesuai perundang-undangan tersangka dikenakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Koruptor dan Kebencian Terhadap Ajaran Islam
Sejak pergantian pemimpin dari era orde lama maupun sampai saat ini, budaya korupsi di Indonesia seakan tumbuh subur. Padahal bangsa ini telah memiliki undang-undang bagi setiap pelaku tindak pidana korupsi. Hukuman kurungan pun ternyata tidak mampu memberikan efek jera bahkan korupsi bagaikan virus yang setiap saat mewabahi para elit-elit politik untuk menjadi koruptor.
Bahkan sekelas Mentri Agamapun terlibat skandal jual beli jabatan, tak hanya itu elit-elit politik yang menjadi garda terdepan dalam membela NKRI pun terjerumus melakukan korupsi. Sebut saja Ketua Umum PPP, Romahurmuzy yang terlibat kasus jual beli jabatan.
Kemudian Menopara, Imam Nahrawi yang telibat kasus suap hibah KONI ( Komite Olahraga Nasional Indonesia). Selanjutnya ada kasus suap PLTU yang menyeret Idrus Madani.
Perjalanan para elit politik ini rupanya tak lepas dari kebencian mereka kepada ajaran Islam. Terlebih lagi kepada khilafah yang selalu digaungkan oleh eks HTI. Bagi para koruptor mereka menganggap bahwa khilafah adalah suatu ancaman bagi pancasila maupun kedaulatan NKRI.
Khilafah diframing burukkan seolah tidak membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi umat manusia. Padahal khilafah sendiri merupakan ajaran islam yang wajib didakwahkan bahkan diperjuangkan.
Namun bagi pengusung ideologi kapitalisme, khilafah tidak pantas diterapkan di Indonesia karena bertentangan dengan nilai luhur pancasila serta kedaulatan NKRI. Tapi lagi dan lagi fakta lapangan membuktikan justru yang mengusung dan menjadi pembela NKRI ternyata rata-rata melakukan tindak pidana korupsi.
Wajar saja bila khilafah sebagai ajaran islam di benci sebab dalam pemerintahan khilafah tindak pidana korupsi tidak dijerat dengan UUD 1945 seperti saat ini tetapi ada sistem sanksi hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pemberitahuan ke publik, penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Hukuman ta’zir yang diberlakukan bagi para koruptor semata-mata untuk memberikan efek jera beda halnya seperti sistem saat ini yang sifat hukumannya tidak mampu meminimalisir tindak pidana korupsi.
Strategi Khilafah Mampu Memberantas Korupsi
Semenjak tertangkapnya para elit politik yang terjaring kasus suap hal ini tak lepas dari peran Allah swt yang telah menunjukkan makar-Nya bagi orang-orang yang membenci ajaran Islam. Siapapun yang hendak melakukan makar terhadap para pengemban dakwah maupun ajaran Islam, Allah senantiasa punya cara untuk membongkar kejahatan mereka dengan makar-Nya pula.
Allah swt berfirman:
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (QS:An-Nisaa Ayat: 123).
Dalam pemerintahan islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji/tunjangan.
Selain itu harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi daulah Khilafah hlm. 118).
Harta yang diperoleh dengan cara ghulul tidak bisa dimiliki dan haram hukumnya:
وَمَن يَغْلُلْ } من الغنائم شيئاً { يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ القيامة } حاملاً له على عنقه { ثُمَّ توفى } توفر { كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ } بما عملت من الغلول وغيره { وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ } لا ينقص من حسناتهم ولا يزاد على سيئاتهم
“Barang siapa yang berkhianat) dari harta ghanimah sedikitpun, (maka pada hari kiamat ia akan datang) membawa apa yang dikhianatkannya itu pada leher-pundaknya, (kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan kecurangannya) setimpal, (sedang mereka tidak dianiaya) tidak dikurangi kebaikannya dan tidak ditambah keburukannya”. (Tafsir Ibn Abbas, Tanwir miqbas juz I, hlm. 75).
Maka Islam melarang keras tindakan suap-menyuap, utamanya penguasa, pejabat dan para penegak hukum. Oleh sebab itu, Islam serta-merta merinci petunjuk pelaksanaan agar tindakan tidak terpuji tersebut dapat diberantas tuntas.
Kenyataan historis membuktikan bahwa sejak berdirinya Daulah Khilafah hingga runtuhnya pada 3 Maret 1924, pada dasarnya hukum Allah tetap dijalankan, meskipun pemberlakuannya tidak lagi merata di seluruh wilayah kekhilafahan menjelang keruntuhannya.
Penerapan hukum ini meminimalisasi kejahatan yang terjadi pada rentang waktu yang demikian panjang. Tercatat bahwa selama lebih 13 abad diterapkannya hukum Allah hanya sekitar dua ratus kasus yang terjadi.
Hal ini dimungkinkan oleh hukum Allah berfungsi sebagai pemberi efek jera bagi yang belum melakukan, dan menjadi penebus dosa bagi yang sudah melakukan tindakan kriminalitas (Al Anshari, 2006:287; Zallum, 2002). Adapun cara strategi Khilafah dalam memberantas korupsi, dilakukan melalui beberapa langkah sebagai berikut:
Pertama, menguatkan keimanan para penguasa, pejabat dan penegak hukum, serta rakyat akan pengawasan Allah (maraqabah), senantiasa merasa diawasi Allah, sehingga tidak sedikit pun kesempatan manusia untuk menerima suap sebab merasa senantiasa diawasi Allah. Mereka takut hanya kepada Allah dan tidak takut kepada selain Allah, dengan menjalankan , seperti segala perintahNya. Allah swt berfirman:
فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا
Artinya: “Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit”. ( Al Mâidah:44).
Kedua, penghitungan kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat jabatan yang diamatkan kepadanya. Hal demikian dilakukan dalam rangka tabayyun atau mencari tahu jumlah kekayaan seorang pemangku jabatan, yang memungkinkan rehabilitasi terhadap nama baik terhadap tindakan kejahatan berikutnya, misalnya suap dan korupsi (mencuri).
Ketiga, diberlakukannya seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang.
Keempat, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.
Kelima, pilar-pilar lain dalam upaya pemberantasan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Bisa di ambilkan contoh, khalifah Umar Bin abdul aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Belaiu juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara.
Keenam, dalam Islam status pejabat maupun pegawai adalah ajir (pekerja), sedangkan majikannya (Musta’jir) adalah Negara yang di wakili oleh khalifah atau kepala Negara maupun penguasa selain khalifah, seperti Gubenur serta orang-orang yang di beri otoritas oleh mereka. Hak-hak dan kewajiban diantara Ajir dan Musta’jir diatur dengan akad Ijarah. Pendapatan yang di terima Ajir diluar gaji, salah satunya adalah yang berupa hadiah adalah perolehan yang di haramkan.
Itulah beberapa strategi khilafah dalam memberantas korupsi atau suap-menyuap yang diharamkan dalam islam. Maka inilah keuntungan ketika kita menerapkan syari’at islam karena hanya dengan aturan islamlah korupsi mampu diminimalisir atau bahkan dihilangkan.
Maka jelas pula ditiada aturan atau hukum selain Allah yang mampu memberantas kejahatan ataupun kemaksiatan kepada Allah SWT selain syari’at islam dalam bingkai khilafah sebagai ajaran islam tentunya. Allahu A’ lam Bishshowab.
HAMSINA HALISI ALFATIH